webnovel

8 - Suspicious

Helia berlari melintasi koridor Istana Romeo dengan antusias. Tangannya yang lentik sedikit mengangkat gaun mengembang yang bisa saja menghalangi jalannya.

Lorong ditimpa oleh cahaya luna yang melewati kisi-kisi jendela. Bintang-gemintang di langit laksana pasukan yang siap menggempur siapa pun yang hendak membayahakan luna yang tunggal.

Suara sepatu Helia mendominasi Istana Romeo yang sepi.

"Kakak!"

Langkah Helia semakin mantap, dia melebarkan senyumannya pada seorang laki-laki yang duduk di atas sofa ruang istirahat Istana Romeo. Secangkir teh panas dihidangkan beserta kue-kue manis di atas meja.

Laki-laki yang duduk di atas sofa empuk menoleh. Garis tegas di wajah tampannya mengendur, digantikan dengan senyuman seindah surga. Kedua tangannya direntangkan, menerima pelukan erat dari adik satu-satunya.

"Helia. Aku merindukanmu," ujar Demian sambil meredam nada antusias di dalam suaranya.

Helia menggosok pipinya pada dada Demian dengan manja.

"Aku juga."

Setelah beberapa saat, mereka memisahkan diri lalu duduk bersisian.

Cangkir teh panas ditambahkan oleh pelayan, sehingga dua cangkir bersanding di atas meja. Masih mengepulkan asap sekaligus harum yang membuat seseorang bisa saja terlena.

"Ini pukul delapan malam," kata Helia, mengangkat cangkir tehnya dan merasakan kehangatan menjalar di tangannya.

Demian melayangkan tawa kecil. Dia mengenakan pakaian formal berwarna hitam, jubah beratnya masih tersampir di sebelah bahu, tubuhnya yang jangkung masih beraroma harum, dan rambutnya yang hitam masih tertata dengan rapi. Tidak lupa kanvas rupawan yang memiliki mata berwarna darah, tampilan hidung yang runcing, dan bibir merah muda.

Meski usia Demian sudah 26 tahun, Demian masih sama tampannya ketika dia remaja.

"Aku baru saja pulang dari urusan diplomasi," kata Demian, mengendurkan kancing atasannya yang terasa mengekang.

"Oh." Helia mengangguk. "Aku sudah terima semua surat Kakak. Kakak bilang punya urusan di tanah Duke Keehls?"

Lumier mengangguk, menarik cangkir tehnya dan menyesapnya sedikit. "Begitulah. Kamu tahu tambang permata di daerah Keehls? Kami membicarakannya dengan sengit. Aku sangat lelah."

Helia terkekeh. "Sayang sekali. Padahal aku sangat ingin menemui Kakak di pesta Perayaan Ulang Tahun Kerajaan tahun ini. Banyak gadis-gadis yang kecewa karena Kakak tidak datang."

"Kenapa juga mereka harus kecewa? Bukannya aku mau memacari semuanya sekaligus," balas Demian tenang.

Helia tertawa kecil, dia menutupi bibirnya dengan anggun. "Karena Kakak sangat tampan. Kakak tidak tahu fakta itu? Banyak gadis yang berharap untuk menjadi Duchess di masa depan, lho."

Demian mendengus. "Harapan mereka terlalu tinggi. Meski aku adalah penerus Duke Floral, itu juga masih membutuhkan waktu yang lama. Ayah masih dalam kondisi fisik yang sehat dan bugar. Ayah masih lebih cocok menjadi Duke daripada aku. Lagipula, aku tidak tertarik untuk menikah."

"Jangan gila. Floral harus menetapkan garis keturunannya, Kakak."

"Aku tahu itu. Hanya saja, seluruh gadis di dunia sama saja, bukan? Mereka hanya menyukaiku karena kekuasaan yang aku punya. Tidak akan ada yang menyukaiku dengan tulus. Kalau mereka tidak menyukaiku karena kekuasaan, paling tidak karena tampangku." Demian mengernyit kesal. "Kenapa topiknya jadi ke sini? Ayolah, aku sudah lama tidak bertemu denganmu dan apa yang kamu katakan adalah tentang keturunan Floral?"

Helia tertawa. "Maaf. Aku juga mencintai Kakak."

"Oh ya, omong-omong aku dengar rumornya. Allan katanya mencintai gadis lain, itu benar?"

Pertanyaan tiba-tiba Demian membuat senyuman di bibir Helia surut.

Demian menelan ludah.

Dia salah ketika membicarakan topik sensitif ini di hadapan Helia, yang notabene menyukai Allan selama beberapa tahun terakhir.

Meski Helia tidak pernah bicara apa pun pada Demian mengenai perasaannya terhadap Allan, sekali lagi dikatakan, bahkan orang bodoh saja akan menyadari perasaan Helia terhadap Allan dengan sangat jelas.

"Lupakan saja." Tangan Demian naik, membelai rambut panjang Helia yang sedikit bergelombang.

Helia kembali tersenyum, tetapi tidak secerah sebelumnya.

Demian tiba-tiba menyesal karena mengangkat topik sialan barusan. Demi Tuhan, Demian merasa dadanya sesak ketika melihat sorot menyedihkan Helia.

Demian mencintai Helia.

Itu karena posisi seorang ibu yang sudah tiada dan posisi seorang ayah yang sangat transparan keberadaannya. Hal itu membuat Demian merasa bertanggungjawab. Demian berusaha mengisi posisi kedua orangtua yang kosong bagi Helia semenjak mereka kecil. Memberinya cinta, kekayaan, keinginan, harapan. Seluruhnya dapat Demian kabulkan. Kecuali satu, harapan yang selalu Helia sembunyikan dari siapa pun: dicintai oleh Allan.

Demian bisa merasakan tangan hangat Helia menggenggamnya. Demian menunduk, menatap Helia dengan saksama.

"Ayo jalan-jalan ke taman. Sudah lama sekali semenjak kita bertemu."

Demian melayangkan senyuman yang paling cerah.

***

"Apa Anda menunggu lama Yang Mulia?"

Auste berlari kecil sebelumnya, sehingga ketika dia berada di hadapan Allan, napasnya tidak beraturan.

Auste tidak perlu repot-repot melakukan salam khas pada keluarga kerajaan karena Allan yang memintanya.

Allan, dengan balutan pakaian semi-formal hanya menggeleng.

"Tidak lama. Dan jangan berlari, aku tidak akan ke mana-mana."

Auste merona. Dia menerima uluran tangan Allan yang menuntunnya menuju taman Istana Romeo yang luas.

"Kenapa Anda mau menemui saya selarut ini?" tanya Auste pelan. Dia menunduk untuk menatap sepatunya yang berwarna putih.

"Entahlah. Mungkin karena pekerjaan benar-benar melelahkan, dan melihatmu membuatku kembali bersemangat. Apa aku tidak boleh menemuimu?"

Auste kelabakan, dia membuat kontak mata dengan safir Allan.

"Bu-Bukan begitu, Yang Mulia. Anda bisa menemui saya kapan saja. Saya tidak memiliki masalah dengan itu. Justru dengan menemui Anda, saya merasa senang."

Auste membuang muka sekaligus memutus kontak mata dengan pipi merona merah.

Rambut Auste yang berwarna emas diterpa sinar luna yang menelisik di atas pepohonan taman Istana Romeo. Tanah berumput yang mereka pijak menimbulkan bunyi yang khas, serta angin malam sesekali berembus, menerbangkan setiap helaian yang bisa dibawa.

Iris flora Auste menerpa sekeliling. Tidak gelap dan tidak terlalu terang. Lentera-lentera memang dinyalakan di setiap sudut, tetapi kegelapan seolah mau menunjukkan kalau dia lebih berkuasa di dalam taman yang entah mengapa terasa semakin mencekam untuk Auste.

"Takut?" tanya Allan pada Auste.

Auste tersentak, menggeleng dengan kuat.

Allan hanya tertawa pelan. Dia lalu menyampirkan jubah di kedua bahu Auste, mencegah angin malam menyentuh Auste lebih jauh lagi.

"Aku akan membawamu ke tempat yang lebih menyenangkan dari taman ini lain kali."

Suara Allan masih sama lembutnya. Yang membuat Auste keheranan tentang mengapa Allan bicara dengan dingin dan ketus pada yang lain, tetapi tidak dengannya.

"Saya akan menantikannya." Auste tersenyum manis.

Dadanya berdebar tidak keruan.

Allan melayangkan senyuman manis sekali lagi. Jarak mereka kini bahkan tidak sejengkal, dan Allan menggunakan kesempatan itu untuk mengecup pipi Auste secara pelan.

"Yang Mulia?!" Auste shock, tidak memprediksi perhatian manis Allan yang tiba-tiba.

Allan tertawa kecil kala melihat ekspresi terkejut dan malu dari wajah Auste.

"Boleh aku mendekat sedikit lagi?"

Nada suara yang digunakan Allan ketika mengucapkan kalimatnya adalah nada mendayu yang membuat berdebar. Angin malam yang dingin seolah dikalahkan oleh hawa membara yang dihasilkan oleh kedua insan di bawah naungan sang luna.

Auste mengangguk perlahan. Meski malu, dia mendongak dan menutup kedua matanya.

Allan mendekat sedikit demi sedikit, tetapi-

"Siapa di sana?"

Nada Allan kembali dingin dan datar. Jiwa tirannya sudah kembali.

Kemudian, dia berteriak pada keheningan malam. Instingnya sebagai master pedang membuat Allan bisa menajamkan indra pendengarannya hingga puluhan meter.

Auste menatap ke arah pandang yang sama dengan Allan. "Yang Mulia?"

Allan tidak bicara, dia mengeratkan pelukannya pada Auste. Seolah apa yang akan terjadi ke depannya, entah itu penyusup; mata-mata lagi; pemburu; atau pembunuh bayaran, Allan akan melindungi gadis dalam dekapannya.

"Tunjukkan dirimu," kata Allan lagi, menaikkan suaranya dengan keki karena orang yang dimaksud berjalan dengan pelan di atas rumput.

Beberapa saat kemudian, dua sosok tertangkap panorama.

"Saya mohon maaf, Yang Mulia. Saya tidak bermaksud untuk mengganggu waktu berdua Anda dengan Nona Muda Auste."

Suara lembut yang familier di pendengaran Allan membuat Allan melemaskan tubuhnya yang kaku.

"Helia," ujar Allan pelan. "Dan Demian."

Demian menatap Allan dengan pandangan menyipit, kemudian matanya yang sewarna permata permata ruby langsung tertuju pada gadis di dekapan Allan.

Diam-diam Demian mendengus kecil. Auste bukanlah apa-apa dibandingkan adik kesayangannya.

***

kakak posesif dan siscon? uwu

10 Juli 2022