webnovel

5 - See, I Found You

Reaksi Helia terhadap Pesta Perayaan Ulang Tahun Kerajaan semakin meredup. Dia selalu antusias setiap tahunnya ketika pesta ini datang. Alasannya, tentu saja karena dia yang akan selalu mendampingi Penguasa Teratia.

Selama lima tahun Allan menjabat sebagai raja di Kerajaan Teratia, tidak pernah sekalipun pria itu merasa antusias pada pesta yang selalu digelar di Istana Juliet.

Biasanya, Allan hanya akan duduk di atas tahta megahnya, menatap para bangsawan yang saling berkumpul, bergosip, membicarakan bisnis seolah Allan sedang menatap para semut yang bisa diinjak olehnya kapan saja.

Allan adalah seorang tiran. Kalau dia mau, dia bisa membunuh seluruh bangsawan di ruang pesta. Akan tetapi, apa pun yang mengganggu kestabilan kerajaannya, harus dipikirkan tiga kali sebelum dilakukan. Dan membunuh bangsawan, sama saja dengan membunuh kestabilan kerajaan.

Allan merupakan raja yang baik.

Rumor juga mengatakan kalau pria berdarah dingin yang memiliki kekuasaan tertinggi di Teratia ini memiliki hati yang mati. Dia tidak akan pernah merasakan perasaan menyenangkan yang lain. Sorot Allan di hadapan semua orang itu sama, dingin dan intimidasi.

Semua orang belum pernah melihat Allan dengan senyumannya. Setidaknya hingga Pesta Perayaan Ulang Tahun Kerajaan di malam pertama. Malam pertama pesta adalah kali pertama semua orang melihat ekspresi selain dingin di wajah Allan.

Dan ekspresi yang melembut itu ditujukan pada seorang Nona Muda Apricot.

Semua orang bisa mengatakan kalau seorang tiran juga, pada akhirnya bisa jatuh cinta.

Helia mengenakan gaun biru miliknya. Gaun biru dengan aksesoris sederhana tetapi terlihat elegan yang nampak sangat cocok di tubuh Helia yang sempurna. Surai hitamnya yang lembut ditata sedemikian rupa, sehingga menyempurnakan wajahnya yang cantik.

Pesta malam ketiga memiliki tema topeng. Artinya, seluruh bangsawan di ruang pesta akan menyembunyikan identitas dan nama mereka.

Helia mengenakan topeng yang menutupi mata hingga hidungnya. Topeng itu memiliki corak yang indah dan anggun. Berwarna putih yang memiliki corak biru langit.

Helia diam-diam merasa berdebar. Setiap tahun ketika pesta memiliki tema yang sama, Allan selalu menemukannya dengan mudah. Sambil mengatakan sesuatu seperti, "Lihat, aku menemukanmu."

Tidak jarang hal itu membuat Helia merasa tersipu.

Ketika Helia tiba di ruang pesta Istana Juliet, dia melihat orang-orang mengenakan berbagai macam topeng dan kostum. Menyembunyikan identitas dan nama mereka.

Semuanya mengobrol dengan ringan dan tetap mengutamakan kesopanan mereka.

Di pesta ini, Allan ikut menyamar sehingga semua orang tetap perlu berbicara dan bertutur sesuai dengan etiket. Jika mereka tidak melakukannya, dan tanpa sengaja kalau mereka bicara pada Allan, maka mereka akan tamat karena pedang Allan.

Helia melirik ke sekeliling.

Dia akan langsung mengetahui sosok Allan hanya dari postur tubuhnya dan kebiasaan pria itu. Helia akan mengetahuinya.

"Halo Nona, apa Anda sendirian?"

"Saya dengan pasangan saya," balas Helia sambil tersenyum manis. Sebelum meninggalkan pria yang memegang dua gelas wine.

Pria itu tampak kecewa, dan meneguk habis satu gelas wine.

Helia berkeliling ruang dansa, dengan mata yang menyapu panorama para bangsawan. Banyak bangsawan yang menyapanya, tetapi Helia membalas singkat dan mengabaikannya. Dia sibuk mencari Allan.

Dia ingin Allan membisikkan kalimat itu lagi di telinganya.

"Lihat, aku menemukanmu."

Helia menegang. Dia menoleh perlahan dan melihat postur tubuh familier itu. Mengucap kalimat yang biasanya dikatakan ketika dia menemukan Helia di pesta topeng.

Anehnya, suara itu terdengar jauh. Seolah suara itu bukan untuknya.

Meremas gaun birunya, Helia menatap Allan, yang membisikkan kalimat penuh kenangan itu pada gadis lain.

"Auste Apricot," bisik Helia dipenuhi oleh geraman.

Kedua tangannya mengepal erat, hingga tercetak bekas tusukan di telapak tangannya yang perlahan berdarah.

Sial.

Perasaannya hancur. Melihat Allan tersenyum lembut pada gadis itu, menggenggamnya, memeluknya, mengelus surai emasnya.

Helia bisa gila. Dia bisa gila.

Dengan langkah yang ikut menggila, Helia meninggalkan ruangan pesta.

Koridor dan lorong Istana Juliet kosong. Seluruh tamu pesta ada di ruang pesta. Kecuali Helia.

Helia berjalan sendirian di koridor yang setengah gelap. Hanya terdapat suara sepatunya di keramik yang dingin, memenuhi udara, mengisi kekosongan di hatinya.

Helia lalu melepas topeng di wajahnya dan membantingnya ke lantai hingga pecah dan terbelah menjadi dua.

Dia berjongkok di lantai, memeluk kedua lututnya, dan menangis.

***

"Lihat, aku menemukanmu."

Auste tersentak kecil, hampir menjatuhkan piring kue di tangannya.

Allan terkekeh kecil. Mengambil alih piring kue di tangan Auste.

"Kamu manis."

Auste di balik topengnya tersipu, pipinya memerah malu.

Auste diam-diam menggigit bibirnya. "Anda menemukan saya."

"Tentu saja," balas Allan ringan. Menyerahkan piring ke pelayan, sehingga kedua tangannya bisa memeluk tubuh Auste.

Allan menghirup dalam aroma bunga apricot di tubuh Auste. Manis. "Aku bisa tahu kalau kamu adalah Auste dengan sekali lihat. Kamu terlihat jelas seperti Auste. Orang-orang yang tidak mengenalmu sekarang adalah orang-orang bodoh."

"Sa-Saya merasa terhormat bisa dikenali oleh Anda," balas Auste malu.

Allan hanya menyeringai.

"Kemari." Allan kemudian menarik pergelangan tangan Auste, dan membawanya ke piramida wine.

Menarik dua gelas, Allan menyerahkan yang satunya pada Auste. Mereka mengobrol ringan, sesekali tertawa. Lalu Alla  meminum banyak wine hingga dia merasa sangat mabuk. Auste ingin menghentikan Allan yang minum, tetapi tidak memiliki keberanian.

Tubuh Allan mulai sempoyongan, Auste menahan dada Allan. Allan membiarkan setengah berat badannya ditumpu oleh Auste.

"Yang Mulia, Anda sangat mabuk," kata Auste dengan panik. "Saya akan mengantar Anda ke ruang istirahat."

Belum sempat menuntun Allan menuju ruang istirahat, pria itu menahan bahu Auste.

"Ke kamarku. Pergi ke kamarku," katanya sambil berbisik, membuat suaranya terdengar kurang jelas.

Namun, jarak Auste dan Allan yang terlampau dekat, yakni setengah jengkal membuat Auste tetap dapat mendengar suara Allan.

"Eh? Ta-Tapi kamar Anda berada di ...."

"Istana Romeo," potong Allan.

Auste mengulum bibir. "Itu dua puluh menit dengan kereta, saya khawatir Anda kehilangan kesadaran ketika di perjalanan."

"Ada kau."

"Ka-Kalau begitu, saya akan mengantar Anda ke Istana Romeo."

Auste memerah. Dia lalu membawa Allan ke ruang pesta dengan tumpuan bahunya.

Di koridor, Allan melepas topeng Auste dengan tangannya yang bebas. Lalu tersenyum cerah dengan wajah merah karena mabuk.

"Kamu cantik." Allan tersenyum lembut, memandangi wajah Auste yang langsung merona.

"Ya-Yang Mulia, Anda sangat mabuk," kata Auste, masih sambil berusaha untuk menahan berat badan Allan yang ditumpukan padanya.

Suara sepatu yang bertabrakan dengan keramik menjadi suara yang nyaring di koridor Istana Juliet. Lampu-lampu gantung mewah di plafon menyala redup, sementara angin kesiur memasuki Istana lewat jendela yang sengaja dibuka.

"Ah, sial. Aku mabuk karenamu," gumam Allan.

"I-Ini kesalahan saya?" tanya Auste, bingung.

"Karena kamu terlalu manis, ah sial. Aku sangat-sangat menyukaimu. Aku jadi mabuk."

Allan menggumam tidak jelas, tetapi hal itu membuat Auste tambah merona.

Apa yang diproses otaknya adalah ungkapan betapa jatuh hatinya Allan pada Auste. Mungkin saja, jika Allan dimabuk cinta dengan Auste.

Keduanya memasuki kereta kuda yang berada di hadapan Istana Juliet, duduk berdampingan di kursi empuk dan nyaman sambil memeluk satu sama lain. Lebih tepatnya, Allan yang memeluk tubuh mungil Auste.

Auste berdebar. Sisi Allan yang seperti ini sangat manis. Seolah menunjukkan kalau dia bukanlah tiran, melainkan seorang pria bucin yang mencintai wanitanya.

Setelah dua puluh menit, kereta tiba di Istana Romeo.

Seluruh pelayan di Istana Romeo membungkuk sembilan puluh derajat pada Allan dan Auste. Sementara kedua insan tersebut berjalan berdampingan.

Melewati lorong luas yang dipenuhi oleh berbagai dekorasi mewah dan megah. Lukisan-lukisan langka, patung yang dipahat dengan sempurna, guci dan vas.

Auste membuka pintu kamar Allan, tentu setelah perintah pria itu.

"A-Apa saya boleh masuk ke dalam?" tanya Auste dengan ragu.

Allan menyandarkan tubuh di kusen pintu, dia menyisir rambut abu keperakannya ke belakang dengan passionate.

"Tentu saja. Tidak, justru kamu harus masuk ke dalam."

Perintah itu mutlak. Allan menyeringai kecil.

***

writer's corner:

Allan? hei?

btw serius nanya, di sini nggak ada fitur italic?

7 Juli 2022