webnovel

20 - The New King

"Istana Elysee sudah jatuh ke tangan Allan!"

"Ksatria nomor (13) sudah dibantai mati!"

"Perwakilan dari mereka mengatakan bahwa mereka adalah Ksatria Rahasia yang dipimpin Allan!"

"Ksatria nomor (40) meminta bantuan!"

"Tuan Putri Samantha dan Tuan Putri Lilia tertimpa reruntuhan Istana Dacari!"

Louise menggeretakkan rahangnya ketika laporan demi laporan memenuhi indra pendengarannya. Kepalanya dilanda oleh pusing dan migrain yang hebat.

Louise mengepalkan tangannya dengan sangat erat.

"Tenaga penuh untuk membatasi Ksatria Rahasia itu!" komando Louise pada pasukan ksatrianya yang langsung membubarkan diri.

Malam ini kacau.

Ketika rapat antarpejabat sudah dilaksanakan, Louise malah mendapati seluruh kawasan istana tertutup oleh kobaran api.

Malam gelap yang dicahayai lentera itu beralih membakar semuanya.

Teriakan demi teriakan menjadi satu-satunya melodi yang ada di malam tragis ini.

"Tidak ada laporan terbaru untuk Pangeran Salix dan Pangeran Pressa, Yang Mulia."

Komandan Ksatria melapor dengan tubuh bermandikan darah.

"Sialan! Allan bajingan itu!" Louise memukul dinding hingga jemarinya berdarah. "Aku menerimanya menjadi Keluarga Kerajaan dan ini adalah balasan yang dia berikan padaku?! Cepat cari keberadaan Keluarga Kerajaan!"

"Yang Mulia! Yang Mulia Permaisuri dinyatakan meninggal!"

Louise menggigit bibirnya hingga berdarah. Uratnya di pelipis terlihat jelas karena emosi yang membludak.

"Bajingan. Akan aku balas kamu, Allan," gumam Louise sambil mengeluarkan pedang perak yang bertatakan permata merah.

Pedang Kerajaan. Satu-satunya harta Kerajaan di bidang pertahanan yang hanya bisa disentuh oleh pemiliknya. Dan jika seseorang memiliki kesempatan untuk menyentuhnya, karena seseorang itu mendapat luka serangan dari Pedang Kerajaan.

Louise mengeratkan pegangannya pada gagang pedang. "Dasar anak haram tidak tahu diri."

Lalu sosoknya menghilang, dia berlari di antara kerumunan ksatria yang panik.

***

"Ada kalimat terakhir?"

Gale tetap mempertahankan sorot wajahnya yang tenang bahkan ketika pedang perak hampir memenggal lehernya.

Iris matanya yang cokelat menatap Allan, lalu dia tersenyum miring.

"Oh, lihat siapa yang sudah tumbuh menjadi pria dewasa?"

Gale meringis ketika Allan menekan pedangnya ke leher Gale. Leher itu memuncratkan darah dengan deras dan menodai pakaiannya.

Di hadapan Gale, Allan berdiri. Kini, laki-laki itu sudah tumbuh dewasa. Usinya genap 22 tahun.

Dengan berbagai penderitaan yang diberikan dua pangeran pada Allan selama masa hidupnya, Allan berhasil bertahan hidup.

Helia, gadis berusia 17 tahun, berdiri di belakangnya bersama dengan Nate dan beberapa Ksatria Rahasia lainnya.

"Itu kalimat terakhirmu?" tanya Allan dengan tenang. Suaranya yang semakin maskulin menggema di Istana Pangeran kedua yang sunyi. Seluruh penjaga di sana sudah diurus.

"Kak Ferdinanz? Di mana Kakak?"

"Kamu mengkhawatirkan dia?" Allan menyipit kesal.

"Asal Kak Ferdinanz selamat—ah!"

Pedang semakin menancap di leher Gale, membuat Gale tercekat. Tubuhnya bergetar samar.

"Dasar bajingan. Yang kau pedulikan hanya Ferdinanz? Dia memperlakukanmu seperti bawahannya, dasar tidak waras."

Gale tertawa lirih. Tangannya meraih pakaian formal Allan dan meremasnya, membuat noda darah di tangannya merembes di pakaian putih itu.

"Hanya dia yang memedulikanku. Aku akan menukar nyawaku bahkan untuknya."

Allan menyeringai kecil, tetapi cukup untuk membuat Gale merinding.

"Maka bayar sekarang."

Tebasan singkat itu mampu melayangkan satu nyawa.

Pangeran Kedua meninggal karena kepalanya terpenggal.

Kepala bundar itu menggelinding beberapa kali di lantai marmer yang dingin dengan darah yang mengalir dan membasahi lantai putih.

"Sudah selesai, Allan?" tanya Nate dengan santai.

"Begitulah." Allan menatap dingin onggokan tubuh Gale yang tersisa.

"Pasukan Ksatria Rahasia nomor (2) sudah menemukan posisi Ferdinanz Teratia," ujar Helia, yang menerima pesan dari komunikator.

"Bagus. Menuju ke sana, cepat."

Atas komando Allan, Ksatria Rahasia berbondong-bondong keluar dari istana.

Allan, Helia, dan Nate menunggangi kuda masing-masing dan mulai mengunjungi posisi Ferdinanz.

Keadaan Istana kacau balau. Helia tidak mau menghitung ada berapa tubuh yang tergeletak tak bernyawa di atas rerumputan yang mereka injak, atau seberapa keras teriakan yang Helia dengar dari sebuah pertempuran.

Helia harus menjalankan rencana pemberontakan dengan lancar sesuai rencana. Perasaan simpati tidak boleh mendominasi seluruh rencana yang dibuat selama bertahun-tahun. Tidak boleh.

Helia sudah berkomitmen. Ketika dia menyelinap keluar dari istana dan pergi ke kasino untuk menemui kandidat Ksatria Rahasia, Helia tidak akan cengeng.

Helia mengingat seluruh kematian yang sesuai dengan rencana.

Pangeran Salix dan Pressa sudah dibunuh, mereka adalah korban yang mudah. Apalagi Putri Samantha dan Lilia, keduanya bahkan tertimpa reruntuhan dan mati. Permaisuri sudah dihabisi.

Menyisakan tiga orang lainnya. Louise, Ferdinanz, dan Heminoe. Tiga orang terkuat, yang tidak sekuat Allan tentunya.

Mereka tiba di Istana Pusat, lebih tepatnya di ruang bawah tanah di mana terdapat pintu rahasia untuk jalan keluar dari istana.

"Cepat, brengsek! Aku tidak mau mati!"

"Kakak, tenanglah."

Ferdinanz makin merinding ketika dia mendengar langkah kaki yang mendekat dengan mantap.

"Hiii! Heminoe, dasar bodoh! Cepat buka pintu keluarnya!"

Heminoe menggigit bibir. Dia berusaha. Tetapi pintu besi itu berkarat sehingga sulit untuk dibuka.

"Tenang Kakak. Aku—"

"Tidak ada waktu untuk tenang! Bajingan psikopat itu akan tiba dalam beberapa saat!"

Suara langkah kaki semakin mendekat membuat Ferdinanz ketakutan. Dia memaki dan bicara kasar.

Ketika sosok yang tidak pernah Ferdinanz harapkan datang padanya, seluruh tubuhnya menggigil hebat seolah kedinginan.

Ferdinanz melangkah mundur, punggungnya menabrak pintu bawah tanah yang berkarat.

"Brengsek! Apa maumu, dasar bajingan tidak tahu diri?!" Ferdinanz berteriak, tetapi siapa pun yang mendengar suaranya, tahu bahwa di dalam vokalnya terdapat getaran hebat.

Sosok dengan pakaian mewah berwarna putih yang dilapisi banyak darah orang lain hanya menyeringai. Dia mengangkat pedang di tangannya, yang juga mengucurkan cairan merah tanpa henti, membuat ujung pedang hanya dibatasi beberapa milimeter sebelum mencapai leher Ferdinanz.

Heminoe di samping Ferdinanz bahkan sudah membelalakkan mata.

"Adik Laki-laki!" teriak Heminoe. "Kumohon, jangan seperti ini! Kita bisa menjadi saudara yang akrab, jangan seperti ini, Adik Laki-laki Allan!"

Allan hanya mendengus geli. Kelompok Allan yang berdiri di belakang juga hanya bungkam.

"Apa tujuanmu memanggilku adik sekarang ini, brengsek?"

Pupil Heminoe bergetar oleh ketakutan. Entah dominasi apa yang dikeluarkan Allan, hal itu membuat Heminoe bahkan kesulitan bergerak. Seolah jika dia bergerak meski satu inci, tubuhnya akan terluka parah.

"Hiii!" Ferdinanz bahkan tidak kalah takut.

Wajah agung sebagai pangeran pertama Kerajaan kandas oleh ekspresi konyol dan tidak bermartabat bagi Keluarga Kerajaan yang mulia.

"Ferdinanz, senang bertemu denganmu. Selamat tinggal."

Allan mengatakan kalimatnya dengan santai sebelum pedang di tangannya melakukan tugasnya.

***

Tes.

Tes.

Darah terus menetes dari ujung bilah pedang ke karpet merah yang disulam emas. Hal itu membuat karpet merah yang sudah kotor oleh reruntuhan bangunan, menjadi tampak sangat mengerikan dengan tetesan darah seiringan dengan Allan yang melangkahi karpet.

Di tangan kirinya, terdapat mahkota raja yang terciprat darah.

Sekeliling aula singgasana bahkan tidak kalah mengerikan dengan banyaknya mayat di marmer yang dingin.

Allan mendongak, menatap kursi singgasana yang tampak megah itu kosong, tetapi suram.

"Salam saya pada Yang Mulia Raja Allan Teratia, sang matahari baru penyinar Teratia."

Satu suara di belakangnya, membuat Allan menyeringai kecil.

"Benar, Helia. Selamat datang di kerajaanku."

Allan tertawa dengan keras, tetapi kakinya menjejaki anak tangga singgasana dengan antusias yang membara.

Akhirnya, pria berusia 22 tahun berhasil menggulingkan pemerintahan.

Pemandangan yang berbeda ketika Allan duduk di atas singgasana itu membuat tawanya mengeras.

Sementara kelompok Allan menunduk hormat untuk menyapa raja baru mereka.

Allan tetap tertawa, bahkan setelah membunuh puluhan Keluarga Kerajaan. Allan tetap tertawa, tanpa menyesali bahwa lusinan nyawa dipenggal di dalam tangannya.

Maka dari itu, julukan baru untuk raja mereka adalah tiran kejam tak berperasaan.

***

Writer's corner:

Selamat datang ke kerajaan patah hati di chapter depan 🥳🤍

Jangan lupa vote dan komentar <3!

29 Juli 2022