webnovel

17 - An Ilegal Casino

Pukul dua pagi. Kedua kuda putih yang ditunggangi Helia dan Allan sudah menjejakkan kaki di daerah kumuh pedesaan.

Mereka menatap sekeliling dari balik tudung jubah yang menyembunyikan wajah mereka.

Bisa dibilang, keadaan rakyat sungguh mengenaskan. Tidak sedikit orang-orang tunawisma yang berkeliaran di jalanan sambil menggandeng anak-anak mereka. Banyak toko yang tutup dan bangunannya sudah hampir roboh. Di hadapan toko itu pula, para tunawisma duduk di atas kertas tipis.

Beberapa tunawisma bahkan berada dalam keadaan mabuk dan tertidur tanpa selimut.

Ketika langkah kuda memelan dan masuk lebih dalam ke daerah pedesaan, keadaan di sana tidak kalah menyedihkan. Rumah-rumah setengah roboh gelap, bahkan mereka tidak bisa membeli sebatang lilin.

"Kamu lihat, Helia?" ujar Allan dengan berbisik.

Kala dua kuda putih melangkah, mereka menjadi sorotan orang-orang. Di manik mata mereka, hanya tersisa keputus asaan. Mereka juga sedang mencari kesempatan untuk menjarah mereka berdua ketika mereka lengah.

Dari penampilan Helia dan Allan, keduanya memang sudah menyamar menjadi rakyat jelata. Namun, di mata rakyat jelata asli, keduanya lebih baik dari pada mereka.

"Aku melihatnya," balas Helia sambil menggigit bibir. "Ini sangat kacau."

"Dan kamu tahu bukan, siapa yang bertanggungjawab?"

"... Keluarga Kerajaan."

"Itu benar. Mereka mengorupsi rakyat terlalu banyak. Ekonomi Teratia merosot, bahkan Teratia sedang berada dalam perang dingin dengan Magnolia. Perang bisa meledak kapan saja. Dan bagaimana dengan dana perang? Tenaganya? Siapa yang akan melakukan perang jika rakyat yang merupakan tenaganya saja sudah terpuruk?"

Helia mendengarkan kalimat Allan dalam diam.

Helia setuju pada setiap kalimat Allan, kali ini bukan hanya karena akal sehatnya yang tidak bekerja oleh sebuah perasaan memabukkan. Melainkan murni karena Helia menatap pemandangan menyedihkan di hadapannya ini.

Raja Louise memerintah sangat buruk. Rakyat semakin menderita, sementara bangsawan dan keluarga kerajaan semakin kaya. Hal ini tidak bisa dibiarkan.

Allan mempercepat langkah kudanya, Helia mengikuti. Sekitar setengah jam, keduanya menghentikan kuda di sebuah bangunan kecil yang gelap.

Allan turun dari atas kuda, mengikatnya di atas pagar besi yang berkarat. Helia mengikuti Allan tanpa banyak bicara.

"Jangan perlihatkan wajahmu. Tidak ada mata merah di antara rakyat jelata dan bangsawan lain. Kalau pun ada, sangat langka," kata Allan.

Helia mengangguk, mengeratkan tudung jubah yang menutupi wajah.

Helia sedikit heran ketika Allan memasuki bangunan kecil yang seolah tidak berpenghuni seperti ini. Namun, keheranannya sedikit berkurang ketika Allan menyerahkan beberapa emas ke tangan berotot milik penjaga setelah berdebat.

Manik Helia bergerak untuk menatap wajah si pria. Rambutnya botak dengan bekas luka di beberapa sisi, kedua matanya suram dan kantung mata menebal, bibirnya gelap karena nikotin, kumis dan janggut tipis menutupi sebagian wajahnya. Tidak lupa tubuh kekar dan berotot itu hanya dibalut kaos polos usang.

Si pria menjaga yang Helia ketahui bernama Jellard dari Allan, menuntun keduanya untuk memasuki sebuah pintu berukuran dua meter di bawah meja yang sudah digeser.

Jellard membuka pintu, menyuruh Helia dan Allan untuk bergegas masuk. Keduanya dituntun untuk menuruni tangga yang terasa panjang, lalu mereka tiba di hadapan pintu besi kedap suara.

Ketika pintu tersebut dibuka, Helia mendengar kebisingan yang kentara di dalamnya. Tawa, makian, sorakan. Semuanya disatukan dalam ruangan luas di bawah tanah.

Tidak akan ada yang menduga bahwa ruangan mewah ini berada di dalam bawah tanah.

Bahkan orang-orang di dalamnya mengenakan pakaian dari sutra mahal, hanya beberapa saja berasal dari kalangan biasa, tetapi mereka juga perlu kaya.

"Hati-hati Nona Manis, ini bukan tempat untuk perempuan sepertimu," ujar Jellard pada Helia lalu mendorongnya masuk.

Setelah Allan dan Helia masuk, pintu besi menutup dengan debaman keras.

Namun, orang-orang di sini tidak memedulikan bunyi pintu yang keras.

"Allan, apa ini?" Helia meraih ujung jubah Allan.

Allan menggenggam tangan Helia dengan erat, seolah tidak akan membiarkannya terlepas. "Sudah aku bilang, bukan? Tempat untuk berjudi, kasino. Kasino ini ilegal. Jangan jauh-jauh dariku. Kita akan menemukan anak itu dengan cepat dan pergi dari sini."

"Ah, sialaaan! Aku hampir menang!"

"Hahaha, dasar bajingan bodoh! Mana mungkin kamu bisa menang! Hahaha!"

"Bir! Berikan aku bir lagi!"

"Keberuntunganku sangat tinggi hari ini"

"Kau pasti curang! Kau melakukan sesuatu untuk curang, iya kan?!"

"Akui kekalahanmu, dasar idiot!"

Segala bentuk kebisingan membuat Helia sedikit shock. Ditambah dengan banyak makian yang tidak pernah Helia dengar.

"Jangan jauh-jauh. Tahan sebentar," ujar Allan, mempererat genggaman tangan mereka.

Helia mengangguk samar. Berusaha menahan seluruh tekanan yang mengudara.

Allan menghampiri meja resepsionis, lalu mengatakan beberapa patah kata. Si wanita resepsionis mengatakan untuk menunggu sebentar dan pergi ke pintu yang ada di belakangnya.

"Bangsawan," kata Allan.

"Allan?"

"Kebanyakan orang di sini adalah bangsawan. Lihat dia? Marquiss Felio, Viscount Akane, Baron Poluchka, dan masih banyak lagi. Mereka menghamburkan dana untuk rakyat di sini. Untuk senang-senang. Mencoba keberuntungan ampas mereka. Rakyat biasa tidak bisa masuk ke sini kecuali kamu sangat kaya."

"Tuan, Anda bisa datang kemari." Si wanita resepsionis memotong kalimat Allan.

Allan mengangguk singkat, lalu mengekori si wanita resepsionis menuju sebuah ruangan dengan lorong yang panjang.

Wanita itu mempersilakan Allan dan Helia untuk memasuki sebuah ruangan.

Keduanya menurut.

Lalu di hadapan mereka, ruangan yang luas ini diisi oleh lebih banyak orang yang bersorak pada jagoan mereka masing-masing. Jagoan mereka saling beradu pukulan dalam arena berukuran sedang yang dibatasi oleh pagar besi.

Di arena, terdapat dua orang yang bertarung dengan kasar tapi menuai sorakan. Mereka menganggap ini menyenangkan karena bukan mereka yang dipukuli, melainkan budak.

Penonton duduk di kursi kayu, saling menyemangati jagoan mereka, atau memaki si jagoan ketika mereka kalah dan kehilangan banyak uang.

Helia melirik dua orang anak laki-laki yang sudah terluka berat di dalam arena. Helia yakin kalau usia mereka seumuran, dan anak laki-laki itu malah saling beradu pukulan agar mendapat uang, dan bertahan hidup.

Helia meringis begitu dia merasa ngilu akan luka-luka si anak laki-laki.

"Duduk lah dulu." Allan duduk di salah satu bangku yang kosong. Helia duduk di samping Allan dengan jarak yang minim, dia takut.

"Apa yang akan kita lakukan di sini, Allan? Ikut bertaruh?"

Allan menahan tawa, lalu terkekeh kecil. "Kamu mau bertaruh pada anak-anak yang saling adu pukulan di arena?"

Helia menggeleng. "Tentu saja tidak. Aku tidak mau."

"Maka biarlah. Kita di sini bukan untuk bertaruh pada anak-anak di arena. Tapi kita berkunjung ke sini untuk menemui orang yang bekerja di sini. Misalnya dia."

Allan menunjuk seorang laki-laki yang mengantarkan bir dan anggur dengan tergesa. Tak jarang dia dipukul oleh pelanggan dengan kasar, tetapi anak itu tidak bisa melawan. Tidak, mungkin maksudnya tidak mampu melawan.

Pakaian yang dia kenakan merupakan seragam kerja, tetapi sudah cukup lusuh dan robek di sana-sini. Rambutnya yang berwarna cokelat gelap berantakan dan kusut, wajahnya kotor di beberapa sisi dan terluka, serta tangannya yang kurus bergetar ketika mengangkat nampan bir.

"Siapa dia?" tanya Helia ragu.

"Orang yang kita cari." Allan tersenyum miring, puas.

***

Apa yang berharga untuk penulis adalah vote dan komentar kalian yang baik hati <3 terima kasih sampai jumpa!

28 Juli 2022