webnovel

Lintang Waktu

Semenjak perceraian kedua orangtuanya, hidup Anneta berubah. Apalagi ia harus meninggalkan sahabat masa kecilnya. Dia Amar, cowok yang selalu ada menemani Anneta untuk tetap bertahan kuat menghadapi segala kekacauan akibat pertengkaran kedua orangtua. Cowok yang selalu ada untuk memberikan senyuman baru demi menggantikan senyum lama yang menghilang dari wajah Anneta. Setelah perpisahannya dengan Amar, Anneta melewati banyak hal sulit dalam hidupnya. Tahun demi tahun ia lewati hanya dengan memikirkan sosok sahabat yang tak pernah ia temui kembali. Hingga suatu hari, ia bertemu sosok baru. Dia Bara, sangat dingin, sulit diajak berbicara, bahkan sangat sulit untuk disentuh. Cowok itu selalu menjadi bahan perbincangan di mana pun dan kapan pun. Tapi anehnya, ada sesuatu yang membuat Anneta bertanya-tanya hingga ingin mengetahui tentang cowok itu lebih dalam. Karena ia yakin, Bara adalah sosok lelaki yang menyimpan sejuta rahasia dan pasti memiliki keterikatan dengan masa lalunya. Di sisi lain, Anneta dibingungkan oleh sosok Keenan yang benar-benar menyerupai sahabat masa kecilnya~Amar. Dari segi wajah, bahasa tubuh hingga kelakuannya benar-benar mencerminkan sosok Amar. Tapi ada sesuatu yang Keenan coba rahasiakan dan sembunyikan dari gadis itu.Segala pertanyaan terangkai dalam benak Anneta. Jika benar Keenan adalah Amar, mengapa ia bersembunyi? Apa ada sesuatu yang ia coba untuk rahasiakan? Anneta benar-benar bingung dengan nalurinya. Keenan, atau Bara? Kedua orang itu sama-sama mencoba untuk menyembunyikan sesuatu yang pasti berhubungan dengan rangkaian masa lalu. Mungkinkah segala teka-teki ini akan terkuak?

Inya Sidhyadahayu · Teenager
Zu wenig Bewertungen
27 Chs

4 // Gusar

Hidup itu ibaratkan awan yang berarak dengan penuh pertanyaan dan teka-teki. Tapi tenanglah, akan ada saatnya semua gumpalan awan itu bergerak seiring berjalannya waktu. Hingga sampai di suatu titik dimana awan itu hanya akan menyisakan langit biru cerah sebagai jawaban dari semua teka-tekinya.

•••

Bara. Sosok manusia yang benar-benar telah dipinggirkan dunia. Tak ada yang menghiraukannya, bagai lenyap dan hilang dari peradaban.

Bara ingin tertawa. Tertawa menertawai nasibnya yang buruk ini. Bayangkan saja, hanya mencoba untuk tersenyum di dalam kerumunan, sudah dianggap gila oleh orang lain. Jujur, ia lelah menghadapi ini semua.

Bara adalah si pemilik suara yang tak dihiraukan. Dia adalah manusia terlupakan. Dia ada namun tidak pernah dianggap ada. Hingga ia memilih untuk bungkam dan tak tersentuh, dan sekarang ketika ia telah berubah, seluruh dunia malah mempertanyakannya. Apakah itu adil?

Cowok itu berjalan menuju kantin. Tebak saja apa yang terjadi setelahnya. Banyak kerumunan murid yang langsung menghindar dan menjauh dari cowok itu. Tak sedikit juga suara yang berbisik untuk membicarakannya. Semua orang sengaja memperlihatkan gerakan jelas di bibir mereka. Berharap agar Bara dapat membacanya.

Bara menghela napas. Cowok itu bisa saja menentang, melawan, ataupun berbicara lantang. Tapi tetap saja pemuda itu memilih untuk diam.

Diam.

Satu kata yang sudah menjadi temannya selama ini. Ia memilih untuk diam sejuta bahasa. Diam di kala dunia sendiri memojokkannya. Diam walaupun semesta ini terlalu bising untuk membicarakannya. Karena selantang apa pun ia mencoba untuk berbicara, suara itu tak akan pernah terdengar oleh telinga mana pun.

Bara menghela napas, sudah ia duga orang-orang akan menjauh dari dirinya. Dapat Anneta lihat dari kejauhan. Pasti sakit sekali rasanya ketika dijauhi begitu saja. Anneta berpikir bahwa mungkin saja hati Bara sudah berubah menjadi baja yang keras hingga ia tidak bisa merasakan hal sakit seperti ini.

Tapi nyatanya tidak seperti itu. Hati Bara telah hancur dan remuk berkali-kali. Jika saja seseorang bisa menilai orang lain bukan hanya dari tampak luar, mungkin mereka bisa mengerti isi hati Bara saat ini. Cowok itu tetap memasang muka cueknya, seakan ia tidak peduli apa pun yang sedang dibicarakan oleh murid lain. Untuk apa meladeni orang-orang seperti mereka? Itu tidak penting dan hanya membuang-buang waktu.

"Heh! Apaan lo pada liat sahabat gue kayak gitu, hah?! Huss!!" Dimas datang membela ketika kerumunan murid kini menjauhi Bara sembari membicarakannya. Tak jarang juga tangan cowok itu berusaha mengusir kerumunan orang yang tidak menyukai sahabatnya.

"Mending gue pergi dari sini, males kalo ada anak aneh di kantin," ucap seorang siswi.

"Iya, jadi hilang nafsu makan gue."

"Gue pergi aja deh."

"Rugi ganteng kalau anaknya aneh trus jutek lagi."

"Ngapain sih Bara sekolah disini?"

"Iya ih! Dimas malah mau aja mainan sama anak nggak normal kayak Bara," cibir salah satu murid.

"Kenapa emang? Masalah buat lo?" tanya Dimas. Bara tetap terdiam dengan wajah datarnya. Ia memang sudah terlalu sering mendapat cibiran seperti ini. Ia mengeraskan hatinya, ia sudah terlatih untuk bersikap cuek dan tak peduli seperti ini.

"Udah deh, kita pergi aja," ucap salah satu siswi.

"Iya, males banget ketemu orang aneh di sini."

Dimas melihat ke arah kerumunan yang hendak pergi menjauh. "Pergi aja sono! Yang jauh ya! Ke Zimbabwe bila perlu," teriak Dimas kesal kepada mereka.

Anneta merasa prihatin. Kini ia mengerti mengapa Bara menjadi bungkam. Mungkin saja cowok itu sebenarnya sudah terlalu muak untuk menghadapi ini semua, hingga ia memilih untuk bungkam.

"Udah lah bro, nggak usah dihirauin." Dimas menepuk pundak Bara.

Bara menggidik bahu sembari tersenyum dingin, "Gue nggak peduli sama mereka."

Dimas dan Bara langsung berjalan menuju meja makan. Anneta datang mendekat, duduk di sebelah Bara. Gadis itu berusaha memperlihatkan senyuman manis ke arah mereka, "Hai!"

Bara hanya melihat Anneta sebentar kemudian memalingkan wajah datarnya. Entah kenapa gadis itu sekarang selalu membuntutinya kemana pun ia pergi.

"Hai, Ann!" sahut Dimas.

"Gue boleh diem di sini, kan?" tanya Anneta.

"Jangankan di sini. Di hati gue juga boleh." Dimas tersenyum jahil.

Anneta menggelengkan kepalanya. Gadis itu kembali memusatkan kedua matanya pada Bara, "Oh iya, lo mau mesen apa Bar?" tanya Anneta ke Bara dengan pelan agar cowok itu dapat membaca gerak bibirnya.

Bara memutar kedua bola mata kemudian lanjut membaca buku menu itu tanpa menghiraukan Anneta sedikit pun. Anneta tahu bahwa Bara pasti mengetahui arti ucapannya tadi. Ia sudah berbicara pelan agar Bara dapat membaca gerak bibirnya itu.

Tapi tetap saja nihil. Bara lebih memilih untuk tidak menghiraukannya. Jika diibaratkan, Anneta sama Bara itu ibarat Spongebob sama Squidward. Di mana yang satu berusaha untuk mencari perhatian, dan yang satu lagi hanya cuek dan tidak peduli.

Setelah satu tarikan napas, Bara dengan wajah yang super jutek itu kembali menatap Anneta. Ia masih penasaran. Cowok itu menyipitkan matanya, mencoba mengingat-ingat sesuatu dari gadis itu. Mungkin saja benar jika ia memang memiliki memori dengan Anneta.

Tapi apa? Dan di mana?

Entahlah, Bara tak dapat mengingat apa pun. Anneta melihat ke arah Bara yang sudah sedari tadi melihatnya dengan tatapan dan wajah yang super jutek. Sungguh ciri khas seorang Bara.

"Kalian mau gue traktir nggak?" tanya Anneta kepada Dimas dan juga Bara yang kini sedang menatapnya. Dia tahu Bara pasti bisa mengerti maksud ucapannya sekarang.

"Mau!"

"Nggak!"

Keduanya membalas secara bersamaan. Bara hanya menjawab datar. Sangat berbeda dengan Dimas yang sudah girang ketika hendak ditraktir.

Dimas memegang pundak Bara. Membuat cowok itu sontak melihat ke arahnya. "Lo yakin nggak mau bro?"

"Yakin. Gue bisa beli sendiri," ucap Bara langsung. Cowok itu berdiri, lalu berjalan memesan makanan untuk dirinya.

Anneta menghela napas. Bukan hal yang jarang jika Bara selalu jutek kepadanya. Bahkan bisa hampir setiap detik, menit dan saat di hidup ini.

Anneta hanya melihat Bara dari kejauhan. Di sana sudah ada Keenan yang juga ikut memesan sesuatu. Anneta melihat Keenan menepuk pundak Bara dengan sopan. Tapi seperti biasa, Bara pasti akan menghindar dan tak ingin disentuh.

Jika Anneta boleh jujur, maka ia akan mengatakan bahwa Bara sebenarnya lebih tampan daripada Keenan. Walaupun ia yakin seyakin yakinnya bahwa Keenan adalah Amar, tapi entah kenapa Anneta lebih merasa dekat dengan Bara. Seperti ada suatu magnet dalam diri cowok itu yang dapat menarik hatinya begitu saja.

Anneta bingung dengan perasaannya sendiri. Di satu sisi ia merasa nyaman dengan Keenan. Keenan yang benar-benar mencerminkan sosok Amar baginya. Tapi di sisi lain, Anneta merasa lebih dekat dengan Bara. Ia tidak tahu kenapa hati dan pikirannya selalu tertuju pada Bara. Padahal ia tahu, Bara hanyalah orang baru di hidupnya.

Semua ini terasa rumit. Anneta menghela napasnya.

"Kenapa Ann?" tanya Dimas.

"Hah? Oh nggak, cuman mikirin sesuatu aja tadi."

Dimas tersenyum jahil, "Mikirin gue ya?" Cowok itu menaikturunkan alisnya.

Anneta tertawa kemudian mendorong lengan Dimas, "Dih! Pede banget lo!"

"Ya siapa tau, kan?" tanya Dimas jahil. "Apalagi cowoknya ganteng kayak gue."

"Ish, pede banget. Kata siapa lo ganteng?"

"Kata nyokap gue."

☁☁☁

"Nan, lo deket banget ya sama Bara?" tanya Anneta ke Keenan yang sudah duduk di sampingnya sembari meminum sebuah es jeruk.

"Deket. Tapi nggak terlalu sih," balas Keenan langsung. "Kenapa nanyain Bara?"

"Oh nggak, cuman pengen tau aja."

Keenan mengangguk. Cowok itu kembali meminum es jeruk yang ia bawa sedari tadi.

"Gue liat banyak murid lain yang ngejauh dari dia. Tapi kenapa lo beda?"

Keenan terkekeh, "Bukannya jauhin trus ngatain orang, itu nggak baik ya? Kenapa gue harus ikutan kayak murid lain? Gue nggak pernah pengen buat ngejauhin atau ngemusuhin siapa pun dalem hidup gue. Apalagi temen satu sekolah," ucap Keenan seraya menggelengkan kepalanya.

Anneta tersenyum. Keenan memang bukan seperti murid lainnya. Hati putih yang dimilikinya sama persis seperti Amar.

"Keenan, gue penasaran sama sesuatu," ucap Anneta.

"Apa?" tanya Keenan yang tangannya sekarang sedang mencari-cari lubang es batu menggunakan sedotan.

Debas napas Anneta terdengar, "Gue mau tau sesuatu tentang Amar dari lo," ucap Anneta memancing.

Keenan terdiam. Tangannya berhenti melakukan aktivitas seketika. Ekspresi gugup terpatri jelas di wajahnya sekarang. Dengan pelan cowok itu menoleh ke arah Anneta, "A... Amar?"

Anneta mengangguk, "Kenapa lo jadi gugup?" Gadis itu mulai curiga. Bagaimana tidak? Keenan memperlihatkan gerak-gerik yang begitu mencurigakan.

Keenan menggeleng, "Lebih baik lo nggak cari tau tentang Amar."

Sudah Anneta duga. Keenan pasti tahu sosok bernama Amar. Karena tak lain dan tak bukan, Keenan pasti adalah Amar itu sendiri. Semua sudah terlihat jelas dari kegugupannya saat berbicara. Seperti ketakutan jika rahasianya akan terbongkar. Tak biasanya Keenan berbicara dengan gugup seperti itu.

Anneta menarik salah satu sudut bibirnya, "Kenapa gue nggak boleh tau Amar?"

Keenan menghela napas, "Ann, dengerin gue. Lo nggak perlu tau tentang Amar sekarang, ya?" ucap Keenan dengan suara lembutnya.

Anneta menaikkan salah satu alisnya. Gadis itu kebingungan. Mengapa ia tidak boleh tau tentang Amar? Mengapa Amar merahasiakan hal ini darinya?

☁☁☁

Suara riuh terdengar dari berbagai penjuru kelas. Kebahagiaan yang tak dapat digambarkan oleh seorang murid adalah ketika mereka mendapatkan jam kosong di akhir pelajaran.

Lalu lahirlah suara dengungan keras mengisi setiap sudut kelas 11 IPA 2 itu.

"WE WILL, WE WILL ROCK YOU!!!" teriak Angga bernyanyi dengan sebuah pegangan sapu lantai yang ia gunakan sebagai mic di tangannya.

Suara sumbang dengan teriakan seraknya terdengar menggelegar di dalam ruangan. Tapi tak hanya itu saja, banyak murid lain dalam ruangan itu, juga ingin memaksakan kemampuan bernyanyi mereka. Terjadi konser dadakan di kelas 11 IPA 2 itu.

Zara menggelengkan kepalanya begitu juga dengan Anneta. Kedua gadis ini saling bersitatap ketika kelas dipenuhi oleh suara-suara tak sedap.

"Gue bisa tuli lama-lama," gerutu Zara ke Anneta. "Udah nggak bisa nyanyi, maksain lagi isinya."

Anneta tertawa, kemudian gadis itu menghembuskan napasnya. Dia melihat ke arah Bara. Tenang dan masih larut dalam dunia yang ia buat sendiri. Anneta berpikir, mungkin saja Bara merasa sedikit nyaman karena tidak bisa mendengar suara bising ini.

Anneta penasaran. Gadis itu sedikit mendekat ke arah Bara, "Bikin apa, Bar?" tanya Anneta ketika melihat cowok itu asik dengan dunianya.

Bara terlihat tenggelam dalam dunia imajinasi. Anneta tahu bahwa Bara sangat suka menggambar. Tapi, dari gambarannya itu kadang seperti menyiratkan suatu hal. Hal yang tentunya Anneta tidak mengerti.

Kini mata Anneta kini terfokus pada satu titik.

Bara Alvian.

Tulisan yang ditulis tebal menggunakan spidol itu mengalihkan pandangan Anneta. Nama indah yang diukir Bara, tertulis di setiap sudut kertas miliknya. Anneta tersenyum, "Bagus juga nama lo."

Bara seperti biasa hanya mengacuhkannya. Cowok itu tetap sibuk mencorat-coret gambar. Setelah beberapa coretan gambar yang menyeramkan, Anneta melihat ke satu titik dimana sebuah gambar terlihat yang jauh lebih baik dari gambar yang lain.

Anneta menyenggol lengan Bara, "Bar, ini kok gambaran lagi pegangan tangannya isi dicorat-coret? Padahal bagus loh kalau nggak dicorat-coret. Kalau gini, kan dominan item jadinya," ujar Ann langsung.

"Ck!" Bara berdecak. Cowok itu paling tidak suka jika Anneta mengganggunya. Apalagi jika gambarnya diberi komentar oleh gadis itu.

"Udah deh, lo itu nggak ngerti," balas Bara singkat.

Zara menepuk pundak Anneta, "Ann, Bara itu lagi gambar hal yang keluar dari kepalanya tiba-tiba. Biarin aja gitu," ucap Zara langsung.

Anneta menaikkan alisnya, "Ini dia gambar tangan cewek lagi pegangan sama tangan cowok. Berarti dia lagi mikirin orang yang lagi pegangan tangan gitu? Dia pengen punya pacar atau gimana?"

"Nggak Ann, dia sih nggak mikir apa-apa. Cuman langsung aja muncul di kepalanya, gitu."

"Mungkin dia pengen dipegang kali ya?"

Anneta kembali menaruh pandangan ke arah Bara. Tanpa panjang lebar dikali tinggi, gadis itu memegang tangan Bara secara langsung.

"AARGGHH!!" teriak Bara keras dan langsung memegang kepalanya. "AARGGHH!!" Bara mengulang teriakannya beberapa kali, ia mencoba mengeluarkan rasa sakit yang menekan seluruh tubuh beserta organ-organ di dalamnya. Seperti disetrum hingga tak bersisa.

Jeritan keras yang memekak telinga, terdengar memenuhi ruangan. Kelas yang semula ribut, langsung menjadi hening seketika. Mendengar suara teriakan yang melebihi tingkat teriakan dari nyanyian mereka, membuat mereka panik sekaligus waswas. Semua murid menoleh ke arah pemuda yang sekarang sedang berteriak sembari memegang kepalanya.

"Bara kerasukan lagi!!"

"Kerasukan palamu, tolol!! Dia lagi kesakitan!!" teriak Zara menegur.

Ada sentakan nyeri kembali menjalar dalam tubuhnya dengan begitu cepat. Kepalanya terasa sakit luar biasa hebat. Ia bahkan tak mampu bernapas normal sekarang. Bayangan aneh itu kembali datang kemudian jatuh terhempas ke dalam bumi masih terus berputar dalam pikirannya.

Tak jarang air mata Bara keluar saat menahan rasa sakit itu. Sakit yang luar biasa ketika otaknya dipaksa untuk mengingat suatu memori akibat pegangan Anneta. Bara memejamkan matanya. Ia paling benci disaat-saat seperti ini. Rasanya ia seperti ingin dibunuh paksa dengan semua memori yang diputar otaknya.

Anneta sontak panik. Bara terlihat lebih sangat kesakitan.

Cowok itu bahkan sudah mulai melemah. Seketika semuanya langsung menjadi gelap, kemudian memburam perlahan. Anneta yang menyadari tubuh itu lemas akan jatuh, dengan segera ia menangkapnya.

Bara pingsan.

Anneta membulatkan matanya ketika tubuh lemas itu ambruk di depan matanya. "BARA?!" teriak Anneta panik melihat Bara yang sekarang sudah menutup matanya lelap.

Semua murid langsung mengerumuni untuk memberi makan rasa penasaran mereka. Tidak seperti biasa Bara pingsan saat ia mendapat memori baru di kepalanya.

"Bara! Bangun!" Anneta menepuk-nepuk pipi itu kemudian mengelusnya dengan lembut. Hatinya juga terasa perih seketika. Air mata Anneta jatuh begitu saja. Jujur, ia tak sanggup melihat Bara dalam keadaan ini, dan ia sadar, semua ini adalah ulahnya.

"Bara, bangun," lirih Anneta sembari menangis. Ada rasa yang membuatnya begitu dekat dengan cowok itu. Perasaannya yang paling dalam, benar-benar tertuju pada Bara. Ya! Bara yang sekarang tak sadarkan diri, membuat Anneta panik dua kali lipat dari sebelumnya.

"Bar, gue minta maaf. Ini semua salah gue. Harusnya gue nggak nyentuh lo tadi," ujar Anneta sambil menangis. Buliran air mata itu jatuh dari kedua pipinya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dirinya sangat khawatir pada Bara. Padahal ia tahu, Bara hanyalah orang baru dalam hidupnya.

Tidak! Itu hanya asumsi pikiran Anneta saja. Pikirannya itu jauh berbanding terbalik dengan kata hati. Jika pikirannya memaksa berpikir bahwa Bara adalah orang baru, tapi berbeda dengan hatinya. Hatinya itu mengatakan hal yang sebaliknya dimana Bara bukanlah orang baru dalam hidupnya itu. Rasanya sudah seperti salah satu bagian dari hidup Anneta.

Anneta tidak mengerti. Yang jelas dirinya sangat panik sekarang. Kini murid lainnya bergotong membawa Bara menuju ruang UKS.

"Bara," lirih Anneta.