webnovel

Liku Kehidupan

Fakta pengkhianatan sang ayah membuat Alena hancur hingga gadis itu memutuskan pergi membawa amarah serta dendam yang berkobar didalam dada. Setelah 10 tahun berlalu Alena kembali ke negara asalnya untuk bekerja disalah satu rumah sakit disana. Ditengah menyembuhkan luka Alena bertemu Elang, seorang dokter obgyn ditempat ia bekerja. pertemuan setiap hari ditambah sikap perhatian dan ramah Elang membuat Alena merasakan perasaan yang berbeda. Ditengah kedekatan mereka masa lalu Alena datang mengingatkan rasa sakit yang perempuan itu coba lupakan. Elang yang merasa aneh dengan sikap Alena berusaha menggali informasi tentang masa lalu perempuan itu. Hingga suatu saat Alena bersedia menceritakan semua padanya, membuat Elang memiliki keinginan menghapus luka itu. Seiring waktu berjalan Elang merasa perjuangannya tak sia sia melihat Alena yang kini mulai terbuka dengan keluarga perempuan itu.

Miracle_Blue · Teenager
Zu wenig Bewertungen
14 Chs

3.Memulai

Sinar matahari masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, wanita itu masih meringkuk nyaman dibawah selimut tebalnya merasa tak terganggu dengan sinar mentari yang menyorot masuk ke kamar.

Jam weker diatas nakas berbunyi kencang, ia sudah bangun subuh tadi, setelah sholat ia kembali tidur lagi. Alena bergumam pelan meraih benda yang menganggu tidur nyenyaknya. Duduk bersandar di kepala ranjang, ia mulai merenganggkan otot otot tangan setelah semalaman tidur tanpa gangguan. Ia masih mengantuk sebenarnya, tapi pagi ini ia sudah berencana akan pergi menemui sabahat semasa SMP nya setelah berziarah ke makam mama. Mereka sempat berkomunikasi semalam, menceritakan banyak hal dan menjanjikan pertemuan hari ini.

Tak ingin berlama lama, Alena bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah semua siap ia mematut diri didepan cermin, masih sama ia selalu terlihat menawan dengan balutan gaun di atas lutut. Bukannya terlalu percaya diri, semua orang akan mengatakan hal yang sama dan ia memang percaya kalau wajahnya memang cantik, turunan dari sang mama.

Mengambil tas dan kunci mobil, Alena berjalan menuruni tangga. Walaupun lama meninggalkan Jakarta tak membuat Alena lupa jalan menuju tempat favoritnya dan sahabatnya Diana.

"Pagi pagi udah wangi aja non, mau jalan jalan ya?" suara bi Inah menyapa telinganya pagi ini.

"Iya nih bik, ada janji sama temen. Lama gak ketemu soalnya."

"Gak sarapan dulu non? bibi udah masakin soup iga kesukaan non Alena. Eh bibi lupa, non Alena kan lama tinggal di luar negri ya. Mana cocok atuh pagi pagi sarapan nasi"

Bi Inah cekikikan dengan pemikirannya barusan, benar kan? Orang Eropa mana bisa pagi pagi makan makanan berat.

Bi Inah memang mengenal Alena dari perempuan itu masih kecil, dulu sebelum pindah keluar negri, Alena kecil sering menginap disini dirumah tuannya Abra. Maka tak heran makanan kesukaan Alena pun bibi sudah hafal.

"bibi bisa aja, nanti deh bik diangetin buat makan malem aja. Aku udah ada janji sama Diana mau cari sarapan diluar soalnya. Kalau gitu aku berangkat dulu ya bik, takut macet dijalan. Kemungkinan pulangnya juga agak sorean. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, hati hati dijalan ya non. Jangan ngebut "

Yang Alena balas dengan anggukan.

15 menit perjalanan, Alena sampai di TPU Ciracas. Ia berjalan menuju makam sang mama.

Berjongkok Alena mengusap nisan sang ibu, ia rindu belaian mamanya ,rindu senyum mamanya. Semua tentang mamanya ia sangat rindu. Menunduk, Alena mulai mengangkat tangan untuk mendoakan sang ibu.

Ia menangis dalam diam, menyimpan semuanya sendiri. Dengan mata sembab, Alena mulai menaburkan bunga di atas makam sang mama. Mencium nisan mama lama, sebelum pergi dari sana. Ia menunduk berjalan menuju mobilnya terparkir.

Bahkan Alena tak menyadari ada seorang lelaki paruh baya yang sedari tadi menatapnya dengan wajah sendu dan air mata yang mulai menuruni pipi tirusnya.

****

"Aleeee... Ini lo? ya ampun kenapa makin cakep aja. Beda banget sama Lo yang dulu, sekarang kenapa bisa bening begini sih?

"Satu satu dong Di? Gue binggung mau jawab yang mana dulu"

Alena membalas pelukan sang sahabat tak kalah erat.

"Gue kangen banget sama lo anak nakal. Kenapa baru hubungin gue hah!?"

Sahabatnya ini memang tak pernah berubah, heboh dan suka bicara dengan nada tinggi.

Apa katanya tadi baru menghubungi, padahal kepulangannya saja ia sudah menghubungi Diana lebih dulu. Sahabatnya ini memang terkadang suka melebih lebihkan sesuatu.

"Sorry, lo ngerti kan gimana gue saat itu. Lagian gue juga sibuk sama pendidikan. Gak mudah buat jadi dokter, apalagi sekolah diluar"

"Emm.. Iya sih. Yaudah lo duduk dulu, tuh udah gue pesenin sarapan kesukaan lo. Kurang baik apa coba gue sebagai sabahat. Tanpa diminta pun udah gue siapin semua"

"Uhh gue jadi terharu, makasih Dia cantik".

Balas Alena mengerlingkan matanya nakal, membuat sang sahabat bergidik merinding.

"Idih, sejak kapan lo jadi centil dan sok kecakepan begitu. Gak cocok sama diri lo yang dingin. Lagian ya...." .

Alena memutar bola matanya malas. Sahabatnya ini kalau diladenin bisa sampai pagi baru berhenti bicara.

"Kapan kita sarapan kalo daritadi lo

Ngomong terus?

Balas Alena sambil bersedekap bosan.

" Sori deh, yaudah lo makan dulu. Gue mau ke kamar mandi. Biasa."

Jawab Diana sambil tersenyum canggung, kenapa juga Alena menampilkan wajah menyeramkan begitu. Dia kan hanya bicara tadi.

Setelahnya kedua sahabat itu menuntaskan rindu dengan berjalan jalan keliling mall dan berbicara ngalor ngidul seperti dunia milik mereka berdua. Ya begitulah, mereka selalu heboh dan banyak tingkah jika beruda.