webnovel

Low Slow Distance

Raga ini tidak akan bisa memaksakan perasaannya.

—Hiraeth.

***

'Aku sudah bilang tidak perlu'

Haikal tersenyum, "Tidak apa-apa, lagipula hari ini aku libur kuliah,"

Haikal datang ke rumah Fara dengan banyak barang dapur dibawanya. Ada sekitar dua plastik besar diisi oleh banyak jenis sayur dan buah.

"Kamu bisa mandi dulu selagi aku memasak,"

Haikal memang sudah terlalu sering mampir ke rumah milik Fara sekedar hanya untuk melihat gadis itu. Fara tidak merasa terganggu meski hal itu Haikal lakukan setiap hari, karena itu menjadi kegiatan sehari-hari nya juga. Jika tidak ada Haikal di pagi hari, dia akan lupa bahwa dia hidup sebagai Fara Andara.

Haikal tidak datang ke rumahnya kemarin, yang berarti bahwa Karey dan dirinya tidak terlihat oleh Haikal.

"Mandi yang bersih!" teriak Haikal dari dapur, dia terdengar seperti ibu yang memarahi anaknya saat hendak mandi.

***

Jujur saja Haikal melihat Karey saat mengantar Fara pulang. Ada sedikit rasa tidak nyaman saat ingat bahwa Fara tidak pernah mau diantar olehnya untuk berangkat kerja, tetapi kenapa dengan pria yang baru bertemu malah boleh-boleh saja, dengan senang hati? Karena apa? Haikal melihat wajah Fara yang terlihat berseri.

"Padahal aku menunggunya untuk bercerita," hembusan napasnya mengiringi acara mengeluh milik Haikal Araqsa.

Dia sudah siap dengan ayam bakar dengan sayuran segar di samping samping nya, dengan nasi dan minumnya teh manis hangat. Haikal tidak terbiasa makan roti saat pagi hari, dia lebih menyukai nasi.

"Udah?" Haikal melihat Fara turun dengan pakaian rumahan.

Fara mengangguk dan berjalan ke arah meja makan.

"Hari ini bunda masih ada di luar kota, belum kembali. Aku akan diam disini saja, bosan di rumah sendirian,"

Fara mengangguk, mengiyakan. Haikal adalah anak tunggal,

dan orang tuanya jarang ada di rumah. Maka dari itu terkadang Haikal akan menginap disini jika memang pria itu malas di rumah sendirian.

"Kemarin kamu pergi kemana?"

Fara mendongakkan kepalanya, 'Hanya pergi jalan-jalan' jemarinya bergerak.

"Tidak bertemu siapapun?"

Fara menggeleng, bukan tidak mau bercerita. Sedekat apapun mereka berdua, tetap saja masing-masing punya privasi yang harus dikonsumsi oleh diri sendiri, bukan konsumsi publik meski hanya diberitahu para orang terdekat saja.

"Baiklah, aku pikir kamu memiliki teman baru yang lain. Jadi, aku akan lebih leluasa untuk meninggalkanmu nanti," ucap Haikal mencari alasan agar Fara menceritakan tentang pria yang bersamanya kemarin.

Setelahnya mereka tidak berbicara apapun dan hanya melanjutkan acara sarapan saja.

***

Di sisi lain ada Karey, pria itu meringkuk di sudut ruangan. Tangan yang memeluk tubuhnya sendiri terasa hampa, penyebabnya tidak lain adalah kedua orang tua.

"Kenapa harus seperti itu?" ucap Karey tipis, yang hanya bisa didengar hanya oleh telinganya.

"Padahal aku melakukannya dengan baik," lanjutnya dengan nada sedikit berdesis.

Seprei yang baru diganti beberapa hari lalu saja sudah terlihat banyak tetesan darah. Bukan kebiasaan Karey, tetapi kebiasaan orang tuanya.

"Apa salahku?" suaranya berubah menjadi serak, tubuhnya bergetar saat mendengar suara pintu diketuk.

Biasanya ayah hanya membuka dan melakukan apa yang beliau inginkan, jika seseorang mengetuk pintu kamarnya, itu berarti?

"Bunda,"

Karey bangkit dengan tertatih, tangannya memegang tembok dan meja-meja kecil untuk sampai ke pintu kamarnya.

"Terbuka," ucap Karey, tetapi tubuhnya langsung limbung ke depan sesaat setelah pintu terbuka, yang membuat seorang wanita paruh baya terkejut dan langsung berteriak memanggil satpam.

"TOLONG BAWA DIA KE MOBIL SAYA!"

Dalam sakitnya Karey tersenyum, "Aku menunggumu dari tadi, bunda," gumamnya pelan.

***

"Bagaimana keadaanmu?"

Karey menutup bukunya, dia menengok ke arah sumber suara. Kemudian melemparkan segaris senyuman, "Sedikit lebih baik," jawab Karey.

"Maaf bunda telat datang,"

Karey tetap tersenyum, "Setidaknya bunda tetap datang sesuai kesepakatan kita, bukan?"

Wanita patuh baya yang masih berdiri itu mengangguk dan menghela napas secara bersamaan.

Dia mendekatkan tubuhnya menuju brankar rumah sakit, yang di atasnya itu terbaring Juga Avalia Karey dengan luka lebam di sepanjang garis tangannya.

"Lain kali jangan diam saja," ucapnya,

Karey mengangguk, "Nanti aku akan melawan dia," jawabnya dengan nada seperti anak anak.

"Bunda akan pergi kapan?"

Wanita yang dipanggil Bunda itupun menatap Karey, dia mengelus rambut Karey dengan telapak tangannya.

"Bunda akan pergi beberapa jam lagi," jawabnya,

Karey mengedepankan bibirnya, "Sebentar lagi," ucapnya,

Wanita itu mengangguk, "Makanya kamu harus rajin belajar agar bisa menyusul Bunda nanti,"

Karey menghela napas, "Kenapa tidak langsung membawaku saja, lagipula tidak ada gunanya ayah bersamaku,"

"Bunda, bisakah aku tinggal bersama keluargamu saja?" tanya Karey dengan mata yang terlihat menggenang.

Wanita itu tidak bisa menjawab apapun, hanya diam karena dia juga tidak tau jawaban seperti apa yang harus dia katakan. Hanya...

"Bunda akan berusaha sebaik mungkin agar kamu bisa bahagia,"

Lagi-lagi Karey pikir tidak ada yang akan membuatnya bahagia.

"Padahal aku hanya ingin hidup bersama dengan mu, tetapi ternyata sesulit itu," dia tersenyum dengan sedikit tawa miris,

***

Karey sakit, tidak. Jiwa Karey sakit, menurutnya melihat banyak luka dan darah itu sudah biasa. Tetapi yang sakit itu mental Karey, dia lelah. Dia ingin bunda ada disisinya selama dia sakit, tetapi kenyataannya? Bunda harus pergi ke rumahnya, rumahnya bukan Karey. Tetapi anak-anak baru bunda, anak kandung bunda yang lain.

"Karey gimana, Bun?" lirihnya bergumam,

Avalia Karey, dia mengedarkan pandangannya melihat ruang rumah sakit VVIP yang didalamnya bahkan tersedia banyak sekali perabotan rumah. Bahkan ada kamar mandi modern dan juga mantel serta sendal, terasa seperti hotel.

"Uang Bunda banyak untuk membayar hidupku, tetapi aku tidak ingin uang. Aku ingin Bunda," ucap Karey lagi,

Dia tidak bisa, dia tidak sanggup. Bagaimana bisa orang tua meninggalkan anaknya ketika anaknya sedang sakit?

"Bunda bisa," ucap Karey, dia tertawa miris.

Karey mencoba duduk, dia tidak separah itu. Sudah dibilang luka di tubuhnya itu sudah biasa, itu bisa di sembuhkan. Tetapi luka di hati Karey terlalu banyak membekas, dan berkali-kali tergores lagi. Yang sakit itu batin Karey, bukan raganya.

"Tuan Karey, mau pergi kemana?"

"Ah, bahkan Bunda menyewa penjaga untuk mengawasi ku. Sangat romantis kasih sayang seorang Bunda," Karey tertawa sumbang, kemudian wajahnya langsung berubah datar.

"Pulang," Jawa Karey singkat,

"Tuan Karey belum boleh pulang, perintah dari atasan kami," ucapnya,

Karey tidak perduli, dia tetap berjalan dengan pakaian rumah sakit dibalut Hoodie kuning mustard.

"Jangan ikutin saya atau saya bilang Bunda untuk memecat kalian?"

Bunda sangat memanjakan ku dengan hartanya, aku bisa melakukan semuanya sesuka hati. Bahkan menyewa dan memberhentikan pegawai yang mengawasi ku pun Bunda izinkan.