webnovel

Si Mbah telah pergi

Tiga Hari setelah tertangkap nya makhluk itu, kami pulang ke Malang. Bukan tanpa alasan, karena nenekku sedang sakit parah dan menghadapi sakaratul maut. Perjalanan menuju rumah nenek begitu penuh drama. sesaat sesampainya kami disana, sanak saudara sudah berkumpul, dari saudara yang terdekat dan bahkan yang terjauh. Bukan lagi mereka hadir tanpa alasan, selain niat menemani hari hari terakhir nenek juga mereka membicarakan tentang warisan.

"Emooooh... Emooooh.. jangan masuk.." Tiba tiba Amira menangis sekencang-kencangnya dan mengatakan jangan masuk, dia meronta ronta ingin turun dari gendongan ayahnya.

"Kenapa nduk ? Ono opo?" Tanpa menjawab, Amira memaksa kembali masuk ke dalam mobil sambil menangis sesenggukan.

"Kenapa pa?" Tanya ku menyusul langkah suami menuju parkiran mobil.

"Kenapa nduk? Ada apa di dalam?" Tanya ku pada Amira dengan memangkunya.

"Di dalam aku lihat ada orang jahat ma, badannya besar ,matanya satu di tengah, gede dan warna nya merah, terus badannya ngeluarin api. Aku takut ma, orangnya lihat Mbah buyut terus." Meski suaranya terbata bata, aku mengerti bahasa Amira.

Nenek memang sedang dalam tahap naza' tapi seakan akan beliau sedang tersiksa, entah apa yang sedang terjadi. Orang tua dan para sesepuh pun memberinya daun kelor, karena kata mereka nenek memiliki beberapa pegangan "jin" dan susuk. Pantas saja, di usia beliau yang sudah 90th, beliau tetap cantik dan kelihatan muda.

Terlebih lagi, nenek dan keluarga budhe lebih percaya pada dukun daripada dokter. Tak jarang mereka bertengkar dan saling tuduh jika salah satu anggota keluarga mereka ada yang sakit. Mereka selalu mengatakan bahwa yang sakit sedang di santet, itu juga berlaku pada ternak mereka.

Keluarga ini memang aneh, meski beliau keluargaku. Tapi cara pandang kami berbeda, mereka tamak, rakus, serakah. Bahkan saat si Mbah menghadapi sakaratul maut, mereka bukannya membantu memperlancar kematian si Mbah. Malah sibuk sidang warisan dengan keluarga yang lain. Aku trenyuh melihatnya.

"Ya sudah, kalau amirah ga mau masuk ke rumah Mbah buyut, amirah main di rumah eyang warni ya, di sana ada om nabil dan adik adiknya." Setelah Amira mengangguk, aku gendong dan mengajaknya masuk kerumah budheku yang satunya. Dia tak lagi merengek, bahkan dia senang banyak teman dan saudara disana.

"Gimana Mbah Bu?" Tanya ku setelah bisa meninggalkan Amira di rumah sebelah.

"Yo ngene Iki, sakne. Anak anaknya yang selama ini tinggal dengannya malah mendahulukan warisan ketimbang ibunya. Padahal jauh hari ibumu ini sudah berpesan pada simbahmu, "mumpung belum" mending warisannya di bagi dulu, daripada nanti di buat rebutan dan ga adil buat yang dapat. Tapi mbahmu ga ngreken, malah ibu di bilang anak kurang ajar karena ngarepin Mbah cepet cepet mati. Padahal ibu cuma takut hal seperti ini terjadi. Lihatlah nduk, lihat pakdhe budhe mu, lihat anak anak mereka. Bukankah seakan akan mereka saling membenci dan saling bermusuhan. Hanya karena warisan."

Aku terdiam mendengar ucapan ibu, meski ibu adalah keluarga mereka, namun ibu berbeda. Ibu orangnya nrimo, ga serakah, ga suka ribut. Entah niru dari siapa sifat beliau, itu lah yang membuat ibu selalu di injak injak oleh kakak kakaknya, tapi ibu bukan pendendam. Ibu selalu berpesan, setiap apa yang mereka lakukan, nanti akan ada balasannya sendiri dari Gusti Allah. Ndak usah marah atau dendam, tetap baikin mereka. Bagaimanapun juga, mereka pernah membantu kita saat masa kritis hidup kita dulu.

Yah.. kami pernah ada di masa, dimana orang tak lagi mau memandang karena kehidupan kami yang jauh di bawah kata layak, setelah ayah di tipu rekan bisnisnya. Dan hutang menumpuk dimana mana, hanya keluarga budhe ini yang mau menerima, meski setiap hari kami mendapatkan sindiran dan hinaan karena kami menumpang, tapi kami bersyukur masih memiliki tempat tinggal waktu itu.

"Mbah masih ngelarani, sudah seharian proses naza'nya, kakinya mulai anyep, badannya mengejang,matanya terbuka lebar, mulutnya pun sudah tak bisa berucap. Susah melafalkan kata Allah, mungkin karena mbahmu seumur hidup ga pernah sholat dan ngaji. Ya Allah, mudahkanlah emak menghadap Mu, maafkanlah dan ampunilah semua dosa yang pernah beliau lakukan di dunia ini. Aku sebagai anaknya, ikhlas memaafkan setiap khilafnya." Ibu bergumam sendiri menatap langit, aku hanya bisa mengamini di sampingnya.

"Innalilahi wa innailaihi rojiun.." Mbah pun menutup mata. Tangispun membuncah, meski aku tak dekat dengan beliau, tapi dari beliau lah aku di ajari cara sopan santun dan belajar berbisnis.