Belahan jiwa tentulah keluarga, belahan hati tentulah kekasih, belahan kopi ialah Khifdza. Antara Khifdza dan kopi adalah separuh yang di pertemukan dengan separuhnya, hingga mereka menjadi pasangan yang pas.
Dan jika di pisahkan maka akan terasa kurangnya.
Hobi menyukai bermacam tanaman memang sejak kecil, tapi hobi dalam meracik kopi hingga menjadi minuman yang istimewa baru dia temukan beberapa tahun lalu, setelah lulus dari sekolahnya.
Dia tidak melanjutkan untuk kuliah lantaran biaya, karena waktu itu Aira sedang duduk di bangku SMP dan dia punya adik bayi.
Dia tak ingin menjadi beban untuk keluarganya, di awal-awal lulus sekolah dia sempat bekerja sebagai kasir di Supermarket. Tapi dia hanya betah beberapa bulan saja. Berdiri sepanjang hari ternyata sangat melelahkan baginya, terlebih lagi suasananya yang selalu ramai dan itu adalah pemandangan setiap waktu, dan dia pun berusaha mencari pekerjaan lain.
Pas di waktu itu di lingkungannya sedang membutuhkan seorang guru les Bahasa Arab dan dia tertarik untuk mencobanya, setelah memalui beberapa seleksi Khifdza lolos dan di terima menjadi Guru les di lingkungannya. Dia mengajar di sore hari itu pun hanya dua jam saja, memang bayarannya berbeda jauh dari pekerjaan sebelumnya, tapi setidaknya dia merasa nyaman dia memiliki banyak waktu, dan yang terpenting dia punya kegiatan yang mengarahkan kepada generasi mendatang kepada kebaikan.
Tiada garam tanpa asin, tiada cita tanpa rintangan, rintangan itu pasti akan ada di jalan citamu, jika kamu menderita di jalan cita mu... Itu adalah kebahagiaan jika kamu mampu melalui nya.
Hari berganti hari terlewati dengan suka duka.
"Menjadi guru itu tidaklah se-enak yang ada dalam pandangan mu"
kata Khifdza kepada dirinya sendiri di depan cermin, rintangan itu kini sudah mulai terlihat seakan pikirannya mulai goyah, masalah bukan terletak pada kegiatan belajarnya. Tetapi di tempat tersebut banyak murid-murid gadis kecil umur dua belas tahunan yang suka nyleneh, konyol, bisa bikin tertawa bisa juga bikin salah faham
Di waktu ini Khifdza belumlah mengenal seorang Maula. Setiap hari membantu nenek kakek nya dan sore nya menjadi guru les, kian hari Khifdza kian lelah ngurusin kejahilan murid-muridnya itu, yang juga tambah lama tambah nyleneh seperti waktu yang lalu saat Khifdza memulai untuk absen.
Ada seorang murid yang biasa nyleneh kepadanya, saat khifdza bertanya
"Sudah sampai halaman berapa yaa kemaren anak - anak? hayooo sebelum di buka, absen dulu.., maju satu - satu ya..." perintah Khifdza kepada semua muridnya.
Kemudian majulah si anak tersebut dan dia bilang,
"Pak guru aku maju sendiri ini"
"Oooh iyaa silahkan tulis nama kamu, bisa kan..?"
Kata khifdza menjelaskannya.
Padahal itu juga sudah rutinitas keseharian murid itu, tapi kali ini berbeda justru yang di tulis namanya Khifdza.
Khifdza yang melihat tulisan itu kemudian bertanya
''Adek... kok malah nama saya yang di tulis?"
tanya Khifdza dengan senyum ramah
"Ooh iyaa soalnya nama pak guru udah melekat dari hati sampe tangan saya Pak!"
jawabnya dengan malu dan semua temannya mulai memperhatikannya.
Jawaban anak tersebut benar-benar di luar dugaan, semasa sekolah yang cewek sekelasnya aja belum ada yang bisa berkata seperti itu. Khifdza pun hanya bisa tertawa sampai berganti anak yang absen tawa itu masih saja tak bisa di sembunyikan. Bukan Khifdza bahagia tapi anak kecil sekarang berbeda dari masa kecilnya, yang bahkan Khifdza sendiri pun belum bisa berkata tentang apa itu hati, apa itu perasaan.
Tambah hari tambah ada saja yang tak di sangka-sangka, sudah sewajarnya jika orang tua sangat peduli dengan pendidikan anak nya, salah satu dukungan nyatanya adalah mengantar jemput untuk belajar entah itu di sekolah atau ke tempat les.
"Selamat sore pak" sapa seorang ibu kepada Khifdza yang hendak masuk ruang belajarnya.
"Iyaa Bu selamat sore, ngantar anaknya yaa bu?"
Khifdza pun berbalik tanya kepadanya
"Iyaa Pak Guru itu looo anak saya yang pake kerudung putih itu" sambil menunjukkan jari tangannya
"Ooh iyaa Bu saya jadi tau" jawab Khifdza
"Dia itu Pak Guru anak saya yang nomer empat yang paling manis yang paling pinter, dia itu pelajaran dari pak guru bersungguh-sungguh di pahami bener-bener"
"Ooh iya iyaa bagus itu Bu.."
"Iyaa pak Guru, saya sangat suka dia les di sini, apalagi guru nya ganteng aaaah... gemes juga ikutan jadinya"
ucap ibu tersebut dengan bermanja
Mendengar itu Khifdza seakan menjadi pendengar radio, bingung mau jawab apa, ibu nya ngomongnya udah kaya kereta lewat, yaa itu karena juga sedang mencari perhatian dari Khifdza
"Kalau pak anak saya jadi pacarnya Pak Guru hemm gak akan rugi! dia rajin! pinter! dan yang lebih lagi dia cantik ya.. kaya saya kan pak tentunya"
tambah bujuk rayu nya yang makin di perjelas, tapi Khifdza tidak bisa sama sekali menanggapi di dalam benaknya sampe terkilas kata
"Haadech... enggak ibu nya, enggak anaknya sama nyleneh nya"
Dalam semua hal pasti ada dua sisi, ada yang suka dan ada yang tidak suka, yang menyukai pasti akan memuji semua hal yang kau lakukan dan berkata itu baik, lain hal nya dengan yang tak suka, mencari - cari kesalahan mu adalah nomer satu lalu menceritakan nya kepada kuping lain yang sudah dia bumbui dengan resep rahasia dan di embel-embeli dengan adegan dramatis seakan saat itu mereka adalah cctv yang sudah merekam segalanya, bahkan bukan hanya bisa menirukan kata-kata mu tapi memperagakan gerakan tentang dirimu pun itu bisa, itu adalah hal biasa, kebiasaan datang karena rutin atau seringnya melakukan suatu hal, tak terkecuali bisa menilai orang lain hanya dari satu matanya saja, semakin sering akan semakin mahir dan keterbiasaan pun terjadi dengan mudah.
"Waah... makin rame yaa itu yang pada les, kian banyak aja yaa Ibu-Ibu" kata salah seorang ibu rumah tangga yang sedang lewat bersama teman-temannya, dan seperti biasa mereka pun ngrumpi yang berkepanjangan.
"Guru nya cakep loo Bu... katanya."
"Iyaa looo saya paham itu kan cucu nya rumah sebrang jalan itu ya..."
"Alah... cakep apa? anak muda sekarang itu cakep karena perawatan, itu kan orang tua nya kerja jauh, eeh Ibu-Ibu jaman sekarang cakep itu gampang, asal orang tua nya banyak uwang ya cakep iih.. gitu aja kok di bahas."
ucap salah seorang yang tidak suka kepada teman-temannya yang memuji Khifdza. meski begitu yang sebenarnya adalah dia juga diam-diam mengagumi Khifdza.
"Emang kamu tau orang tua nya di mana?"
"Tau donk, orang tuanya itu gak pernah ke sini, anak nya banyak.. iyaa Bu anaknya itu banyak."
"Oooh pantesan dia tinggal di sini pasti sumpek itu punya banyak adik."
"Iyaa lah, dia itu kan juga gak lanjut sekolah dan milih jadi Guru les, itu karena orang tua nya gak mampu kaya kita yang mengutamakan anak-anaknya"
"Ooh begitu ternyata, pantesan yaa mau tinggal sama orang Nenek peot kaya gitu"
"Hati - hati loo yaa jangan sampe anak-anak kita kena bujuk rayunya si Guru itu, paling entar itu karena dia mau numpang hidup di rumah istrinya kan..."
"Nener itu Bu.. padahal sebenernya saya sudah larang anak saya untuk ikutan les itu, tapi masih.. aja kekeh berangkat"
"Sama itu.. aku juga udah banyak ngomong ma anak ku tapi udah kebawa aliran dari teman-temannya, katanya Gurunya asik lah, ganteng lah.. pokoknya adaa aja alesannya."
"Nah itu hati-hati kalian, jangan sampe anak kalian yang kena."
Begitulah kalau orang tidak suka, belum tentu bener dengan apa yang ada di pikirannya tapi berani mengatakannya kepada orang lain.
Hari demi hari terlewati dan berganti..
"Apaan nie..."
gumam Khifdza saat melihat sesuatu (Rantang makanan) yang ada di meja mengajar nya. Tapi Khifdza tak meneliti nya dalam pikirannya, mungkin itu milik anak yang sedang di titip kan di mejanya, tanpa berfikir apapun Khifdza langsung duduk dan menyapa murid-muridnya.
"Selamat sore Pak Guru .." sapa seorang anak perempuan kepadanya
"Sore..." jawab Khifdza
"Itu Pak! ada sesuatu buat Pak Guru silahkan di terima."
"Aaa.. buat saya?"
"Iyaa itu isinya makanan kok payk, kata Ibu buat makan malem pak Guru, itu saya ikut bantuin loo.. Pak pasti enak, semoga pak guru suka..."
Mendengar itu Khifdza pun hanya bisa tersenyum dan tak terasa dia mengusap-usap wajahnya, melihat itu si anak justru tambah memperhatikan nya.
"Pak guru kenapa...?"
"Enggak apa-apa " jawab Khifdza sambil menenangkan dan mencoba tersenyum.
Di antara banyaknya murid yang nyleneh ada satu yang berbeda, dia pendiam, tekun dan fokus dalam pelajaran, dia berbeda dari teman seusianya yang banyak tingkah untuk mencari perhatiannya Khifdza, yang setiap duduk berebutan untuk yang paling dekat, tiap absen ingin selalu menjadi yang di perhatikan, sampai saat pelajaran berlangsung pun! hanya Khifdza yang ada di benaknya, iyaa dia berbeda, berbeda dari tertawa nya dari busana nya dari tutur bicara nya, dia tidak suka bercanda yang terlalu banyak, sampai khifdza sedikit penasaran.
"Aah tapi udahlah lupakan saja"
gumam Khifdza kepada dirinya sendiri, dan dia pun melanjutkan langkahnya untuk pulang. Meski sebenarnya Khifdza benar-benar merasa penasaran. Dan ada kalanya dia mempertikan dengan diamnya.
Dalam perjalanan Khifdza bertemu dengan seorang yang dia kenal
"Baru pulang dza...?" ucap seorang itu
"Iyaa seperti biasa jam segini pulang nya" Khifdza pun dengan ramah menjawabnya
"Ooh kirain kalau ada yang kasih sesuatu jam belajar nya juga di tambahin."
Mendengar itu Khifdza tetap sabar dan karena juga Khifdza tau apa maksudnya, semua itu karena memang sifat aslinya, dan tertambah lagi, khifdza adalah anak yang beruntung, lebih banyak yang menyukainya dari pada mereka yang tidak.
Dalam benak Khifdza tidak ada pentingnya sama sekali menghitung berapa orang yang tak menyukai mu sedangkan yang suka pasti lebih banyak dan mendukung karena kebaikan, yang tak suka selalu sibuk membuang-buang waktu mereka sendiri. Orang yang seperti itulah yang tidak akan mengenal siapa dirinya sendiri.
Ibarat pohon semakin tinggi akan semakin kencang angin menerpa.
Tapi itu bukan untuk menggugur kan daon nya, melainkan menguji kekuatan akarnya.
Begitulah kata orang, dan itu juga mungkin yang sedang di alami oleh Khifdza.
Di saat tambah banyak murid yang mengikuti les nya, dan semakin banyak pendapatan nya, masalah yang dulu di anggap sepele kini menjadi penghalang, banyak yang berkata bahwa Khifdza itu pemberi harapan palsu, memilah milih dalam mengajar, begitu lah berita yang beredar, lebih buruknya pengedar nya tidak lain adalah mereka yang patah hati, kecewa lantaran anaknya tidak bisa membuat Khifdza jatuh hati.
Percayalah kebaikan akan di pertemukan dengan kebaikan, begitu juga sebaliknya, di saat suasana rusuh di belakang layar, maksud nya tak berani meminta klarifikasi dari Khifdza tapi justru membicarakan hal yang tak jelas asal muasalnya.
Tetapi ada satu yang istimewa di saat seperti ini, masih ada satu murid yang bisa memahami Khifdza guru nya, meski dia masih baru, tapi semenjak hadirnya anak ini hari-hari Khifdza sedikit berubah, dia mampu menjadi pereda saat anak-anak rusuh memperebut kan khifdza.
"Diiam..! " suaranya yang lantang dan berani melerai kala masa-masa rusuh, dia adalah Piddin, sejak hadirnya Piddin, kelas tak serusuh yang dulu, karena keberaniannya dia cepat akrab dengan Khifdza, Piddin adalah anak yang penurut, periang dan rajin, sejak bertemu mereka adalah ibarat sahabat yang pas tanpa kekurangan.
Khifdza yang penyayang membuat Piddin tak ragu untuk minta bantuan bahkan untuk mengadu atas apa yang terjadi padanya. Kedekatan mereka kian hari kian bertambah erat layaknya saudara, tak jarang Piddin maen ke rumah Khifdza hingga tak malas membantu - bantu kesibukannya Khifdza.
Dan akhirnya keputusan Khifdza untuk berhenti menjadi guru les pun adalah yang terbaik, bukan karyna tidak kuat akan tuduhan si tukang rumpi, melainkan adanya orang yang sudah bisa menggantikan posisinya yaitu murid yang pernah bikin Khifdza penasaran, dia yang pendiam dan tak suka bercanda adalah anak dengan banyak prestasi yang layak menjadi guru les di lingkungannya, Khifdza pun merasa lega dan ternyata dugaan nya Khifdza itu benar
"Bahwa dia bukan anak biasa"
Begitu juga dengan Piddin dia bukan anak biasa, setelah Khifdza berhenti menjadi guru les, dia melamar pekerjaan di pabrik kertas, tempatnya lumayan jauh, tapi untungnya dia miliki satu motor meski motor kuno, yaa setidaknya itu bisa untuk menyambung jalan.
"Dza... tadi ada orang cari kamu"
kata nenek nya yang menghampiri Khifdza yang sedang istirahat menikmati indahnya langit dari samping rumah
"Siapa nek..?"
"Itu.. yang biasa di sini sama kamu, dia tanya kok katanya kamu sekarang di mana.."
"Oooh Piddin, yaa gampang lah besok Nek aku akan datang ke rumahnya."
"Memang kamu tau di mana rumahnya Dza..?"
"Belom si Nek.. cuma kalau dari dia pernah cerita yaa gak jauh dari sini tapi entar aku coba ingat - ingat dulu.."
"Yaa sudah besok, tapi jangan lupa, itu kopi yang tadi sudah Nenek bersihkan kamu bawa ke pasar, Kakek mu tidak sempat Dza.. masih banyak yang kopi yang belum di kupas.."
"Iyaa Nek besok aku kerja setengah hari saja kayaknya"
"Yaa sudah istirahat lah, hari sudah malam.."
ujar Neneknya memberi nasehat
Malam yang indah, banyak bintang bertebaran menghias malam sangat di sayangkan jika di tinggal kan hanya untuk bermimpi, di kala pandangan Khifdza hanya menuju bintang-bintang itu, pikiran Khifdza mulai tumbuh banyak angan-angan dan khayalan, hingga di saat dia hendak memejamkan matanya, hati nya berkata
"Aku ingin mewujutkannya!!"
Keesokan pagi nya seperti biasanya kala kantuk masih menyimuti khiyfdza membantu-bantu tugas rumah sebelum pergi bekerja, membantu membuat perapian untuk nenek nya memasak hingga membantu menyiapkan alas untuk kakek nya menjemur kopi.
Sesuai rencana Khifdza kerja sampai setengah hari saja, setelah makan siang bersama kakek - nenek nya, Khifdza bergegas untuk mencari rumah Piddin, dia mengingat-ingat tentang petunjuk jalan yang pernah Piddin katakan padanya.
"Akhirnya ketemu juga " Khifdza pun lega karena usahanya tak sia-sia, dari tempat berdirinya Khifdza melihat seorang ibu yang berada dalam rumahnya, tapi itu tak begitu jelas karena mata Khifdza masih terasa silau karena terik matahari selama perjalanan, dan piddin pun muncul.
"Eeee..h ... . ada Pak Guru..., selamat siang Pak, mari masuk , maaf Pak hati - hati awas jangan kepleset." ucap Piddin kepada Khifdza karena samping depan pintu rumahnya yang tidak rata. Terlebih langsung ada kolam ikan di sebelahnya.
"Aaah kamu jangan gitu lah aku itu udah bukan Guru les, sekarang aku ada di Pabrik kertas."
"Ooh jadi sekarang aku panggilnya Bos saja ya..?"
"Haha Bos apaan? aku itu karyawan lah.."
"Iyaa bos hati-hati jalannya jangan kepleset."
"Kepleset juga gak sakitlah!"
"Iyaa bukan Bos yang sakit tapi kasihan ikan saya bos" jawab Piddin dengan tersenyum lebar. Khifdza pun langsung tertawa mendengarnya, dia mulai kenal sifatnya. piddin yang ternyata suka ngelawak.
Kedekatan mereka tambah akrab kala tiap hari mereka bersama, menjadi teman kerena seperjuangan, karena tempat kerja yang lumayan jauh menjadikan mereka membawa bekal dari rumah.
Membawa apapun yang kiranya mereka butuhkan di sana. Tidak terkecuali kopi, bagi Khifdza kopi adalah penyemangat untuk hari-harinya, dan lidahnya memang terbiasa dengan kopi racikannya sendiri, saat jam istirahat mereka bisa makan bersama, dan di sini lah untuk pertama kalinya Piddin minum kopi.
"Hmmmmmmmmmmm..... aromanya Bos...." ucap Piddin saat Khifdza menyeduh kopi di sampingnya.
"Iya aku juga tiap kali Khifdza lagi nyeduh kopi rasanya ingin ikutan minum" ucap teman yang ada di sampingnya
"Aroomanya itu lo.... " tambah teman satu nya lagi,
Mendengar itu Khifdza merasa dirinya tersanjung karena kopi racikannya, merasa bahagia tak terkira hingga senyumnya menebar pesona menambah cerah kehangatan secangkir kopi. Seiring bertambahnya waktu kopi buatannya Khifdza semakin terkenal, teman kerjanya banyak yang memesan karena rasanya yang tak bisa di dapat di kedai manapun.
"Waah... sekarang ganti profesi saja Bos, jadi Bos kopi hehehe" kata Piddin
"Bos kopi apaan, bisa kerja kaya gini aja bagi gue udah sangat beruntung"
jawab Khifdza dengan senyuman yang mengandung khayalan ke arah langit.
"Jangan gitu Bos, punya harapan itu yang sesuai, harus di kejar, apa yang kiranya layak yaa harus Bos usahakan."
Mendengar itu dia ingat bintang-bintang yang malam itu mengantarkan tidurnya yang menjadikan awal dari sebuah mimpi, mimpi yang sebelumnya tak pernah terfikirkan akan menjadi kenyataan.
"Saat pikiranmu sedang tak tentu arah, pasti matamu sukar menatap ke atas, lantaran kepala mu terasa berat dan lebih merasa nyaman dengan menetes kan air mata yang tak tertahan, sekali-kali cobalah di saat posisimu sedang gundah, gelisah tak tentu arah... tatap lah langit, di atas sana ada ruang yang begitu luas, karena luasnya hingga kau lupa punya tepian kelopak mata yang tak ingin ter basahi karena hal yang sepele, lihat lah di sana ada banyak titik cerah yang bisa membuat nafas mu lega kembali "
Itu adalah sebuah pesan dari seorang yang sangat dekat dengan Khifdza, dan baru di malam lalu dia ingat, di kala Khifdza benar-benar menikmati indahnya langit malam. Entah itu sebuah kebetulan atau perjalanan, sejak saat itu tiap Khifdza menerima gajian dia menyisihkan sedikit uangnya untuk membeli bibit tanaman buah, yang akan di jadikannya sebagai penghuni pekarangan rumahnya.
''Bos.. Ibu ku minta aku beliin kertas dari Pabrik kira - kira boleh gak yaa bos? " tanya Piddin kepada Khifdza.
"Bisa si.... emang butuh berapa banyak?"
"Yaa mungkin ratusan lembar lah, mungkin harganya akan lebih miring dikit yaa kalau beli langsung dari Pabriknya?"
"Pastinya... dan lebih murah lagi kalau elu bikin sendiri hahahahaaa" ucap Khifdza dengan tertawa
"Gampang itu.. tinggal cari kerdus bekas dan plastik..." jawab Piddin dengan santainya
"Haa.?"
"Eeh.. plastik yaa, tapi entar jadinya kertas plastik Bos, bukan kertas minyak yaaa"
"Gampang lah entar aku yang usahakan, yaa kebetulan gue punya kenalan orang dalem, yaa elu tinggal kasih pelicin aja biar semua urusan beres" ucap Khifdza iseng
"Ahh kok gitu Bos, yaa udah aku kasih oli nanti biar licin"
Dari tempat kerja inilah mereka semakin mengenal satu dan lainnya, berlalunya banyak hari menambah banyaknya pengetahuan dan hal baru yang mulai merubah kehidupan mereka, tak terkecuali bisa merasakan tempat bekerja seperti layaknya lingkungan sendiri. Memiliki banyak teman kerja dan kepercayaan dari mereka adalah kunci utamanya, karena hal itu tak jarang Khifdza dan Piddin mendapat tugas untuk mengantar pesanan dari Pabrik, sampai terkadang ke tempat yang lumayan jauh, itu terasa menyenangkan meski terkadang ada hambatan yang datang tak terduga. Tapi karena mereka saling ada, semua itu bisa dengan mudah di jalani, dan itulah baiknya memiliki teman yang satu pemikiran, hal yang sulit bisa di lalui dengan mudah tapi hal yang sangat mudah bisa menjadi sangat rumit bahkan menjadi hal yang membuat malas ketika di jalani dengan orang yang tidak tepat.
"Waau.. bersihnya..." ucap Piddin yang baru saja turun dari motornya Khifdza, melihat pekarangan rumah Neneknya Khifdza yang tampak berbeda, memang Piddin tak sedetail itu tapi memang ada sesuatu yang berbeda.
"Baru nyadar lu...? itu kan udah gue rapiin dari kapan hari"
"Hehehe iyaa Bos, kan biasa aku sibuk sampe gak liat kanan kiri Bos"
"Huuu... alesan"
"Ya udah dech pulang dulu Bos, sampe ketemu besok,"
"Ok.."
Begitulah kegiatan Piddin setiap harinya, tiap pagi dia datang ke rumah Khifdza lalu berangkat bersama, dan pulangnya kadang Khifdza mengantarkan sampai rumah jika Piddin mau.
Tapi itu jarang, karena Piddin tidak ingin banyak merepotkan Khifdza, di beri tumpangan tiap hari dan sudah di usahakan untuk bisa bekerja dengan Khifdza, itupun sudah lebih dari cukup, semenjak Piddin bisa bekerja keadaan hidup ibunya pun kian membaik, rasa kawatir seorang ibu untuk masa depan anaknya sudah terlewati.
Piddin hanya lulusan SMP, mau melanjutkan Sekolah ke jenjang lanjutan tapi ibunya merasa tidak mampu, sedangkan yang menjadi tulang punggung keluarga adalah kakak laki-lakinya seorang, memang fakta ibu nya tidak bisa menyekolahkan Piddin tapi tidak ada seorang ibu yang mau anaknya hidup tak punya arah, percayalah doa seorang ibu itu lebih kuat dari tembaga sekalipun tembaga itu sudah di campur dengan besi untuk mengukuhkannya.
"Pagi Bos...." terdengar suara dari luar rumah dan Khifdza pun segera membukakan pintu nya.
"Iich.. pagi amat lu..., baru aja gue selesai mandi belom makan."
"Iyaa Bos sengaja, gak pa-pa, soalnya lupa hape ku gak ku caz jadi gak liat jam"
keluh Piddin
"Sarapan belom?" tanya Khifdza yang masih mondar-mandir sambil menyeka rambutnya dengan handuk.
"Boleh Bos, kebetulan udah laper hehehe"
jawab Piddin yang sudah mulai tidak risih dengan Khifdza.
"Aaadduch... tapi belum masak Pidd..."
"Haaaduuuch..."
"Hhhhh.... ya udah gue minta tolong yaa sekalian beliin sarapan di seberang jalan nie uangnya" ucap Khifdza sambil menaruh uang di meja.
"Haaduhh... bisa udah capek duluan ini, tapi baik lah demi Bos Khifdza aku beli...." ucapanya dengan memasang wajah yang tersenyum lebar
"Ah bawell.. udah Sono beli!"
"Ok lah demi kita yaa Bos"
Piddin pun melangkah dengan semangat, dia bagaikan seorang adik yang begitu patuh dan sayang kepada kakaknya.
"Heyy ini pohon apa?" gumam Piddin yang penasaran kala melewati pekarangan rumah Khifdza. Sembari tetap melangkahkan kakinya, namun tetap juga rasa penasaran itu tidaklah menjauh.
"Bos di depan ada pohon tapi kok enggak ada daonnya Bos"
"Itu bukan pohon"
"Hooooooo..?"
"Itu kan yang kaya ranting itu... " ucap khifdza sambil menunjukkan arah jari nya agar Piddin tidak salah mengerti, karyna di sana sudah ada beberapa macam tanaman berjenis kaktus.
"Iyaa yang itu" ucap Piddin membenarkannya
"Itu namanya tulang monyet"
"Lah... tulang monyet, terus monyetnya kemana bos?" tanya Piddin yang serius karyna tak nyambung.
"Yaaa monyet nya elu lah..."
Keasikan bercanda sampe lupa bantuin jemur kopi, tapi tak apa nenek-kakeknya masih kuat dan mengerti mereka sudah kesiangan untuk berangkat bekerja dan lagi pula, kan Khifdza lupanya tidak setiap hari, karena serunya hingga di jalan pun Piddin tidak bisa diam, dia penasaran dari mana Khifdza mendapatkan pohon-pohon tersebut, sebenarnya lokasi penjual tanaman hias itu tidak jauh dari rumah Khifdza, hanya saja memberi penjelasan kepada Piddin yang belum pernah datang ke lokasi itu, dan terlebih lagi Piddin yang belum paham lika-liku jalannya, itu hanya akan membuat kepala pusing.
Hari ini mereka mendapat kan tugas kembali seperti biasa, mengantar kan pesanan.
"Asik yaa Bos kalau kerjanya kaya gini mulu..." kata Piddin yang bonceng di belakang Khifdza.
"Aik di elu capek di gue"
"Gitu.... Bos marah.. marah..."
"Yang lu maksud asik itu apa bego'...." jawab Khifdza dengan tidak paham dari ucapannya Piddin.
"Yaaa asik Bos kita bisa jalan-jalan, bisa lihat-lihat kaya gini " jawab Piddin sambil merentangkan tangannya menghirup udara kebahagiaan. Khifdza pun paham akan keadaannya Piddin yang memang dia tidak pernah menikmati waktu untuk menghabiskan waktu dengan membuang waktu.
Sejak bapaknya meninggal, Piddin sudah lupa bagaimana caranya agar bahagia, bisa sedikit terlupa dengan sosok yang selalu dia rindukan, itu sudah lebih dari segalanya, mengenai Piddin yang tidak memiliki seorang bapak itu adalah hal yang sengaja di rahasiakan oleh Piddin kepada Khifdza, tidak jarang di sela-sela waktu sibuknya, Piddin masih saja ingat akan semua kenangan manis bersama bapaknya. Tapi dia adalah pribadi yang kuat, terlebih lagi karena kini ada Khifdza yang menceriakan hari-harinya.