webnovel

Laksana

Adhinatha Laksana Bahuwirya, bukan manusia biasa, tapi bukan juga Iron Man

GwenXylona_ · Teenager
Zu wenig Bewertungen
26 Chs

Laksana | 26

•L A K S A N A•

Dulu, Ama pernah mengatakan padanya jika 'Hidup dan matinya manusia itu ada di tangan Tuhan, sayang. Beberapa manusia yang bodoh hanya sebagai perantara kematiannya', ya mungkin saat itu Ama telah meramal dirinya menjadi seorang pembunuh? Dengan bahasa halus Ama yang katanya sabagai perantara.

Berdiri gelisah di depan IGD adalah kegiatan Nana sejak setengah jam yang lalu, di sana juga ada Jeksi dan Renda, bahkan Laksa, tetapi bedanya mereka bisa sedikit lebih tenang dan duduk di kursi tunggu. Kedua tangan Nana masih bergetar hebat, mati-matian ia menahan air matanya supaya tidak turun. Sekuat-kuatnya Nana, dia sebenarnya anak yang mudah sekali tersenggol hatinya, sedatar apa pun wajahnya, se dingin apa pun tutur katanya, sebenarnya itu bukan dirinya yang sebenarnya.

Melihat Nana seperti itu, Jeksi sebenarnya tengah menahan diri supaya tidak memukul bolak-balik sahabatnya itu, mau menyalahkan Nana pun Jeksi tidak bisa, ini semua kecelakaan yang sialnya justru Haechan jemput adanya. Jujur saja Jeksi lebih memilih Nana yang menjadi korban di banding dengan Haechan yang berada di ambang kematian di dalam sana. Mungkin jika saat ini Nana yang berada di sana, Nana bisa sedikit mendapatkan karmanya setelah selama ini menolak Haechan sebagai saudaranya.

Berbeda dengan Laksa yang kini beranjak, mendekati Nana dan menepuk bahu lelaki itu membuat Nana menatap sang gadis nanar. Ya Laksa yang dirinya cintai sekarang tidak bermakna apa pun, di pikirannya hanya ada Haeder seorang, dadanya masih naik-turun tidak karuan. Laksa tersenyum, tangannya bergerak mengelus dada Nana "Tenang, Haeder nggak apa-apa, dia kuat sejak dulu, Nat."

Nana menggeleng "Dia itu nggak sekuat itu, Aeera. Kalau dia kuat, Sia masih ada di sini sekarang."

Laksa bisa langsung tahu jika Sia ini adalah orang sepesial di hidup lelaki di depannya melihat bagaimana sorot penuh luka milik Adhinatha. Di sana Jeksi tercekat, seolah ada aliran listrik yang menyambar dirinya, pemuda itu berdiri untuk menghampiri Nana dan memukulnya begitu saja membuat jeritan terkejut Laksa terdengar. Renda yang melihat itu buru-buru menengahi, wajah Jeksi memerah padam, Renda tahu Jeksi marah besar saat ini.

"Lo begitu ke Haechan hanya karena Sia?? Lo nggak waras, Adhinatha!!"

Nana berdecih, darah mulai keluar dari ujung bibirnya, lelaki itu tersenyum "Iya, lo nggak ngerasain gimana lo di tinggal sama orang yang udah berjasa di hidup lo, Jeksi!"

"Bukan berarti lo tutup mata kalau Haechan juga pantas hidup, sialan! Lo nggak punya hak apa pun atas Haechan apa lagi Sia! Justru Haechan punya hak atas Sia! Lo bukan siapa-siapa, bajingan!!"

Nana menunduk, apa yang di katakan Jeksi itu sepenuhnya benar dan akan sangat salah jika ia akan terus beradu mulut, terlebih ini di rumah sakit. Tepat saat itu Mama dan Papa datang, Nana yang melihat Mamanya berjalan tergopoh dengan air mata yang turun deras itu di buat bersimpuh di hadapannya, memeluk kaki Mama yang bergetar itu "Maafin aku, Mama. Aku nggak---"

"Sayang berdiri dulu, jangan begini hiks,,," Mama bergerak membantu Nana untuk kembali berdiri kemudian memeluk putranya itu "Kamu nggak salah, kamu nggak salah." bisiknya.

"T-tetap aja kalau aku nyebrangnya---"

"Sssttt,,,, wajar untuk seorang kakak melindungi adiknya" suara Mama bergetar hebat saat mengatakan itu. Nana semakin mengeratkan pelukannya. Terlintas dalam benaknya, apakah itu juga alasan mengapa dulu Sia melakukan itu demi Haechan??

"Maafin aku, Ma. Maaf, maaf."

Papa Jay membuang pandangannya ke segala arah supaya tidak melihat bagaimana hancurnya anak serta istrinya saat ini. Meskipun begitu ia adalah kepala keluarga yang harus kuat, maka dari itu pria tersebut maju beberapa langkah untuk memeluk keduanya, "Haechan nggak apa-apa, percaya sama Papa" bisiknya mencoba menenangkan, meskipun sebenarnya ia begitu takut, pikiran negatifnya jauh diatas persentase positif.

Tidak lama kemudian pintu terbuka, seorang dokter keluar, pakaian putih dokter tersebut sudah di penuhi darah. Mereka semua menatap penuh harap sang dokter. Dokter dengan name tag Mahendra Wijaya itu tersenyum tipis, namun tidak menghilangkan sorot iba di netranya.

"A-anak saya, bagaimana, Dokter??" Mama memberanikan diri untuk bertanya.

"Maafkan kami, kami telah berusaha untuk tetap menahannya, tetapi Tuhan berkata lain."

"M-maksud D-dokter??"

"Silakan masuk, pasien ingin menemui keluarganya."

Nana, Mama, dan Papa langsung memasuki ruang IGD, melupakan dirinya yang masih basah kuyup, Nana tanpa di duga langsung memeluk tubuh tak berdaya di atas brankar itu "Maaf" lirihnya.

Di balik masker oksigennya, Haechan menarik bibirnya, tangannya dengan perlahan mengusap rambut basah sang adik, panas. Ya Nana pasti sakit setelah kehujanan seperti itu. Haechan sedikit berdesis "J-jangan sahkit, Sha"

"Lo yang sakit bego!!"

"Haha,,, i-ya. Sa-kit, Sa."

Nana berdiri tegap, menatap Haechan dari atas hingga bawah, dahi Haechan terdapat perban, goresan-goresan kecil si beberapa sisi wajah, tangan, dan kakinya. Dokter juga sempat mengatakan jika ini adalah mukjizat Tuhan sebab Haechan bisa bangun di saat benturan di kepalanya tidak main-main, beberapa sisi rambutnya ada yang terpaksa di cukur untuk keperluan jahitan. Nana menunduk, Haechan seperti ini karena dirinya.

Mendegar putranya mengeluh, Mama berjalan lebih dekat dengan Haechan, mengusap rambut "Anak Mama kuat" bisik Mama.

Dengan pelan Haechan menggeleng "A-aku ud-ah nyerah, Ma."

"Nggak boleh, Haeder boleh mengeluh, Nak. Boleh menangis, tapi Mama mohon jangan menyerah" mati-matian wanita itu menstabilkan suaranya supaya tidak ada sarat gentar.

Satu air mata Haechan lolos, menetes melewati pipinya "M-maka-sih, a-aku sayang Mama, P-papa, A-Aksa, ma-af, s-sakit, Mama."

Namun pada akhirnya pertahanan Mama runtuh, satu dua diikuti puluhan air mata lainnya menetes begitu saja sembari terus menciumi pelipis putranya. Sementara Jay? Dia sedikit tersenyum, menggenggam erat tangan Haechan "Sesakit apa pun itu, Haeder pasti bisa, ya?"

Untuk kesekian kalinya Haechan menggeleng "S-sakit"

Nana menggeleng, menjadikan lututnya tumpuan untuk menjajarkan kepalanya dengan brankar, Nana memeluk leher Haechan "Gue mohon jangan begini, lo mau gue panggil Abang, kan? Iya gue turuti, tapi lo harus bertahan"

"L-lo manggil g-gue begi-tu, itu ber-art-ti, gue ud-ah ng-nggak ke-kesaki-ttan la-gih, S-Sa."

Nana menggeleng "Abang..."

"T-talqin, S-Sa."

Suara isak tangis Mama semakin terdengar, Papa Jay di samping Mama juga mencoba menenangkan. Sementara Nana berdiri, mendekatkan bibirnya pada telinga Haechan "Laa Ilaaha Illa Allah" bisiknya.

Sejenak semuanya tercekat, Nana masih Kudus, bukan??

Seolah paham, Nana menggeleng "Ikutin gue, Insyaallah istiqomah, Laa Ilaaha Illa Allah, pelan-pelan, Laa Ilaaha...."

"L-laa I-ilaah-ha"

"Illa Allah"

"Il-illa A-Allah"

Dalam kurun waktu kurang dari dua detik, dunia Haechan gelap, rasa sakit yang sejak tadi dirinya tahan kini berada di puncaknya. Meski begitu dia bahagia, orang yang menuntunnya menuju surga adalah adiknya.

¹³

Kehilangan, Nana sudah berulang kali merasakannya, sehingga logikanya dirinya sudah terbiasa dengan posisi ini, namun ternyata tidak. Dia tidak pernah terbiasa dengan kehilangan. Sesering apa pun Tuhan menghilangkan orang-orang terdekatnya, Tuhan masih belum menarik rasa sakit dari hatinya. Orang-orang berlalu lalang memberinya kekuatan, namun yang dirinya dapatkan bukanlah kekuatan, melainkan rasa sakit. Rasa sakit pada kenyataan jika sekarang semuanya telah usai.

Kata orang, penyesalan adalah neraka dunia, sesuatu yang begitu menyesakkan tanpa ada obatnya. Lalu mengapa Tuhan seolah menjadikan penyesalan dan kehilangan itu satu kesatuan yang harus di rasakan oleh hambanya? Tuhan seolah menekankan pada dirinya jika sepi adalah sahabat sejati, lantas mengapa Tuhan menghadirkan orang-orang yang berakhir pergi jika dirinya du takdirkan sendiri??

Sama saja Tuhan mempermainkan dirinya. Tetapi untuk sejenak ia sadar jika bukan Tuhan yang mempermainkan dirinya, tetapi ia lah yang mempermainkan Tuhan selama ini. Hidup terombang-ambing tak tahu arah dan hanya datang padaNya jika membutuhkan mungkin menjadi alasan terkuat Tuhan mengapa dirinya sekarang merasa sesakit ini hanya melihat orang-orang sedang menaburkan bunga.

Setelah bersemayam satu malam di rumah, pagi ini saudaranya di kebumikan, satu-satunya saudara yang dirinya punya, bahkan baru saja ia sebut sebagai saudara. Setelah memanggilnya dengan embel-embel kemarin, Nana sadar. Jika Haechan layak di panggil 'Abang' dalam jangka waktu sangat lama dan tidak akan pernah lepas dari gelar itu. Satu jam berlalu, dirinya masih duduk sendirian di samping pusara dengan nama 'Haeder Canavaro' itu sendirian.

Menatap nanar tanah basah di hadapannya, Nana menunduk "Maafin gue, gue minta maaf, Bang. Nggak ada maksud buat benci lo, tapi wajah lo mirip banget sama dia."

Tidak ada jawaban, dan Nana memang tidak mengharapkan jawaban apa pun. Ia hanya ingin mengeluarkan isi hatinya pada orang tersayangnya, tidak untuk menjawab seluruh kalimatnya. "Beberapa hari lalu gue ke masjid demi lo. Lo mau sholat ied sama gue, kan? Sekarang berbalik gue yang mau di ajarin lo ngaji."

Nana terkekeh, di saat banyak yang menangis, pemuda itu justru tersenyum "Lo hebat, bertahun-tahun kesakitan tapi bisa bertahan dan malah hidup di bawah bayang-bayang orang bodoh macam gue, Bang."

Tidak ada lagi suara setelahnya, hanya ada air mata langit yang perlahan turun, "H-hujan, Chan. Lo nggak marahin gue?"

Menepuk dadanya yang terasa sesak, Nana mendongak "Ya Allah, sakit." keluhnya.

"Nana Ya Tuhan, lo dari kemarin sakit bego, ngapain hujan-hujanan?!"

Nana menoleh begitu air hujan tidak lagi membasahi tubuhnya, ada Jeksi di sana membawa payung dan memayungi dirinya. Bodoh, ia sudah terlanjur basah, tidak berguna payung itu. "Maafin gue, Jen." Lirih pemuda itu.

Jeksi ikut berjongkok di samping Nana, menatap lekat wajah pucat sahabatnya itu "Lo nggak salah, kenapa minta maaf?"

Nana menggeleng "Lo kehilangan dia karena gue"

Jeksi menggeleng juga, bergerak membantu Nana berdiri "Dia begitu karena itu pilihannya, sekuat-kuatnya dia, sebetulnya dia lelah sejak lama, Na. Pada akhirnya dia milih nyerah, supaya nggak lagi kesakitan."

"Maafin gue" Nana menunduk, sementara Jeksi terkekeh pelan. Berat memang, Haechan adalah sahabatnya sejak kecil, bermain bersama nguber layangan, berebut gundu, memanjat mangga tetangga, nyebur empang Pak RT adalah kesehariannya bersama Haechan dulu di kampung.

Lalu kini ia harus menerima kenyataan jika partner sesatnya tersebut telah tiada, Jeksi hanya bisa tersenyum pahit, juga sedikit menyalahkan Tuhan, bagaimana bisa manusia baik macam Haechan tidak memiliki takdir yang baik?

"Lo baik-baik aja? Lo bisa pukul gue semau lo, Jen."

"Hidup itu sederhana, Adhinatha. Lo hanya perlu berpura-pura supaya segalanya baik-baik saja."

•L A K S A N A•