Untunglah, hari ini tidak ada ujian. Masih pelajaran biasa. Jadi aku bisa sedikit lebih santai.
Hari ini adalah kamis. Dihitung sampai sekarang, aku sudah empat hari tinggal di rumah besar milik GB. Dan keseharianku …. Yah, aku sudah mulai terbiasa di sana.
Meski masakannya tidak seenak buatan Freya, itu layak diacungi jempol. Mungkin, jika aku belum pernah memakan masakan Freya, aku pasti akan berkata kalau buatan Anna adalah yang terenak.
"Entah kenapa, rasanya kau sedang menyinggung masakanku."
"A–Ahaha …."
Aku tertawa kering mendengar celetukan Anna. Memang begitulah kenyataan. Tetapi aku tidak berani mengungkapkannya.
Seperti hari-hari yang lain, kami berdua pulang bersama semenjak aku tinggal di rumah GB.
Percakapan kecil seperti tadi memang sering terjadi. Namun, kesunyian di antara kami saat berjalan pulang bersama begini lebih sering lagi terjadinya.
Kegiatan kami tidaklah banyak. Bangun pagi, mandi, sarapan, bersiap, menghadiri pelajaran di kelas, belajar sebentar di perpustakaan, pulang bersama, dan belajar hingga hari hampir gelap. Setelah itu, kami makan malam bersama. Dengan GB tentunya.
Soal perkembangan belajar …. Entahlah. Aku tidak pernah diuji oleh Anna soalnya. Ia hanya mengajar tanpa mengetesku sekali pun. Kalau soal paham atau tidaknya, kupikir lumayan.
"Kami pulang …."
Anna mendorong pintu sesampainya di depan rumah. Yang kulakukan hanyalah mengikutinya dari belakang lalu masuk ke salah satu ruangan di lantai dua yang menjadi kamarku.
Di kamar ini, aku melepaskan jas akademi dan menggantung itu di tempatnya. Setelah melakukan itu, aku mengambil beberapa catatan yang ada di tas dan pergi ke kamar Anna.
Tentu saja, sebelum masuk aku mengetuk pintunya. Bukan hal bagus jika aku tiba-tiba memutar gagang pintu sementara yang ada di dalam kamar sedang berganti baju.
'Tunggu sebentar,' adalah apa yang diserukan Anna dari balik pintu. Lihat? Mengetuk pintu itu penting jika kau tidak ingin seseorang mencolok bola matamu atau semacamnya.
Beberapa saat kumenunggu, gagang pintu bergerak dengan sendirinya, lalu pintu pun perlahan terbuka.
"… Apa kau menunggu terlalu lama?"
Aku sedikit terkejut sekaligus bertanya-tanya. Entah kerasukan apa, Anna memakai kostum piama beruang berwarna merah muda.
Lebih dari itu, suara yang ia keluarkan saat menanyakanku terdengar malu-malu. Tidak kasar seperti biasa.
Apa yang harus kulakukan dalam kondisi ini? Tentu saja, menjawab pertanyaan yang ia berikan itu.
"Tidak juga. Apa aku boleh masuk?"
"Ya …."
Anna menundukkan kepalanya saat menjawab. Ia lalu berpindah ke samping agar tidak menghalangi pintu dan membiarkanku masuk serta meletakkan buku yang kubawa ke atas meja.
Sementara aku duduk diam di sana, Anna sepertinya pergi ke dapur untuk menyeduh teh atau mengambil cemilan.
Beberapa saat berlalu, ia kembali dengan semua yang kuperkirakan. Melihat dari wajahnya yang agak kelelahan karena turun dan naik tangga dengan seperangkat alat minum teh di tangan, aku jadi agak merasa bersalah.
Aku pernah berkata biar aku saja yang mengambil teh dan cemilan dari dapur, tetapi ia selalu saja menolaknya dan beralasan aku hanya akan merusak piring-cangkirnya.
Rasanya … aku selalu menjadi beban di tempat orang. Di kamar Reva, aku diam-diam saja. Di kamarku sendiri dan Freya, aku juga diam-diam saja. Kalau bekerja paling cuma bersih-bersih.
"—Ayolah, berhenti melamun. Dengar baik-baik ucapanku."
"Ah, iya."
Aku kena tegur. Yah, meski melamun aku masih mendengarkan pelajaran dengan cukup baik sekarang. Tidak seperti awal-awal.
Cuma inilah yang bisa kulakukan sekarang. Jalan menuju tujuanku. Belajar, dan menjadi satu dari murid-murid yang meraih peringkat 30 besar lalu naik ke kelas tiga tahun depan kemudian lulus dari akademi.
***
Matahari sudah tenggelam. Karena merasa sedikit gatal, aku pun pergi mandi sebelum makan malam dimulai.
Jarang-jarang aku mandi pada malam hari begini. Setiap hari, aku hanya mandi ketika bangun tidur saja.
Lebih jarang lagi, mandi dengan berendam di bak. Biasanya, aku memakai keran. Kalau tidak salah, terakhir kali aku mandi berendam begini adalah saat aku masih mencari Roh Kontrak. Sebelum bertemu gadis itu dan bertunangan dengannya ….
"Elkanah, apa aku boleh masuk?"
Suruan Anna terdengar dari balik pintu kamar mandi. Pada adegan-adegan seperti ini, protagonis laki-laki akan berkata :
"Ya, boleh saja."
Begitulah yang mereka katakan. Aku juga begitu. Tetapi yang membedakanku dari mereka, mereka mengatakan itu tanpa sadar. Sementara aku, aku memang berniat mengatakannya begitu.
Kalau kautanya apakah aku ini orang yang cabul atau tidak, maka jawabannya pastilah tidak. Karena ….
"Hei! Kenapa pintunya malah dikunci?"
Hanya orang cabul saja yang membiarkan pintu kamar mandi yang ia pakai tidak dikunci dan membiarkan sembarang orang membuka-tutupnya.
"Meski aku berkata boleh, bukan berarti kaubisa masuk tanpa rintangan. Lagian, apa yang kaulakukan setelah masuk ke sini? Bukankah ada kamar mandi lain di sebelah?"
Setelah berkata begitu, aku mengambil air dengan kedua telapak tangan lalu membasuhkannya ke wajah. Ah~ airnya cukup nyaman. Tidak panas, tidak dingin. Hangat.
Hmm? Tidak ada jawaban? Apa gadis itu pergi karena merasa malu atau semacamnya? Ah, bisa saja ia lupa kalau ada kamar mandi lain di sebelah, jadi ia pergi ke sana.
Baguslah kalau ia memang pergi. Aku bisa kembali tenang ….
"Hyaaat …!"
Duar. Pintu kamar mandi tiba-tiba rusak karena pukulan Anna. Ia mengarahkan pandangan ke bawah sambil mengatur nafas sementara tangannya masih dalam keadaan dikepalkan.
Sekarang, aku dapat melihat gadis pendek itu sedang berdiri di depan jalan masuk kamar mandi yang sudah rusak pintunya.
Apa yang ia pakai adalah pakaian renang sekolah. Seberapa besar niatnya sampai-sampai melakukan ini semua?
Aku membuang nafas panjang. Tenang saja, ini masihlah permulaan. Setelah ini, ia pasti akan menyerah. Pasti.
"Tidak apa-apa, 'kan, jika aku menghancurkan pintu kamar mandi? Jadi, aku telah berhasil mengalahkan rintangan ini."
"Tidak apa-apa, sih. Paling berurusan dengan si Cebol itu saja. Tapi, apa kauyakin kalau kau sudah berhasil mengalahkan rintangan?"
"Apa maksud– Uh!"
Ketika melangkah masuk sambil bertanya, Anna tiba-tiba termundur seperti baru saja menabrak sesuatu yang tidak terlihat.
Nah, kalian ingat kemampuan Roh Kontrak-ku? Yup, Medan Penghalang atau sebut saja dengan barier.
Bisa dibilang, aku memasang pengaman ganda agar tidak ada yang bisa mendekatiku. Yah, memang kejadian tadi sedikit tidak terduga, tetapi aku sudah melakukan pencegahan untuk itu.
"Apa yang dikau lakukan!? Kenapa ada barier di sini!?"
"Yang kulakukan cuma mandi saja. Dan barier ada untuk menghindari seseorang sepertimu."
Aku kembali membasuh wajah setelah menjawab pertanyaan Anna yang sedang memusuti kepalanya.
Setelah itu, aku dan Anna sedikit berdebat. Untuk apa yang kami debatkan, jelas berhubungan dengan kejadian ini. Sampai akhirnya ia berkata ….
"… Aku juga … tidak ingin melakukan ini …."
Anna menundukkan kepala saat mengatakan itu. Aku tidak tahu ekspresi apa yang ia tunjukkan, tetapi ….
Sesuatu terasa mendorongku.
Terdengar suara seperti cermin pecah tetapi dengan suara yang lebih kecil dari aslinya.
Efek dari barier kuhilangkan. Entahlah, aku juga tidak tahu pasti kenapa aku mau menghilangkannya. Yang kulakukan hanya menuruti apa kata hatiku. Membiarkannya.
"Eh?"
Mengangkat kepala, Anna menunjukkan ekspresi wajah terkejut. Ia lalu menyentuh ke depan dan menyadari hilangnya barier.
"Kenapa?"
"Kau memiliki alasan tersendiri, 'kan? Sesuatu yang mungkin ingin kaubicarakan sekarang atau semacamnya?"
Aku mengalihkan pandangan darinya sambil menggaruk pipi menggunakan telunjuk. Ah, entah kenapa aku malah merasa risih.
… Tanpa mengatakan apa-apa, Anna memasuki bak mandi. Kami duduk saling berbelakangan.
"—Baiklah, akan daku ceritakan sesuatu pada dikau. Sesuatu yang tidak bisa daku katakan selama di tempat lain karena bisa saja ada penyadap suara atau sejenisnya."