webnovel

Kepalanya Hilang

Angga yang dipandang Zuki, menggelengkan kepalanya. Dia tidak tahu harus jawab apa, apa dia katakan jika dia berada di tempat kejadian itu, jika pun dia mengatakan itu pasti tidak ada yang percaya sama sekali.

"Sudah, jangan dipikirkan lagi, aku rasa kamu lelah. Ayo kita pergi sekarang, kita lihat hasil otopsinya, apakah sudah selesai apa masih sama." Zuki mengajak Angga keluar dari mushola.

Angga ikut keluar dari mushola, dia terus memikirkan apa yang dia mimpikan. Keduanya keluar dan melihat Nena duduk di pembatas mushola. Nena yang melihat keduanya keluar dari mushola ikut keluar dari mushola. Dia melihat Angga yang melamun dan keringat masih terlihat di keningnya.

"Ngga, kenapa kamu? Keringat bercucuran seperti itu? Bukannya mushola adem ayem, tapi kenapa kamu berkeringat?" tanya Nena penuh selidik.

Angga yang berjalan menuju ruang otopsi geleng kepala, dia masih sulit mencerna apa yang dia mimpikan tadi. Masih siang, itu pun di mushola mana ada mimpi seperti itu di siang bolong pikirnya. Ini hanya halusinasi, iya halusinasi pikirnya. Nena dan Zuki masih menunggu jawaban dari Angga, tapi tetap tidak di jawab. Sampai di ruang otopsi, ketiganya duduk di bangku kayu panjang.

"Hahhhh, aku tadi mimpi. Entah itu mimpi buruk atau halusinasi, aku tidak tahu. Aku harus logika memikirkan apa yang aku mimpikan tadi," jawab Angga dengan wajah kusut.

"Kau mimpi apa Angga? Kau mimpi mengerikan?" tanya Zuki yang penasaran.

Angga mengangguk pelan, dia mimpi buruk di siang bolong. Nena meletakkan tangannya di kening Angga, dia ingin tahu apakah Angga demam atau tidak. Angga menepis tangan Nena, dia tidak sakit, jadi tidak perlu diperiksa.

"Aku hanya mengkhawatirkan saja, siapa tahu kau demam. Biasanya orang demam itu mimpi buruk. Kau mimpi apa rupanya?" tanya Nena memandang lekat Angga.

"Aku mimpi kejadian yang menimpa korban, aku melihatnya secara langsung. Mereka sadis sekali, aku tidak bisa bayangkan sama sekali, aku merasa seperti orang bodoh di sana, aku tidak bisa membantu sama sekali, aku tidak bisa. Mereka kejam, sangat kejam!" tangis Angga pecah seketika.

Nena dan Zuki yang mendengarnya ikut meneteskan air mata, mereka tidak bisa berkata apapun lagi. Antara percaya dan tidak percaya, tapi mereka harus percaya karena mana mungkin Angga berbohong.

"Pantas saja kau berkeringat dan ngigau Ngga, itu yang kau lihat di mimpimu. Apa kau lihat siapa pelakunya? Dan berapa orang yang terlibat?" tanya Zuki yang penasaran.

Ceklekk!

Pintu ruang otopsi terbuka, seorang dokter dan suster keluar dengan berpakaian serba hijau. Mereka menemui Angga sebagai penanggung jawab dan juga polisi yang bertugas mengawal kasus ini.

"Sore menjelang malam Pak Komandan, saya mau tanya kepada anda, apa orang tua dari korban sudah dikasih tahu?" tanya dokter lagi.

"Anak buah saya sedang ke sana mencari orang tua korban dan keluarga kusirnya. Saya masih menunggu kabar saja," kata Angga lagi.

Dokter menghela nafas panjang, dia tidak tahu harus mengatakan apa kepada para polisi ini. "Kita bisa ke ruangan saya. Saya mau mengatakan sesuatu pada Pak Komandan." Dokter mengajak ke ruangannya untuk membicarakan masalah korban.

Angga menganggukkan kepalanya dan langsung ikut ke ruangan dokter. Ketiganya berjalan menuju ruangan dokter yang dekat dengan ruang otopsi. Sampai di ruang otopsi ketiganya duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter.

"Ada apa dokter?" tanya Angga memulai obrolannya.

Dokter membuka kaca matanya dan memandang ke arah ketiganya. Dokter forensik menghela nafas panjang, dia tidak tahu harus apa saat ini. Dia hanya bisa tersenyum kecut melihat kejadian yang baru dia alami selama hidupnya sebagai seorang dokter.

"Korban prianya tidak ada kepalanya, apa kalian menyadari itu?" tanya dokter dengan suara pelan.

Angga dan kedua temannya saling pandang. Kepala hilang? "Dokter, bentar dulu ya, apa dokter tidak salah? Kepala hilang itu tidak mungkin, anggota kami sudah masukkan ke dalam kantong jenazah, saya juga lihat itu tadi. Mana mungkin kepala hilang dokter, dokter salah kali," kata Zuki yang menjelaskan kepada dokter.

"Apa yang dikatakan oleh teman saya ini benar dokter, tidak mungkin hilang dan itu sudah lengkap, termasuk korban wanitanya. Bagaimana bisa dokter bilang kalau kepala kusir itu hilang, itu mustahil dokter," kata Angga dengan wajah serius.

Dokter menatap kedua orang yang di depannya. "Saya juga tidak tahu, waktu di keluarkan dari kantong itu, tidak ada sama sekali kepalanya, jadi saya mau bilang apa? Saya harus tanya kepada siapa? Dan satu lagi, korban satunya juga tidak bisa kita jahit, saya juga heran, kenapa tidak bisa di jahit, seumur saya sebagai dokter tidak pernah sesulit itu. Apa lagi ... bagian kewanitaannya, maaf sebelumnya mungkin kalian kurang enak dengarnya, tapi kami harus katakan ini." Dokter menarik nafas panjangnya.

"Ada apa dengan area kewanitaan?" tanya Nena lagi yang tidak sabar mengetahuinya.

"Rusak parah, saya juga menitikkan air mata melihatnya tadi. Seumur hidup korban pelecehan tidak seperti itu, ini benar-benar tidak pantas untuk wanita. Saya rasa dia di lecehkan lebih dari satu orang bisa saja 2 atau lebih, itu terlihat dari kerusakan di area itu," jawab dokter dengan suara pelan.

Nena yang mendengar apa yang dikatakan dokter menutup mulutnya. Dia tidak percaya jika korban wanita itu dilecehkan dengan sadis dan tidak manusiawi. Air mata Nena menangis, dia sebagai wanita bisa merasakan bagaimana kehilangan kesucian terlebih bila di rebut paksa dan dilakukan oleh lebih dari 1 orang.

"Manusia kejam, keji. Apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka pikirkan saat melakukan itu. Aku ingin sekali mencungkil mata mereka dan membunuh mereka," geram Zuki dengan amarah yang sudah membuncah.

"Dan lehernya juga tidak bisa dilepaskan tali tambangnya. Saya sudah mencoba untuk memotongnya, tapi tidak juga bisa. Sekarang masih mengantung di lehernya. Jadi, salah satunya kita harus panggil keluarga korban dan pemuka agama untuk mendoakan kedua korban. Saya bukan nyerah, tapi saya tidak bisa berbuat apapun lagi," ucap dokter dengan jujur.

Zuki melihat Angga dan meminta keputusan dari Angga. Tidak berapa lama, ponsel Angga berdering. Angga mengambil ponsel dan melihat panggilan dari anak buahnya yang dia minta untuk ke rumah korban.

"Iya halo, gimana?" tanya Angga langsung.

"Komandan, saya sudah di rumah duka, tapi maaf sekali. Orang tua korban meninggal. Ibu Darsimah meninggal, dia terkena serangan jantung. Ini saya masih di sini dan baru selesai di makamkan. Kita juga kerumah kusir yang kebetulan dekat dengan rumah wanita itu, mereka akan ke rumah sakit ikut kita Pak," jawab anak buah Angga.

"Apa kamu bilang? Ibu Darsimah korban pembunuhan itu meninggal? Ya Tuhan, jadi bagaimana ini, kamu bawa saja keluarga kusir itu ya, sekalian minta pemuka agama ikut juga," ucap Angga dengan suara lirih.

Zuki dan Nena menunduk lesu. Sudah lah tamat riwayat kita pikir mereka. Dokter yang mendengar pembicaraan Angga hanya bisa diam. Anak buah Angga mengiyakan apa yang Angga katakan. Angga mengakhiri panggilan dan menatap ke arah dokter.

"Orang tuanya meninggal juga. Dan hanya ada ibunya saja. Jadi, kita harus apa dokter?" tanya Angga dengan tatapan lesu.

"Kita tunggu sampai keluarga salah satu korban datang, baru kita putuskan." Dokter menyarankan menunggu keluarga korban datang ke rumah sakit.

Hay semua semoga suka ya, jangan lupa sub atau simpan di rak kalian ya, Mauliate Godang.

Nächstes Kapitel