webnovel

Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu

Dua sejoli baru saja merasakan indahnya cinta yang saling berbalas. Tapi bagaimana jika takdir berkata lain?

Airi_Mitsukuni · Urban
Zu wenig Bewertungen
49 Chs

Part 43-Stalker

Bara kembali ke rumah dengan wajah yang masih diselimuti emosi. Mamanya bahkan tercengang saat melihat Bara kembali dengan wajah lebam. Bara melesat masuk ke rumah, berjalan terus ke arah kamar tanpa menghiraukan mamanya yang bertanya-tanya dengan wajah bingung. Karena rasa penasaran dan khawatir, mama pun mengikuti Bara ke kamarnya.

"Aarrgh!" Bara mengacak-ngacak barang pribadi yang tertata rapi di meja kamarnya.

Nafasnya memburu menahan amarah yang terasa mengepul di ubun-ubun.

"Brengsek!" Bara meninju cermin di depannya hingga retak.

"Bara," panggil mama pelan.

Ia terkejut dan sedikit takut saat melihat Bara emosi. Dengan pelan ia melangkahkan kaki mendekati Bara.

"Bara," panggilnya lembut seraya menyentuh Bahu Bara yang berdiri membelakanginya.

Bara menoleh dengan nafas tersengal. Wajahnya merah padam.

"Nak." Mama menyentuh lembut pipi Bara.

"Kamu kenapa, Sayang? Kenapa pulang-pulang wajahmu jadi lebam begini?" tanya mama lembut.

Bara menghembuskan nafasnya kasar. Mencoba mengontrol emosinya.

"Maaf, Ma," ucap Bara pelan.

Mamanya tersenyum.

"Sini," mama menarik pelan lengan Bara ke tepian ranjang.

"Kamu kenapa, hm?" tanya mama seraya ikut duduk di sampingnya.

Bara terdiam tertunduk.

"Bara ... cerita sama mama, ada apa sebenernya? Kamu ke mana tadi?"

"Bara ... Bara habis dari rumah Andre, Ma."

"Andre? Jadi kamu lebam-lebam gini karena berantem sama Andre?" tanya mama tak percaya.

Bara mengangguk pelan.

"Astaghfirullah," ucap mama seraya menutup mulut dengan tangan kanan.

"Kenapa bisa? Memangnya ada masalah apa, Bara? Kalian itu udah sahabatan dari SMP, lho. Nggak pernah mama liat kamu berantem kayak gini." Mama menyentuh pipi Bara yang lebam.

"Sshh." Bara meringis.

"Sebentar. Mama ambil es batu dulu buat ngompres luka kamu," ujar mama seraya berjalan keluar.

Bara menjatuhkan punggungnya ke kasur. Tangan kirinya memijat pelipis.

"Apa yang harus kulakukan?" gumam Bara.

"Bagaimana kalau Andre benar-benar menyukainya?" tanyanya pada diri sendiri.

"Nggak! Bukan itu yang jadi masalahnya. Masalahnya bagaimana kalau Nazifa menolak saat Andre mengutarakan perasaannya? Andre pasti nggak akan tinggal diam dan menerimanya. Dia pasti ngelakuin ssesuatu."

"Aargh!" Bara menjambak rambutnya sendiri.

"Bara. Sini, di kompres dulu lebamnya," ucap mama yang muncul membawa es batu dan saputangan.

Bara pun kembali ke posisi duduknya.

"Sekarang cerita, ada apa sebenernya antara kamu sama Andre?" tanya mama sembari mengompres lebam di wajah Bara.

Bara menghembuskan nafas kasar sebelum mulai bercerita.

"Andre suka sama Nazifa, Ma," jawab Bara yang membuat tangan mamanya terhenti di udara.

"Apa? Andre suka sama Zee? Kamu serius?" tanya mama tak percaya.

"Serius, Ma."

"Jadi ini, sebabnya kamu pulang dengan wajah babak belur begini? Kamu berantem sama Andre gara-gara rebutin Zee?"

"Ma, aku nggak masalah kalau Andre emang beneran suka sama Nazifa. Tapi yang jadi masalahnya bukan itu. Andre itu nggak pernah serius sama cewek, Ma."

"Ya mungkin aja kali ini dia udah berubah," duga mama.

"Mama nggak tau gimana kelakuan Andre. Dia itu hobi gonta-ganti cewek, Ma. Cuma ambil manisnya doang, habis itu dibuang gitu aja. Dulu aku nggak pernah peduli dan ikut campur. Tapi untuk kali ini aku nggak bisa, Ma. Aku nggak bisa ngebiarin dia ngelakuin itu sama Nazifa," tutur Bara.

"Apa bener, Andre kayak gitu? Padahal selama ini dia terlihat baik, lho."

"Ma, asal mama tau. Andre itu tipe orang yang bakal ngelakuin segala cara buat dapetin apa yang dia mau. Makanya aku khawatir sama Nazifa. Andre nggak akan tinggal diam meskipun Nazifa menolaknya. Apa mama tau, apa yang udah Andre lakuin?"

Mama mengerutkan keningnya.

"Apa?" tanya mama penasaran.

Bara menghela nafas panjang.

"Dia yang kerjasama dengan Christine buat ngancurin rumah tangga Bang Afnan," ungkap Bara.

"Astaghfirullah," ucap mama terkejut.

"Ya Allah, mama nggak nyangka, kalau Andre ternyata seperti itu." Mama menggeleng.

"Terus, kita harus gimana?" tanya mama cemas. "Mama takut terjadi apa-apa sama Zee."

"Mama nggak usah khawatir. Sekarang Zee bersama Orangtuanya di kampung. Dan Bara rasa, Andre nggak tau alamatnya Nazifa," ujar Bara.

"Iya, kamu benar. Semoga aja Si Andre itu nggak nemuin alamat Zee," kata mama dengan ketus.

🌸🌸🌸

Dua bulan kemudian ...

Nazifa dan kedua orangtuanya tengah menikmati makan malam, saat terdengar ponselnya berdering dari kamar beberapa kali.

"Zee, itu hape kamu bunyi terus. Coba diangkat dulu, siapa tau penting," ujar ibu.

"Iya, Bu." Nazifa beranjak dari kursi ke kamar.

Ponselnya tak berhenti berdering. Nazifa melihat ada nomor yang tak dikenal tertera di layarnya.

"Siapa?" gumamnya menatap layar ponsel.

Dengan ragu ia menggeser tombol hijau ke atas.

"Halo? Assalamu'alaikum," sapa Nazifa lembut.

Hening. Tak ada jawaban.

Nazifa kembali melihat layar ponsel. Masih terhubung.

"Halo? Ini siapa, ya? Halooo."

Nazifa mendengus kesal setelah mengetahui telfonnya diputus.

Sebulan ini memang Nazifa sering mendapatkan panggilan dari nomor yang tak dikenal. Tapi ia tak tau siapa sebenarnya pemilik nomor itu. Tak pernah ada jawaban suara dari si penelfon saat Nazifa mengangkatnya.

Saat Nazifa baru saja melangkah hendak kembali ke meja makan, ponselnya kembali berdering. Dengan perasaan kesal, Nazifa kembali mengangkat tanpa melihat nama yang tertera.

"Siapa sih, nih?" tanya Nazifa dengan ketus.

[Zee] Suara mama terdengar ujung di telfon.

Nazifa terkejut. Ia segera melihat nama di layar ponsel.

Astaghfirullah, batinnya.

"M-m-maaf, Ma. Zee kira tadi telfon iseng. Zee nggak liat dulu nomernya," jawab Zee tak enak hati.

[Telfon iseng?]

"Iya, Ma. Akhir-akhir ini sering ada telfon dari nomer asing. Tapi tiap kali Zee angkat, dia nggak pernah ngomong. Habis itu ditutup gitu aja," jelas Nazifa.

"Kabar mama gimana? Mama sehat, kan?" tanya Nazifa lagi.

[Alhamdulillah, mama sehat. Ibu-bapak kamu gimana? Mereka sehat, kan?]

"Iya, Ma. Alhamdulillah, bapak sama ibu juga sehat."

[Syukur kalau begitu. Zee ....]

"Ya, Ma?"

[Mama seneng ... kamu sudah terdengar lebih ceria. Meskipun mama tau, dalam lubuk hati kamu masih menyimpan kesedihan itu]

"Iya, Ma. InsyaAllah Zee udah ikhlas. Tapi tak berarti Zee bisa melupakan Mas Afnan. Mas Afnan tetap memiliki tempat istimewa di hati Zee," ucap Zee seraya menatap ke figura foto dirinya bersama Afnan di nakas.

Matanya terlihat berembun. Ia mendongakkan wajah agar bulir bening itu tak jatuh.

[Zee, mama kangen sama kamu. Kapan kamu mau main ke sini?]

"Zee juga kangen, Ma. InsyaAllah, nanti Zee usahain. Zee ... Zee belum siap melihat kenangan masa lalu di sana," jawab Nazifa pelan.

[Iya, nggak apa-apa. Mama ngerti. Oh ya, Zee. Ada yang kangen sama kamu juga nih. Pengen ngomong katanya]

"Siapa, Ma? Mbok Tini?"

[Ish ... kamu. Masa Mbok Tini. Nggak Pak Supri aja sekalian?]

Nazifa tertawa kecil mendengar candaan mama. Terdengar suara bisik-bisik di telfon. Mama terdengar samar sedang membujuk seseorang.

[Halo] sapanya dengan ragu.

Nazifa mengernyitkan dahi mendengar suara itu. Tapi tak lama terukir senyum tipis di sudut bibirnya.

"Bara?" tanya Nazifa.

Jantung Bara berdetak kencang saat Nazifa menyebut namanya. Ia memejamkan mata. Menikmati suara lembut dari wanita yang ia rindukan. Senyumnya terlihat mengembang di sudut bibir.

Ya. Baralah orangnya. Dialah yang selama ini mencoba menghubunginya menggunakan nomor baru. Tapi ia tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Bara memang belum ingat masa lalunya bersama Nazifa. Tapi, ia telah jatuh hati untuk kedua kalinya pada Nazifa.

"Heloooow," sapa Nazifa saat tak kunjung mendapat jawaban dari Bara.

[I-iya. Ini aku. Bara. Kamu ... gimana kabarnya?] tanya Bara gelagapan.

"Alhamdulillah, aku baik. Kamu gimana?" tanya Nazifa santai.

[Aku juga baik. Alhamdulillah. Ah, ehm ... ini. Mama mau ngomong lagi,] kelit Bara.

Bara langsung mengembalikan ponsel itu ke tangan mamanya. Mama terkekeh melihat Bara yang salah tingkah sendiri.

[Halo, Zee,] ucap mama sambil melirik ke arah Bara yang tengah membenamkan wajahnya di bantal.

"Iya, Ma?"

[Udah dulu ya, Zee. Ada yang lagi sesak nafas di sini.] Mama terkekeh.

"Maksud mama?" Nazifa terlihat bingung.

[Ah, nggak. Nggak ada apa-apa. Jaga kesehatan ya, Zee. Mama tutup dulu telfonnya. Assalamu'alaikum.]

"Wa'alaikumsalam."

Nazifa kembali meletakkan ponselnya di nakas dan bergegas keluar kamar untuk melanjutkan makan malamnya.

"Huuu ... baru ngomong di telfon aja mukamu udah kayak tomat mateng," ledek mama seraya mengacak-acak rambut Bara yang masih telungkup di kasur.

"Gimana kalau ketemu coba." Mamanya tertawa.

"Ah mama, nih! Jangan diledekin terus dong." Bara duduk memasang wajah cemberut.

"Kamu sih, usil. Nazifa sampe mikir ada orang iseng yang neror, lho. Padahal kan itu kamu," ucap mama seraya tertawa.

Bara menghela nafas panjang.

"Nafas Bara sesak, Ma," ucapnya seraya memukul-mukul dadanya pelan.

"Bara pengen cepet-cepet inget semua tentang Nazifa, Ma. Bara pengen deketin dia tanpa perasaan canggung," ucap Bara lirih.

"Sabar ya, Sayang." Mama mengusap-usap pelan punggung Bara.

"Apa Bara nabrakin diri aja, ya? Atau lompat dari balkon?"

"Hush!" Mama memukul dengan kencang lengan Bara.

"Ngomong seenaknya aja!" Mama kembali menjewer kuping Bara.

"Aww, aww, aww! Sakit, Ma," rengek Bara.

"Baru dijewer aja sakit, sok-sok an mau nabrakin diri," gerutu mama.

Bara tertawa memeluk mamanya.

"Bercanda mamaku sayang," ucapnya manja seraya memeluk mama.

Tiba-tiba ponsel Bara berdering. Bara pun melepas pelukannya. Ia mengerlingkan malas matanya saat melihat nama pemanggil di layar ponsel.

"Kenapa nggak diangkat?" tanya mama.

"Males," ucap Bara seraya merebahkan kembali tubuhnya di kasur.

"Nancy suka sama kamu, ya?" tanya mama menyelidik.

Bara memejamkan matanya dan tak menjawab pertanyaan mama.

"Dia sering lho, dateng ke rumah nyariin kamu. Anaknya sih ramah. Cantik lagi. Kalau kamu ...." Perkataan mama terpotong ucapan Bara.

"Ma. Aku nggak pernah suka sama dia. Bara cuma anggap dia temen aja."

"Tapi, kalau dia ternyata mengharapkan lebih dari itu, gimana?"

Bara menghembuskan nafasnya kasar lalu memposisikan dirinya kembali duduk di samping mama.

"Bara tau itu, Ma. Itulah kenapa Bara selalu menghindar dari Nancy. Bara nggak mau dia salah mengartikan perasaan Bara," terang Bara.

Mama tersenyum.

"Mama cuma mau kamu lebih tegas aja. Beri kejelasan tentang perasaan kamu. Mama nggak mau, dia mengira kamu memberinya harapan. Kasian," saran mama.

"Harusnya Nancy bisa peka dengan sikap Bara, Ma. Bara nggak pernah php-in siapapun, termasuk Nancy."

"Iya, mama tau. Ya sudah, ayo kita makan dulu," ajak mama seraya berjalan keluar diikuti Bara.

Keesokan paginya, Bara terlihat sudah rapi dengan setelan kemeja dan jasnya. Selama sebulan ini, Bara telah memulai aktivitasnya di kantor menggantikan posisi Afnan. Kegiatannya cukup sibuk, karena ia pun masih harus menyelesaikan kuliahnya. Beruntung ada Pak Fikri, asisten pribadi Afnan yang selalu membantunya menangani masalah di kantor.

Hubungannya dengan Andre pun tak kunjung membaik. Bahkan keduanya belum pernah bertemu secara pribadi ataupun saling menghubungi satu sama lain sejak perkelahian itu. Saat pertemuan untuk bisnis saja, mereka hanya berbicara seperlunya.

Bara termenung di depan cermin. Ia teringat perkataan mamanya soal Nancy. Bara meraih ponselnya lalu mencari nama kontak Nancy dan memanggilnya.

[Halo] sapa Nancy riang saat mengetahui nomor Bara yang menghubunginya.

"Nancy, apa kamu punya waktu siang ini?"

[Iya, Bara. Kenapa?]

"Bisa kita ketemu? Ada hal yang mau aku omongin sama kamu."

[Bisa, Bara. Bisa. Mau ketemu di mana?]

"Di kafe deket kampus aja."

[Ok. Aku tunggu kamu di sana, ya] ucapnya penuh semangat.

"Ok. Bye," ucap Bara dan langsung mengakhiri telfonnya.

🌸🌸🌸

Nazifa yang tengah menyapu di rumahnya, memicingkan mata menatap ke luar jendela. Ia melihat pria misterius itu lagi. Pria berjaket hitam dengan hoodie yang menutupi kepalanya. Entah ini hanya perasaan Nazifa saja, atau pria itu memang selalu mengawasi rumahnya. Ia melihat pria itu berjalan melewati rumahnya dengan sesekali pandangannya melihat ke sekeliling rumah Nazifa. Nazifa tak bisa melihat siapa pria itu, karena pria itu memakai masker untuk menutupi wajahnya.

Namun kali ini Nazifa memberanikan diri keluar rumah untuk mengeceknya langsung.

"Hey! Siapa kamu?" teriak Nazifa setengah berlari.

Pria itu langsung berjalan cepat menghindari Nazifa dan menghilang di belokan.

"Ada apa, Zee? Kok kamu teriak-teriak begitu?" tanya Ibu yang muncul dari dalam.

"Itu, Bu. Tadi ada orang aneh yang ngeliatin ke rumah."

"Orang aneh gimana maksud kamu, Zee?"

"Entahlah, Bu. Zee cuma ngerasa ada yang ngawasin rumah ini. Udah gitu, Zee juga ngerasa ada yang buntutin kalau lagi pergi keluar. Tapi Zee nggak tau siapa. Soalnya tiap Zee tengok ke belakang, nggak ada siapa-siapa," jelas Nazifa.

"Mungkin itu cuma perasaan kamu aja kali. Udah ayo. Tolong anterin sarapan buat bapak kamu ke sawah. Tadi bapak belum sempet sarapan udah keburu berangkat," ujar ibu seraya berjalan masuk ke rumah.

"Iya, Bu." Nazifa mengikuti langkah ibunya di belakang.

"Nanti selesai nganterin sarapan buat bapak, kamu langsung pulang, ya. Ibu harus ke rumah Bu Dasmi, di kampung sebelah."

Nazifa hanya mengangguk.

"Assalamu'alaikum." Nazifa mencium punggung tangan ibunya.

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati, ya. Jangan lupa langsung pulang."

"Iya, Bu," jawab Nazifa seraya berjalan pergi keluar rumah.

Butuh waktu sekitar 15 menit dari rumah menuju ke sawah milik bapak. Nazifa berjalan menyusuri jalan aspal yang tidak terlalu besar. Kendaraan mobil jarang terlihat. Hanya motor yang lebih banyak melintas di jalan ini. Itupun hanya sesekali.

Nazifa berjalan di pematang sawah yang kecil dengan hati-hati. Dari kejauhan, ia sudah bisa melihat bapaknya tengah menabur pupuk di bibit padi.

"Pak. Ini sarapannya. Di makan dulu." Nazifa meletakkan rantang bekal makan dan botol minum di saung.

"Iya. Simpen disitu dulu aja, Zee. Nanggung," jawab bapak.

"Ya udah. Zee langsung pulang ya, Pak. Soalnya ibu nungguin. Katanya mau ke rumah Bu Dasmi di kampung sebelah."

"Iya," jawab bapak menoleh sekilas ke arah Nazifa.

"Assalamu'alaikum," ucap Nazifa lalu berlalu pergi.

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Zee!" seru bapak.

"Iya, Pak," jawab Nazifa setengah berteriak.

Nazifa berjalan santai melewati jalan aspal tadi. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku gamis. Matahari pagi pun tidak begitu menyilaukan mata, karena ada cukup banyak pepohonan yang rimbun di sisi kanan dan kirinya.

Setengah perjalanan lagi sampai ke rumah, Nazifa merasa ada seseorang yang sedang mengikutinya. Seketika jantungnya berdetak cepat tak karuan. Takut dan cemas ia rasakan. Ia teringat pada pria aneh yang selalu mengawasi rumahnya. Mungkinkah itu dia?

Nazifa menundukkan wajah, melirik sedikit ke arah belakang.

Benar!

Terlihat bayangan seseorang sedang mengikutinya!

Nazifa berjalan semakin cepat, tapi pria itu pun malah semakin memperlebar langkahnya.

Deg-deg ... deg-deg.

Jantung Nazifa semakin berdegup kencang. Ditambah tak ada satu kendaraan pun yang melintas, membuatnya hatinya semakin cemas.

Ibu! jeritnya dalam hati.

Saat Nazifa bersiap mengambil langkah seribu, tiba-tiba ...

Grep!

Tangan seseorang mencengkeram bahunya.

★★★