webnovel

Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu

Dua sejoli baru saja merasakan indahnya cinta yang saling berbalas. Tapi bagaimana jika takdir berkata lain?

Airi_Mitsukuni · Urban
Zu wenig Bewertungen
49 Chs

Part 37-Cobaan berat

"Astaghfirullahaladzim," lirih Nazifa hampir tak terdengar.

Air mata menetes membanjiri pipinya. Seluruh tubuhnya gemetar. Lemas tak bertenaga. Bahkan ia pun tak mampu untuk melepas sabuk pengaman yang masih menempel. Pusing begitu terasa di kepalanya karena posisi yang terbalik.

"Bara ... bangun Bara," panggil Nazifa dengan derai air mata sembari menggoyang pelan tubuh Bara.

Namun Bara bergeming. Darah mengucur dari kepalanya. Derai air mata semakin deras mengalir di pipi Nazifa.

Ya Allah! batinnya.

"Mas ... Mas Afnan." Nazifa mencoba memanggil suaminya. "Bangun, Mas," panggilnya lemah.

Namun tak ada jawaban dari Afnan. Nazifa menangis tanpa suara. Hanya air mata yang begitu deras mengalir membanjiri pipinya. Tak ada lagi tenaga ditubuhnya. Pandangan matanya pun semakin kabur. perlahan matanya mulai menutup, hingga akhirnya ...

Semuanya menjadi gelap.

🌸🌸🌸

Mama sedang duduk di depan tv menikmati secangkir teh. Sore ini ia akan pergi menghadiri acara di rumah temannya. Mama terlihat menghela nafas. Rumah yang begitu besar, benar-benar terasa sunyi tanpa kehadiran kedua putra dan menantunya. Apalagi Bara. Ia selalu bisa membuat siapapun tertawa dengan celotehannya.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Andre muncul di layar.

Tumben Andre nelpon, batinnya.

Segera ia menggeser tombol layar hijau.

"Assalamu'alaikum. Ada apa, Ndre?" sapa mama.

"Wa'alaikumsalam. Tante! Cepetan liat siaran berita di R***!" ucap Andre panik.

Mama mengerutkan kening, merasa heran dengan nada suara Andre.

"Memangnya kenapa, Ndre?"

"Bara, Tante! Bara!" ucap Andre panik.

Deg!

Perasaan tak enak langsung menyeruak di hati mama.

Dengan cepat ia menyambar remot tv. Memencet tombol ke saluran yang diberitahukan Andre.

Seketika tubuhnya gemetar. Ponsel ditangannya terjatuh. Air mata bercucuran begitu saja dari mata. Wajah Mama pucat dengan jantung berdetak cepat. Ia mengenal mobil dan plat nomor yang ada di berita itu. Masih terdengar samar suara Andre ditelfon mencoba memanggil-manggil.

"Ya Allah!" jerit mama langsung terduduk di lantai.

Tangannya bergetar menutup mulut. Mbok Tini dan Pak Supri yang mendengar jeritannya, langsung berlari menghampiri.

"Ada apa, Bu?" tanya Pak Supri khawatir.

Mama tidak menjawab. Ia seperti kehilangan kesadaran. Tatapannya kosong. Mbok Tini dan Pak Supri melihat ke arah tv bersamaan. Mata keduanya melotot. Merasa tak percaya dengan berita yang dilihatnya.

"Innalillahi," ucap Mbok Tini lirih dengan air mata.

Diberitakan di televisi bahwa telah terjadi kecelakaan di jalan Nagreg pukul 2 siang. Korbannya berjumlah 4 orang. Satu pengemudi truk dan 3 pengemudi minibus. Korban tewas 2 orang, dan 2 lainnya luka-luka. Ke empat korban dibawa ke rumah sakit di Bandung.

Tangis Mama meledak saat tersadar dari lamunannya. Mbok Tini yang juga tak kuasa untuk tak menangis langsung memeluk majikannya itu.

"Sabar, Bu. Sabar." Mbok Tini mencoba menenangkan dengan suara lirih.

"Bu, sebaiknya sekarang kita cepat-cepat ke rumah sakit itu," usul Pak Supri.

Mama mengangguk lemah lalu berdiri dibantu Mbok Tini.

"Biar saya yang ambilkan tasnya, Bu." Mbok Tini tergopoh-gopoh ke kamar Mama.

Mereka bergegas meninggalkan rumah menuju rumah sakit di Bandung. Mama tak henti-hentinya menangis. Ia tak sanggup membayangkan kalau dirinya harus kehilangan salah satu anak ataupun menantunya.

Perjalanan memakan waktu 2 jam. Mama yang diikuti Pak Supri berlari ke bagian informasi. Menanyakan kebenaran berita di televisi. Dan ternyata benar. Korban kecelakaan itu ditangani rumah sakit ini.

Seorang perawat mengantar mama untuk melihat kondisi pasien. Pak Supri mengikuti di belakang. Jantung Mama berdegup kencang. Ia takut. Takut dengan kenyataan yang harus ia terima. Air mata tak berhenti menetes meski sudah berusaha mengusapnya.

Perawat berhenti di depan sebuah ruangan. Membuka pintu lalu masuk diikuti mama. Mama berjalan perlahan mendekati 2 orang yang tengah terbaring di ranjang yang bersebelahan.

"Ya Allah," ucapnya lirih dengan isakan.

"Bara ... bangun, Nak," panggilnya dengan suara bergetar.

Mama menangis sesenggukan. Ia menoleh ke sebelah Nazifa yang juga tengah berbaring.

"Zee ... bangun, sayang. Bukannya kamu mau ketemu bapak-ibu?" Mama mencium pipi Nazifa.

"Keadaan mereka bagaimana, Sus?" tanya mama berusaha menghentikan tangisnya.

"Pasien atas nama Nazifa mengalami luka ringan di kepala. Sudah ditangani oleh dokter. Tidak perlu khawatir," jelas Perawat.

"Lalu ... bagaimana dengan Bara anak saya, Suster?" Mama menatap Bara.

"Pasien atas nama Bara mengalami benturan keras di kepala. Dokter sudah menanganinya. Tapi belum bisa memastikan kapan ia akan siuman."

Mama terdiam sesaat. Ia ingat ada sesuatu yang kurang.

"Sus ..." panggilnya pelan.

"Pasien atas nama ... Afnan?" tanya Mama ragu. Suaranya bergetar. Ia berharap kalau perasaanya itu salah.

"Mari ikut saya," ucap Perawat sembari berjalan keluar.

Mama mengikuti dengan perasaan takut. Berharap semuanya tak seperti yang ada dipikirannya. Tak lama mama melihat sebuah ruangan di depannya bertuliskan kamar mayat. Langkahnya terhenti. Ia tak sanggup untuk melangkah.

"Sus ... kenapa kita ke sini?" tanya mama takut.

"Mohon maaf, Bu. Pasien atas nama Bapak Yusuf dan Bapak Afnan tidak selamat."

Seketika tubuh mama ambruk. Ia kehilangan kesadarannya. Mama tak mampu menerima kenyataan kalau putra sulung kesayangannya telah pergi meninggalkannya. Pak Supri yang sedari tadi mengikutinya, dengan cepat membopongnya. Membaringkannya di bangku yang tak jauh dari situ.

"Bu Sherli ... istighfar, Bu. Yang sabar." Pak Supri mencoba mengipasi dengan tangannya.

Sesekali terlihat Pak Supri menyeka air matanya. Ia pun merasa kehilangan. Tak menyangka kalau majikannya yang baik telah pergi.

Teringat saat di mana ia tak sengaja bertemu dengan Afnan. Ia yang tengah kesulitan mendapatkan pekerjaan, langsung diterima bekerja sebagai supir tanpa syarat apapun. Bahkan Afnan tak segan memberi bantuan finansial saat dirinya kesulitan.

Suster yang tadi sempat pergi, datang kembali bersama satu orang temannya. Mereka mencoba menyadarkan Mama dari pingsannya. Tak lama mama kembali membuka matanya.

"Afnan ... Afnan ...." gumamnya dengan air mata.

"Istighfar, Bu. Yang sabar," ucap Pak Supri.

Mama perlahan bangkit, dan melangkah perlahan menuju ruangan di mana Afnan sudah terbujur kaku.

Seorang perawat membantu memapahnya berjalan. Tubuh mama hampir ambruk kembali saat melihat sosok yang tengah terbaring di depannya. Perlahan ia membuka kain penutup itu dengan gemetar.

"Afnan!" jerit Mama.

Mama menangis sejadi-jadinya. Ia menghambur memeluk tubuh Afnan yang terbujur kaku dengan wajah pucat.

"Bangun! Bangun, Afnan! Jangan tinggalin Mama! Mama nggak sanggup!" jeritnya.

Kedua perawat dan Pak Supri tak bisa menahan haru. Mereka ikut meneteskan air mata sambil berusaha menenangkannya.

"Tenang, Bu. Istighfar. Ini sudah kehendak-Nya. Kalau ibu seperti ini, malah menambah beban untuk almarhum," ucap suster sembari mencoba mengangkat tubuh Mama yang terus menangis memeluk Afnan.

"Nggak! Bangun Afnan! Bangun! Bagaimana kamu bisa ninggalin Mama seperti ini! Hah?Bagaimana dengan Zee?"

Entah berapa lama Mama menangis di ruangan itu. Hingga akhirnya mama bangkit setelah mendengarkan nasihat dari Pak Supri. Ia mencoba untuk tegar. Masih banyak hal yang harus diselesaikan.

Ia pun harus mempersiapkan diri menghadapi Bara dan Nazifa.

Bagaimana keduanya akan shock saat mengetahui hal ini saat siuman nanti. Terlebih Nazifa. Ia merasa harus bisa menjadi penguat untuk keduanya. Meski jauh dilubuk hati, ia pun menjerit.

Mama pergi ke bagian Administrasi. Ia mengurus semua surat-surat yang diperlukan untuk membawa pulang jenazah Afnan. Juga untuk memindahkan Nazifa dan Bara ke rumah sakit di Jakarta.

🌸🌸🌸

Pukul 7.30 malam, akhirnya Bara dan Nazifa telah dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta. Keduanya belum siuman.

Dalam keadaan tidak sadarnya, Nazifa bermimpi bertemu dengan Afnan. Ia tengah berdiri dengan pakaian serba putih. Tersenyum manis memandang ke arah Nazifa. Perlahan Afnan mulai melangkah mendekat. Nazifa langsung berlari menghambur ke dalam pelukannya.

"Mas ... aku takut. Jangan tinggalin aku ya, Mas," ucapnya lirih.

Afnan tak menjawab. Perlahan ia mulai melepas pelukan Nazifa. Memandang wajah Nazifa lalu mengecup keningnya. Lama.

"Mas ..." panggil Nazifa dengan raut wajah bingung.

Afnan hanya tersenyum. Ia mundur perlahan, melangkah pergi menjauhi Nazifa.

"Mas!" Nazifa sedikit berteriak memanggilnya.

Nazifa berusaha ingin mengejar, namun ia tak bisa menggerakan kakinya. Afnan terus berjalan menjauh. Menoleh menatap Nazifa sekali lalu menghilang.

"Mas Afnan!" Nazifa terbangun. Ia telah siuman.

"Alhamdulillah. Ibu sudah siuman," ucap perawat yang berdiri di sampingnya.

Nazifa terlihat masih linglung.

"Saya di mana, Suster?" tanya Nazifa sembari memegangi kepalanya yang terasa sakit.

Ia meraba keningnya. Ada sebuah perban yang melingkar di kepalanya.

"Ini di rumah sakit, Bu," jawab perawat.

"Mas Afnan ..." gumamnya saat menyadari ia sendiri di rumah sakit.

"Suami saya, Suster. Gimana keadaaanya?" tanya Nazifa cemas.

Perawat tidak menjawab. Ia terlihat ragu untuk memberitahu Nazifa.

"Saya mau ketemu suami saya, Sus." Nazifa bangkit dari ranjang.

"Tidak boleh, Bu. Ibu baru siuman. Masih harus istirahat." Suster menahan tubuhnya.

"Saya udah nggak apa-apa, Suster. Saya mau ketemu suami saya," bantahnya.

"Tapi Bu ...." Perawat mencoba menahannya tapi ditepis Nazifa.

Nazifa terhuyung saat mencoba berdiri. Ia merasakan sakit di bagian kepala.

"Tolong kembali ke tempat tidur, Bu. Ibu masih perlu istirahat," ucap perawat seraya mencoba membawa Nazifa kembali berbaring.

"Saya mau ketemu suami saya, Suster!" tolak Nazifa dengan nada meninggi lalu berjalan ke arah pintu.

"Tapi Bu ...." Perawat mengikutinya, mencoba menahannya.

Langkah Nazifa terhenti di pintu saat seseorang menghalangi jalannya. Ia mendongakkan wajah menatapnya.

"Mas Andre," panggilnya.

Andre diam tak menjawab. Ia berdiri dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Nazifa mencoba melewatinya, tapi lagi-lagi Andre menghalangi.

"Minggir, Mas! Saya mau lewat!" perintah Nazifa mulai kesal.

"Loe itu belum sembuh. Masih harus istirahat," jawab Andre.

"Minggir!" perintah Nazifa.

Andre bergeming. Entah mendapat kekuatan dari mana hingga Nazifa bisa mendorong Andre dengan kuat agar tidak menghalanginya.

Nazifa mulai panik. Ia yakin ada yang tidak beres. Ia berharap dugaannya itu salah. Ia berjalan pelan, mencari Afnan di setiap kamar yang tak jauh dari ruangannya. Ia berhasil menemukan Bara yang tengah berbaring tak sadarkan diri di sebuah ruangan.

Bara ada. Tapi Mana mas Afnan? batinnya.

Nafasnya semakin memburu. Air mata mengalir membanjiri pipi. Ia menoleh ke arah perawat dan Andre yang sedari tadi mengikutinya.

"Mana suami saya, Suster?" tanya Nazifa dengan linangan air mata.

"Itu ... itu ...." Perawat kebingungan menjawab. Ia sudah diperintahkan mama untuk tak memberitahu Nazifa dulu.

"Di mana suami saya, Suster?" pekik Nazifa. Ia panik dan mulai kehilangan kesabaran.

Perawat diam menunduk. Andre mendekat dan langsung menarik lengan Nazifa.

"Lepasin!" Nazifa meronta.

"Loe mau ketemu sama Bang Afnan, kan? Ikut gue!" bentaknya.

Nazifa menangis. Ia mengibaskan tangannya dari pegangan Andre.

Andre mendecak sebal.

"Loe bilang mau ketemu Bang Afnan, kan? Ayo iku gue. Gue anterin," ucap Andre dengan nada lebih rendah.

Awalnya Nazifa ragu. Tapi rasa khawatir terhadap Afnan membuatnya bersedia mengikuti Andre.

★★★