webnovel

Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu

Dua sejoli baru saja merasakan indahnya cinta yang saling berbalas. Tapi bagaimana jika takdir berkata lain?

Airi_Mitsukuni · Urban
Zu wenig Bewertungen
49 Chs

Part 14 - Bimbang

Afnan berjalan keluar meninggalkan adiknya dengan langkah gontai dan perasaan yang bimbang. Di satu sisi, ia merasa bahagia atas kehadiran Nazifa dalam hidupnya. Tapi di sisi lain, ia pun ikut merasakan kesedihan yang Bara alami.

Tapi apa daya? Afnan hanyalah manusia biasa. Terkadang cinta memang membuat siapapun menjadi egois.

Afnan terduduk di bangku yang berada di depan kamar rawat Bara. Wajahnya menengadah ke atas dengan mata tertutup. Kepalan tangan kanannya memukul-mukul keningnya.

Apa yang sebaiknya aku lakukan? Tetap tinggal di sana atau pergi jauh membawa Nazifa?

Tapi ia juga tak mau Bara menganggap dirinya pengecut. Dan ia pun tak mau cintanya pada Nazifa diragukan.

Jika memang itu maumu, maka akan kulakukan Bara.

Akan kubuktikan kalau Nazifa tak akan pernah menyesali pernikahannya denganku.

Maafkan aku jika harus membuatmu terluka lagi. Tapi ini permintaanmu dan juga tantangan buatku.

"Afnan." Sentuhan Mamanya membuyarkan lamunannya.

Afnan melihat Mamanya dan Nazifa sudah berdiri di depannya.

"Mama sama Zee dari mana?" tanya Afnan.

"Habis shalat ashar, sayang. Kamu belum shalat, kan? Sana shalat dulu. Habis itu pulang. Kasian Zee belum istirahat."

"Mama nggak ikut pulang?" tanya Afnan.

"Nggak. Mama di sini nemenin Bara."

"Kalau gitu Afnan sama Zee pulang dulu, Ma. Besok pagi Afnan ke sini lagi," ucap Afnan sembari memeluk Mamanya.

"Iya, sayang."

"Zee pamit dulu, Ma." Nazifa mencium tangan Mama.

"Iya. Hati-hati, ya."

"Assalamu'alaikum," ucap Afnan dan Nazifa bersamaan.

"Wa'alaikumsalam."

Mereka berlalu meninggalkan Mama yang masih terlihat berdiri memperhatikan keduanya. Sekilas kulihat dari kejauhan Mama menyeka air matanya.

Mama kenapa?

"Zee, kamu mau nunggu di mobil apa di Mushola?" tanya Afnan pada Nazifa.

"Aku tunggu di parkiran mobil aja, Mas," jawab Nazifa.

"Ya udah. Aku shalat dulu, ya. Kamu tunggu. Nggak lama kok," ucapnya seraya mengusap-ngusap kepala Nazifa.

Nazifa mengangguk kemudian berjalan ke arah parkiran. Tak disadari, senyuman tipis terukir di sudut bibirnya. Ada perasaan nyaman saat Afnan mengusap lembut kepalanya.

🌸🌸🌸

"Bara." Mamanya menghampiri Bara.

Bara tak menjawab panggilannya. Bahkan pandangannya masih menatap lurus ke arah jendela. Mamanya mengambil posisi duduk di kursi samping Bara. Tangannya tak berhenti membelai lembut kepala anak bungsunya itu.

Tak lama isakan tangis terdengar dari Mamanya.

"Maafin Mama, Bara," ucapnya lirih.

Namun Bara bergeming tak merespon ucapan Mamanya.

"Kamu boleh benci sama Mama, tapi tolong ... Jangan benci sama Kakakmu. Dia tidak tau apa-apa. Mama yang salah. Mama tidak menceritakan padanya tentang perasaanmu yang mencintai Nazifa. Mama saat itu bener-bener bingung, Nak. Kalian berdua anak kesayangan Mama. Maafin Mama. Mama sama sekali tidak berniat menyakitimu," tutur Mamanya sambil terisak.

Bara tetap tak menjawab. Hanya setetes air mata yang mulai terlihat berjatuhan di sudut matanya.

"Maafin Mama, sayang. Maafin Mama." Mamanya menangis menyandarkan kepala di ranjang tempat Bara berbaring.

Sunyi. Untuk beberapa saat tak ada kata-kata yang keluar dari keduanya. Hanya isakan tangis Mamanya yang masih terdengar.

Sedangkan Bara, ia kembali merasakan rasa sesak di hatinya. Ingin rasanya ia meneriakkan lara sekuat tenaga. Namun semuanya hanya bisa tertahan di tenggorokan dan memberikan efek menyakitkan yang luar biasa.

Nazifa duduk menunggu Afnan di warung dekat parkiran. Tak lama iamelihat Afnan muncul dan berjalan menghampirinya. Namun raut wajahnya menyiratkan ia sedang tidak baik-baik saja. Raut wajahnya muram. Bahkan selama perjalanan di dalam mobil pun, Afnan pun diam. Mengeluarkan sepatah katapun tidak.

"Mas kenapa? Mas sakit?" Nazifa memberanikan diri memecah keheningan ini.

Afnan tersenyum sekilas. "Aku nggak apa-apa. Jangan khawatir, ya," ucapnya pada Nazifa lalu kembali menatap lurus ke depan.

Kami akhirnya tiba di sebuah rumah yang besar. Ah tidak! Bagiku ini terlihat sangat besar. Seorang satpam terlihat terburu-buru membukakan gerbang. Mobil Afnan masuk dan langsung memarkirkannya di garasi.

Aku berjalan mengikuti Afnan. Mataku sibuk memandang ke sekeliling.

Ya Allah ... apa mataku nggak salah liat? Rasanya aku cuma pernah liat rumah-rumah mewah seperti ini di film.

Apa jangan-jangan, rumah Mas Afnan ini yang sering di pake buat syuting, ya?

Mata dan pikiran Nazifa sedang sibuk mengagumi keindahan rumah ini, hingga ...

Bugh!

Nazifa menubruk tubuh Afnan yang ternyata sudah berhenti di depannya.

"Ma-maaf, Mas." Nazifa malu sendiri.

Afnan tersenyum melihatku. "Ayo," ajaknya sambil menggenggam tangan Nazifa.

Seorang Bapak-bapak yang tengah memotong rumput halaman membungkukan badan ke arah Mas Afnan.

Ya ampun ... Bener-bener mirip di film, batinku.

Nazifa terkekeh membayangkan itu sampai Afnan menatap heran padanya.

"Kenapa, Zee?" tanyanya.

"Ah, ng-nggak apa-apa, Mas," jawab Nazifa  tergagap.

Haduh ... Jangan malu-maluin kamu Zee! batin Nazifa kesal.

Matanya berkedip cepat beberapa kali saat masuk ke dalam rumah Afnan. Tak percaya melihat keindahan rumah ini.

Afnan terlihat menahan tawa melihat tingkah Nazifa. Tangan kanannya terulur pada Nazifa kemudian mengatupkan mulutnya yang sedikit terbuka.

"Nanti laler masuk," candanya sambil tersenyum lebar.

Nazifa langsung tersipu malu. Memalingkan wajahnya ke arah lain.

Memalukan sekali! Bener-bener udik kamu Zee! gerutunya dalam hati.

Nazifa mengekori Afnan menaiki tangga menuju kamarnya. Ya ampun! Lagi-lagi Nazifa dibuat bengong dengan luasnya kamar Afnan. Luasnya setengah dari rumah Ayahnya! Nuansa ruangannya begitu Manly. Hitam putih.

Afnan menyimpan kopernya ke dalam lemari yang awalnya Nazifa kira itu pintu kamar mandi, tapi ternyata bukan! Itu pintu lemari. Kemudian ia melangkah menuju tempat tidur dan duduk di bibir kasur.

"Beresin bajunya nanti aja, Zee. Kamu istirahat aja dulu. Capek," ucapnya pada Nazifa yang masih berdiri mematung dekat pintu kamar.

"Iya, Mas," jawab Nazifa pelan.

Afnan mengernyitkan dahi saat melihat istrinya masih berdiri mematung.

"Sini." Afnan menepuk-nepuk kasur di sebelahnya.

Jantung Nazifa berdegup kencang. Rasanya terasa berbeda dengan kamar miliknya. Sekarang Nazifa  berada di kamar Afnan. Kekhawatirannya mulai timbul. Bagaimana nanti jika Mas Afnan macam-macam.

Ya Allah, Zee! Dia itu sekarang suamimu! Dia berhak melakukan apapun!

Tapi aku belum siap sekarang!

Ya kamu harus siap dong! Dosa loh!

Nazifa sibuk berperang dengan pikirannya sendiri. Kemudian berjalan perlahan mendekati Afnan dan duduk di sampingnya.

Hening. Kami berdua duduk dalam diam. Kulirik sekilas dari sudut mata, Afnan tengah senyum-senyum sendiri. Jantung Nazifa semakin berdebar kencang melihat Afnan yang tersenyum sendiri.

Jangan-jangan ... Mas Afnan merencanakan sesuatu? batinku.

"Mas aku ...."

"Zee ...."

ucap mereka bersamaan. Afnan dan Nazifa tertawa kecil menyadari kecanggungan ini.

"Zee, apa kamu suka dengan kamar ini? Kalau kamu nggak suka, nanti kita bisa rubah sesuai yang kamu mau."

"Nggak, Mas. Nggak usah. Zee suka kok," jawab Nazifa.

"Kalau sama aku, suka nggak?" tanyanya tiba-tiba.

Nazifa terdiam dengan pertanyaannya. Apa yang harus ia jawab? Sejujurnya Nazifa mulai merasa nyaman. Tapi untuk perasaannya, ia masih belum yakin.

"Zee?" panggilnya lagi. Nazifa menoleh menatapnya.

"Suka nggak?" tanyanya lagi.

Nazifa menundukkan wajahnya kemudian mengangguk perlahan.

Afnan tersenyum lebar kemudian menggenggam kedua tangan Nazifa dengan erat.

"Makasih, Zee," ucap Afnan seraya mencium kedua tangan Nazifa.

Nazifa merasakan debaran jantungnya semakin bertalu-talu. Ia tak berani untuk menatap wajah suaminya. Tapi Afnan, ia malah mengangkat wajah Nazifa dengan kedua tangannya, memegang kedua pipi Nazifa dengan lembut. Tatapan matanya begitu terasa  menusuk sampai ke hati. Senyumnya terlihat mengembang.

Perlahan Nazifa menyadari, kalau Afnan semakin mendekatkan wajahnya. Nazifa bersusah payah menelan ludah. Ia panik. Jantungnya berdetak semakin tak beraturan. Tangannya meremas seprei kuat-kuat. Wajah Afnan hanya tinggal beberapa senti dari wajahnya Bahkan hembusan nafasnya sudah terasa di wajah Nazifa. Hingga tiba-tiba, dering ponsel Afnan yang nyaring, membuat ia terpaksa menghentikan aksinya.

Afnan mendecak sebal kemudian berdiri mengambil ponselnya yang ia letakkan di sofa.

Nazifa menghela nafas lega. Tangannya mengusap-usap dada.

Ya Allah ... Jantungku! Selamat, selamat. Hampir aja Mas Afnan ... Ya ampun!

Nazifa malu sendiri! Ia memegang kedua pipinya yang terasa panas.

"Zee." Panggilan Afnan mengagetkannya.

"I-i-iya, Mas," jawabnya masih merunduk.

"Kamu istirahat aja, ya. Capek, kan?" ucap Afnan lembut.

Nazifa menganggukan kepala kemudian Afnan berjalan meninggalkannya.

"Mas Afnan mau ke mana?"

Afnan menghentikan langkahnya kemudian menoleh pada Nazifa.

"Mau mandi. Kamu mau ikut?" godanya.

Nazifa langsung menggelengkan kepalanya cepat dan memalingkan wajah ke arah lain karena malu. Afnan terkekeh lalu bergegas mengambil baju dan handuk di lemari kemudian masuk ke kamar mandi.

Ya ampun ... Kenapa juga tadi harus nanya begitu, sesal Nazifa dalam hati.

Nazifa meraba tempat tidur yang dibalut sprei putih. Benar-benar berbeda dengan kasurnya. Empuk sekali! Nazifa beranjak naik dan mulai merebahkan tubuhnya. Nyaman sekali. Hingga tanpa sadar ia pun terlelap di sana.

🌸🌸🌸

Afnan keluar kamar mandi dan melihat Nazifa tengah tertidur lelap di kasurnya. Ia berjalan mendekati dan duduk di sampingnya. Tersenyum memandangi Nazifa yang tengah tertidur pulas. Tangannya terulur hendak menyentuh pipi istrinya itu, tapi terhenti karena mendengar ponsel Nazifa yang berdering.

Ia beranjak dari tempat tidur menuju sofa tempat di mana Nazifa meletakkan tas punggungnya. Ia mengambil ponsel Nazifa dari dalam tas dan melihat ada 2 panggilan tak terjawab juga pesan wa. Sesaat Afnan termenung. Ragu untuk membuka ponsel istrinya itu. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk membukanya.

Nama Dimas tertera di panggilan tak terjawab itu. Begitupun dengan pesan Wa. Afnan pun mulai membaca pesan itu.

[Zee ... Kamu beneran nikah?]

[Aku dapet kabar dari Orangtuaku. Kamu jahat Zee! Kamu nolak aku, tapi nikah sama cowok lain!]

[Bukannya kita punya perasaan yang sama? Secepat itukah kamu lupain aku?]

[Sejujurnya hatiku benar-benar sakit, Zee! Tapi aku do'ain semoga kamu bahagia. Dan semoga aku bisa ikhlas!]

Afnan menghela nafas berat.

Dimas ... Siapa lagi dia? tanya Afnan dalam hati.

"Sepertinya masih ada yang belum aku ketahui tentangmu, Zee," gumam Afnan.

Ia meletakkan kembali ponsel Nazifa ke dalam tas dan berlalu keluar kamar tanpa menutup pintunya.

"Mbok, tolong bikinin saya teh, ya," ujarnya pada Mbok Tini.

"Iya, Den."

Afnan menikmati teh hangat sambil menonton TV. Setengah jam kemudian, ia pun beranjak dari sofa dan berjalan menuju ke kamarnya. Ia bermaksud untuk membangunkan Nazifa yang tertidur karena sebentar lagi adzan Maghrib. Ia berjalan santai menaiki anak tangga. Hingga saat ia sampai di depan pintu kamarnya, sesuatu membuat langkahnya terhenti.

★★★