Pembelajaran akan dimulai lusa depan, hari ini dan esok akan dipakai untuk mengambil buku hologram dan tali penunjuk baru. Tali penunjuk berbentuk persegi panjang dengan lebar tidak lebih dari lima centimeter, tali penunjuk berisi informasi tentang Sekolah Menegah Kosong, nilai dan tugas akan diunggah ke benda itu dengan berbasis hologram.
Terlihat dari kejauhan seorang pemuda berjubah merah berlari kencang, sepatu kulit yang dia dapat dari hadiah ulang tahun membuat suara nyaring di lorong menuju tempat pembimbing barat. Keningnya penuh peluh, nafasnya tersenggal karena betapa sialnya Asak hari ini.
Asak terbangun saat waktu menunjuk pukul tujuh pagi, butuh sepuluh menit lagi untuk pintu gerbang pembimbing barat ditutup. Dia tidak peduli dengan rambut seperti sarang burung, atau jubah kusut karena ditaruh sembarang. Asak hanya berpikir bagaimana bisa teman sekamarnya tidak membangunkan dirinya, membiarkan pemuda itu asik tertidur di atas ranjang keras.
"Tunggu!" teriak Asak, tangannya melambai-lambai kepada robot besar yang hendak menekan tombol di samping gerbang setinggi sepuluh meter. Kepala robot itu berputar, layar di tengah wajahnya menampilkan kata 'Tidak bisa!'
Wajah Asak langsung mengerut, lantas berdecih sembari menghentakkan kaki. "Sudah aku bilang buka, ya buka!" Teriakan itu membuat Asak mengangkat kepalanya, menatap seorang pemuda dengan jubah silver mengkilap.
Pemuda itu dari kalangan kasta atas, tertinggi dan paling terpandang. Jubah silver melambangkan keluarga Pemerintah, para pejabat negara yang haus akan uang dan kekuasaan. Bedebah yang menciptakan peraturan aneh, bersifat memaksa dengan embel-embel ingin melindungi semua penduduk.
Robot di depan sana menekan tombol, gerbang tinggi itu terbuka lebar. Asak membuka mulutnya, berlari menyusul pemuda itu sebelum gerbang kembali tertutup. "Dasar pilih kasih, padahal kastaku hanya beda satu tingkat, " bisiknya sembari berlari mendahului pemuda yang tak sempat dlihat siapa itu.
Saat menemukan pintu ruang yang dituju, Asak mendengkus kasar. Pintu itu memiliki lapisan bening setebal 30 centimeter, hanya pembimbing yang tau kode untuk menghilangkan lapisan. "Bagaimana ini?" tanya pemuda yang tiba-tiba sudah berada di samping Asak, mengigit jemari karena tidak tau harus berbuat apa.
Asak menyikap jubahnya, mengambil benda bulat sebesar koin dan menempelkannya ke dinding samping pintu. Jemarinya menekan benda itu, layar hologram muncul dengan otomatis. Asak mahir dalam hal membajak sebuah sistem, pintu seperti ini bukan lawannya. Tak butuh waktu tiga menit, lapisan setebal tiga puluh setimeter itu menghilang.
"Boleh juga, " ucap pemuda dengan jubah silver itu pelan. Asak sama sekali tidak tertarik, dia lebih memilih menyambar benda bulat itu dan masuk secara mengendap-endap. Tidak ada seorang pun yang sadar dengan kedatangan dua pemuda, mereka terlalu fokus mendengarkan pembimbing yang sedang menjelaskan sistem tali penunjuk.
"Permisi, permisi, " ucap Asak pelan sembari berjalan memasuki kerumunan. Dia berdiri di dekat sudut, merapihkan rambutnya dengan tangan agar tidak terlalu mengembang. Pembimbing mengakhir presentasinya, pemuda itu membuka mulut lebar. Dia baru saja sampai tapi sudah selesai, seberapa terlambat dia.
Matanya mengedar, mencoba mencari teman sekamarnya. "Hei!" pekiknya saat melihat pemuda dengan jubah merah bata melewatinya untuk pergi ke ruangan selanjunya, mereka semua hendak mengambil tali penunjuk.
Sepasang netra coklat muda dari balik tesmak itu melirik Asak, bibirnya tak sengaja tersenyum tipis saat teman sekamarnya menampilkan senyum lebar. "Ada apa, Asak?" tanya sembari terus menarik kedua sudut bibirnya, sampai-sampai Asak bertanya-tanya kenapa pemuda itu tiba-tiba memiliki ramah tamah.
Tiba-tiba lidah Asak kelu, dia lupa dialog yang ingin dia ucapkan. "Eh! Aku hanya ingin bertanya. Kenapa kamu tidak membangunkanku tadi?"
Pemuda dengan tesmak kuno itu kembali tersenyum, rentetan gigi putih bersih terpampang menambah kesan manis karena mata bulatnya ikut menyipit. "Maaf, aku takut mengganggu tidurmu. Mungkin lain kali aku akan membangunkanmu, Asak."
Asak menggaruk tengkuknya, tersenyum kikuk dan mengangguk. Pemuda itu melangkah pergi, baru beberapa langkah Asak sudah kembali memanggilnya. "Namamu siapa?" tanyanya sembari menyusul.
"Laten, dari daerah Bawah Tanah."
Masing-masing siswa akan mendapat satu tali penunjuk, wajib dipakai di pergelangan tangan kanan tiap harinya. Melepaskan itu sama saja dengan bunuh diri, karena benda itu akan aktif saat sudah dipakai, jika benda itu mati maka otomatis pihak pusat akan kehilangan lokasi kami dan akan membuat siswa akan dihukum.
Entah apa alasannya, Asak juga tidak mengerti. Dia seperti kehilangan privasi karena mulai hari ini dimana pun dia berada, pembimbing akan tau keberadaannya. Sekolah Menengah Kosong memang luas, tapi pemuda pintar seperti dirinya tidak mungkin tersesat, untuk apa dibuntuti dengan benda menjengkelkan ini.
Bruk, suara pintu yang dibuku kasar membuat tubuh Asak yang berada di atas ranjang asrama tersentak. "Demi Azmata!" pekiknya tanpa sadar. "Aku kira apa, ternyata kamu, Laten. Mengapa membanting pintu?"
Kamar asrama memang menggunakan pintu, benda kuno itu ternyata masih digunakan. Lain halnya dengan ruang kelas dan ruang lainnya, sudah memakai pintu lapisan dan berbasis sistem hologram untuk kode masuk. Apa mereka menguji mental para siswa dengan fasilitas kuno dan ketinggalan jaman?
Laten mendelik, kaca tesmaknya retak. Wajahnya sudah sebelas-dua belas dengan para korban bencana alam, lebam sana-sini dan ada bekas darah mengering di sudut dahi Laten. Asak hendak bertanya, namun dia urungkan karena teman sekamarnya itu sudah menjatuhkan diri di ranjang dan menutup mata. "Kenapa dia?" gumamnya sembari ikut menuju alam mimpi.