Rendevis menelan ludahnya sendiri. Ia sama sekali tidak menyangka jika patrolinya kali ini berbeda dengan yang biasa. Pria itu tidak habis pikir, mengapa tiba-tiba para jenderal hadir di hadapannya? Apakah tindakannya kali ini begitu mencolok, menarik perhatian para pengintai hingga akhirnya mereka mengirim pesan pada jenderal mereka, jika dirinya sedang mengirim pesan peperangan?
"Tuan Anggwen. Kehormatan bagi saya dapat bertemu langsung dengan Tuan beserta pasukan elit Tuan," sapa Rendevis sambil membungkukkan sedikit tubuhnya ke depan, memberi salam sekaligus penghormatan pada pria berambut dan berjenggot putih yang masih mengambang di udara, tak jauh dari dari tempat Rendevis berdiri.
"Aku tidak sedang menerima tamu di sini. Tapi, mengapa dirimu hadir dengan iring-iringan sebanyak ini? Apakah kau hendak melamar salah satu dari bidadari kami?" Anggwen menatap penuh selidik ke arah Rendevis dan mencuri-curi pandang pada Fardemis yang tangannya kini memegang erat pangkal pedang panjangnya.
Rendevis memahami sindiran halus dari lawan bicaranya. Bukan kehadiran Anggwen yang membuat otaknya berpikir keras, melainkan prajurit pilihan yang berdiri di belakang pria itulah yang menarik perhatiannya. Apakah yang dikatakan Oubtree tadi benar adanya? Akan ada pertemuan di kerajaan air hari ini? Tapi jika yang dikatakan Oubtree benar, mengapa dirinya tidak melihat satu pun perwakilan kerajaan tanah yang bergerak ke tempat pertemuan?
Di saat Rendevis memikirkan hal itu, tiba-tiba tanah yang ia injak amblas sekitar dua senti meter, lalu bergerak seperti air, melenggak-lenggok, naik turun seperti gelombang air. Apakah perwakilan dari kerajaan tanah juga akan menghadangku di sini? Gumam Rendevis dalam hati.
Rendevis segera melompat mencari tempat yang lebih aman, yang tidak dilewati perwakilan kerajaan tanah. Ia akhirnya memilih berdiri di dekat sebuah pohon yang yang ukurannya lebih kecil dari pohon sebelumnya tapi daunnya tidak kalah rimbun.
"Mengapa kau bisa begitu ceroboh, Rendevis?" Terdengar suara setengah berbisik tepat di belakangnya.
"Aku tidak tahu jika akan seperti ini. Mana aku tahu jika hari ini akan ada pertemuan empat kerajaan dari masing-masing elemen kehidupan," jawab Rendevis tanpa menoleh ke belakang.
"Apakah Oubtree tidak memberitahumu jika akan ada pertemuan ini?" Suara itu kembali mengusik indera dengar Rendevis.
"Ia tidak memberitahu tentang pertemuan ini tapi akan ada pertemuan di kerajaan air." Rendevis terdiam untuk sesaat, lalu dengan cepat menepuk keningnya. Tapi, mengapa pertemuannya ada di sini bukan di kerajaan Air?
"Mengapa di sini?" tanya Rendevis, tapi suara itu tidak lagi terdengar. Kini desiran angin yang menghembus tepat ke arah Rendevis.
"Ada apa, Rendevis? Apa kau terkejut dengan kehadiranku dan juga sahabatku ini?" ujar pria berjenggot putih sambil menunjuk ke arah gundukan tanah yang kian lama kian meninggi. Tanah yang meninggi dan menggunung itu akhirnya pecah menghadirkan sosok pria berkulit coklat dengan rambut sedikit ikal, mata bulat dengan tinggi badan lebih pendek dari Rendevis.
Rendevis sedikit ciut. Mengapa dirinya harus terjebak dalam masalah yang ia sendiri tidak tahu ujung pangkalnya. "Aku terkejut?" Rendevis tidak menjawab namun malah memberi pertanyaan balik. "Jawabannya adalah benar. Aku sangat terkejut. Ada apa dengan kalian ini? Apakah kalian sudah sepakat untuk menjebakku di sini?" Rendevis bersikap seolah ia adalah korban di sini.
Pria berambut ikal itu tergelak. "Kau benar-benar Rendevis yang kukenal, tapi aku meragukanmu. Benarkah dirimu tidak tahu apa-apa, Rendevis?"
Kening Rendevis mengerut. Siapa sebenarnya pria berambut keriting ini? Mengapa dia bisa mengenaliku sedangkan aku sama sekali tidak mengingatnya?
Pria berambut ikal itu memiringkan kepalanya ke kiri lalu ke kanan, mengangkat kedua alisnya ke atas. "Padang pasir. Ular kobra. Panah di kepala." Pria itu menyebutkan sesuatu, seperti memberikan sebuah petunjuk kepada Rendevis.
Rendevis mengusap dagu runcingnya berkali-kali, menghubungkan memorinya dengan kata-kata yang diucapkan pria berambut ikal itu. Pria berjenggot putih melempar sebuah batu ke kepala pria berambut keriting itu. "Apa kau masih ingin bermain-main lagi, Landelt?"
Pria yang dipanggil Landelt itu mengaduh, menggosok kepalanya yang terkena lemparan batu. Ia lantas menendang tanah di depannya, membuat Rendevis harus cepat memejamkan kedua matanya. "Payah kau, Rendevis. Ingatanmu benar-benar payah!" ucapnya geram
Rendevis justru tergelak. Ia membuka kedua matanya lalu dengan tatapan mengejek dirinya membalas ucapan Landelt. "Kau yang payah! Anak panah begitu banyak tapi kau hanya berhasil membunuh satu kobra?" Akhirnya Rendevis berhasil mengingat sosok pemuda berambut ikal yang berdiri di seberangnya.
"Apa kau bilang??! Jika bukan kau yang menyuruh semua kobra itu untuk pergi waktu itu, aku pasti sudah membantai mereka semua. Dasar kau pengkhianat!" teriak Landelt sambil menghunus pedangnya.
"Wow, wow, wow! Tenang kawan, tenang! Mengapa semua itu tidak kita bicarakan baik-baik di sini, terlebih lagi, kejadian itu sudah berlangsung lama, tapi kau masih menyimpan dendam di hatimu. Kau tahu, dendam tidak baik bagi jiwa dan ragamu. Perlahan namun pasti, mereka akan menggerogoti kemampuanmu dan mengikis habis ilmu kebatinanmu. Kau tidak akan mampu membaca tanda alam karena dalam hatimu tersimpan dendam."
"Jangan banyak bicara kau, Rendevis!" teriak Landelt lalu berjalan satu langkah dengan pedang panjang terhunus di depan dadanya.
Rendevis membalikkan tubuhnya, lari sekencang-kencangnya menghindari kejaran Landelt. Rendevis tidak ingin mengeluarkan pedangnya dari tempatnya. Ia tidak akan melakukan hal itu jika tidak benar-benar terdesak.
"Keluarkan pedangmu, Rendevis! Hadapi aku! Mari kita bertarung habis-habisan! Kita tentukan siapa yang terkuat di antara kita!" raung Landelt. Pria itu sungguh kesal. Selama ini, Rendevis selalu mengalah dan tidak benar-benar menjadi seorang lawan yang sebenarnya setiap kali mereka bertemu dan beradu kemampuan.
"Keluarkan Lordess Faith, Rendevis! Jangan jadi pria pengecut!" Landelt berteriak kesetanan. Hasratnya yang menggebu untuk mengalahkan Rendevis, membuatnya lupa akan pertemuan yang hendak dihadiri sang ayah, Oleds Landelt.
Mendadak terdengar suara bergemuruh dari langit dan bumi. Kilat datang menyambar, angin menderu kembali menciptakan pusara besar seperti sebuah terompet yang mengarah ke atas. Sedangkan tanah mulai bergetar. Kali ini getarannya lebih dahsyat, menyebabkan tanah di sekitar terbelah tak beraturan menyebabkan beberapa pohon roboh ke terhimpit tanah yang terbelah.
"Rendeviiiiis!" Suara berat penuh penekanan, membuat Rendevis hampir jatuh terjerembab. Pasukannya tetap diam di tempat. Mereka mengingat dengan jelas peraturan dari pimpinan mereka. Apa pun yang terjadi di hadapannya, mereka tidak boleh ikut campur sedikit pun. Yang harus mereka lakukan hanyalah diam dan bersikap seolah tidak tahu, meskipun mereka dapat mendengar dan melihat kejadian tersebut dengan begitu jelas.
Sialan! Rendevis kembali mengumpat dalam hati. Mengapa harus saat ini dirinya bertemu dengan kakek menyebalkan itu?! Aku tidak akan pernah mengabulkan permintaannya! Apa pun itu!
"Apakah kau lupa dengan perjanjian kita?" Suara itu kembali menggema. Rendevis bersikap seolah tidak mendengar suara itu.
Pedang di pinggangnya seketika bergetar hebat. Rendevis memegangi pangkal pedang itu dengan sekuat tenaga.
"Aku tidak akan pernah mengeluarkanmu dari tempatmu. Kau tidak boleh ke luar. Ini bukan saat yang tepat untukmu ke luar dari tempatmu. Aku mohon. Jangan membuatku mengucapkan kata-kata itu lagi atau kau akan membeku selama seratus tahun lagi!" Rendevis terus memegang pangkal pedangnya.