webnovel

Cara mendustai nalurinya.

Tanisha kembali menghindar perasaan canggung yang tidak dapat dia hindarkan terlihat sangat jelas di matanya saat ini yang sudah tidak berani menatap elang yang tengah menyala dengan tajamnya.

"Aku masih harus buru buru urusan ku masih banyak tolong Vin lepaskan tanganku atau aku akan berteriak" tegasnya. Dengan muka yang membelakangi pria tersebut.

Namun Vindra tetap kukuh tidak mau melepaskan kunci kuatnya pada pergelangan halus wanita itu.

"Jangan menghindar cukup aku bilang sudah cukup Tan!" Desaknya.

"Apa yang perlu aku hindari aku tidak menghindari mu, kau terlalu percaya diri Vin, lepasin aku"

"Sebelum kau menatapku aku tidak akan pernah melepaskan mu Tan?" Teriak pria itu yang tak kalah bengis nya.

Sang nona berbalik badan, netra itu kini beradu, jika tidak ada sesuatu mungkin dia sanggup lebih lama menatap nya, namun Tanisha spontan melepaskan tatapan nanarnya yang terasa cukup singkat lantas beringas menggigit keras tangan Vin hingga terluka.

"Aaak.... Tan???" Teriaknya, sang nona tersenyum seringai.

"Itu perasaan ku? Bagaimana enak rasanya?" Ucapnya sembari memangku tangan ke dada.

"Tan, kau tidak tanyakan perasaan ku?" Jawabnya dengan wajah yang masih meringis, memegang bekas gigitan yang nampak menitikkan setetes darah.

"Tidak perasaan apa yang harus ku tanyakan, kita tidak punya hubungan apa apa you know, jadi jangan ganggu aku lagi?" Teriaknya, dia hendak pergi namun, meski sudah berdarah kena gigitan ganasnya barusan.

Tangan besar itu masih bisa kuat menggapai lengan sang nona, dan spontan memaksa pandangan mereka beradu lalu Vin tanpa ucap apapun langsung saja melumati bibir merah itu sangat dalam.

Kilat tajam sang nona kembali menyala, dia terbungkam dan termangu sesaat sebelum akhirnya memaksa untuk melepaskan, namun Vin tetap saja enggan dan bahkan memagutnya lebih ganas.

"Hmm.. Brengsek... " Sang nona mendorong dengan kuat dada kokoh itu lalu

"PLAAKK..." Tamparan bengis kembali mendarat di pipinya.

Vindrapun tersenyum miring meski wajah gadis itu sudah memerah padam di kerubungi oleh amarah yang meluap luap.

"Berani nya kau?" Ucapnya. Pria itu kembali meraih tangan halus sang nona, darah pun semakin mengalir pada bekas gigitan ganasnya, Tanisha tersentak, jiwa adil dan lunak pun seketika mencuak, rasa tak tega datang tanpa undangan yang jelas, sang nona gegas mengeluarkan sapu tangan tipisnya yang lembut lalu mengusap bekas gigitan itu lantas mengikat kan sapu tangannya, dia harus rela sapu tangannya yang mahal di miliki pria tersebut.

Tuan muda Dravinda pun tersenyum sangat manis dengan perlakuan yang di rasa cukup langka jarang sekali terjadi pada diri dan jiwa yang angkuh tersebut.

"Thanks Tan" ucap nya denga wajah sumringah dia tersenyum persis di depan wajah cantik nan songong itu.

Sang nona pun kikuk dan segera lengahkan pandangan nya.

"Aku kembali.." ucap nya kemudian.

"Aku antar" jawab Vin.

"No, thanks, aku bawa mobil sendiri, Please biarkan aku" nada itu terdengar sangat lunak, membuat senyum tuan muda Dravinda semakin merekah saja, menambah ketampanan yang luar biasa pada guratnya.

"Pikirkan sekali lagi" ucap nya kemudian.

Sang nona mengerinyit bak orang linglung.

"Tidak ada yang perlu di pikirkan selain dari proyek ku"

"Bukan itu, ku rasa kau tau maksud ku, aku menunggu jawaban mu?"

"Terserah kau saja" jawab nya sambil melangkah pergi.

Senyum indah tuan muda Dravinda kembali melengkung pada bibirnya, dia melirik tangan nya dan sapu tangan itu seketika di hadiahi kecupan oleh nya.

"Apa itu yang dikatakan perasaan? Heh?" Batinnya lantas pula angkat kaki dengan segera dari lokasi tersebut.

*

Vindra membuka sapu tangannya luka itu telah mengering, noda darah berbecak di sana, dia tersenyum penuh arti sambil memandangnya.

"Hm kau sangat keras kepala, tapi aku tidak akan pernah menyerah kau paham hm?" Ocehnya lalu tersenyum miring bersamaan tatapan tajamnya.

"Ros, Ros..." Teriaknya di depan pintu kamarnya. Nama yang di panggil itupun datang, seorang asisten muda masih gadis nan cantik pengagum setianya yang tidak menaruh takut sedikitpun padanya, beda halnya dengan para asisten lain yang sesaat membeku ketika berhadapan dengan majikannya yang sangat dingin tersebut.

"Iya tuan muda, Ros yang cantik datang, apa yang bisa Ros bantu tuan muda?" Ucap mulut lemesnya sembari menunduk kan kepalanya.

"Cuci ini sampai bersih, jangan sampai rusak, awas kalau sampai ini rusak atupun tergores sedikit saja kamu akan segera tamat, understand?" Tegasnya sembari mengulurkan sapu tangan nya.

Meski sebegitu ancaman kerasnya, Ros tidak takut, sambil tersenyum tersipu di ambilnya sapu tangan tersebut.

"Siap tuan muda Ros laksanakan sesuai dengan titah, ada lagi tuan muda?" Ucapnya masih dengan nada yang sangat melunglai.

"Ada?" Tegasnya kembali.

"Apa itu?" Ucapnya lagi tanpa berani menatap mata penuh kilat khusus tersebut.

"Segera kau buang wajahmu itu dari hadapan ku sekarang" bentaknya.

Meski begitu Ros tetap tersenyum tersipu-sipu lantas hengkang dari hadapan majikan misterius nya tersebut.

Tuan muda Dravinda menggeleng gelengkan kepalanya sembari menutup pintu kamarnya, dan kembali tersenyum bak orang tidak waras di ranjangnya yang luas.

*

Tuan Dhanda, tersentak kaget melihat dahi putri kesayangan nya di plester selain itu gurat cantiknya yang tegas nampak melesu.

"Habis ngapain kamu?" Tegas ibu tiri yang kejam yang hobi dengan lisptik merah menyala itu.

"Habis dari proyek? Yah kerja lah, aku bukan anjing telantar yang hidup dari belas kasihan orang lain" ucapnya dengan pelan saja, namun kalimat nya sangat menusuk hingga spaning sang ibu tiri langsung menanjak naik pada level tertinggi. Bola matanya mengkilat memerah seketika.

"Tan, berapa kali Daddy bilang jangan bicara asal nak, ingat mulut mu  harimaumu, dia bisa menerkam mu sendiri nantinya, jadi Daddy mohon, bicaralah yang sopan, paham?" Nasehat ayahnya, dia cukup mengangguk saja.

"Kenapa dahinya?"

"Kena batu tadi di lokasi proyek" jawabnya enteng saja.

"Sudahlah Tan baik baik saja, Tan capek mau istirahat" sambung nya lagi dan berlalu menaiki tangga istana megah itu menuju tempat yang di anggap nya paling nyaman.

Ingatan itu tak luput dari bayangan pria yang beberapa saat lalu memaksa untuk mengobati dahinya, sisi lain dia temukan sebuah perhatian tulus terjaring di ingatan nya saat ini.

Dia mengelus dahinya, spontanitas pria yang mengutarakan rasa lewat tindakan yang sangat kurang ajar dan tidak sopan sama sekali, dia seperti bajingan namun sang nona malah tersenyum sambil mengingat hal itu.

Bayangan di cermin memantulkan wajah cantiknya, dia teringat masa lalunya sumpah itu kembali melintas merusak angannya dan dia akhirnya terluka sendiri lalu menebas habis seluruh isi meja riasnya pelampiasan hatinya yang tak bisa lepas.

"Pikirkan sekali lagi Tan?" Dan ucapan itu kembali menggeliyang di ingatan nya, semakin membuat dada sang nona semakin terasa sesak.