webnovel

Rumah Kami

Aul dan Serigala Cahya saat siang terdampar di tepi kota, di sebidang tanah tempat sampah yang cukup luas. Di pinggirnya ada sungai kecil. Semua sampah itu berasal dari satu kompleks perumahan yang berada di atasnya.

"Kita untuk sementara, bagaimana kalau tinggal dulu di sini? Kan sepi?" Serigala Cahya usul. Aul sepakat. Keduanya lalu masing-masing mencari pohon untuk dijadikan tempat tinggal sementara.

Sore menjelang Magrib, di area tumpukan sampah, tidak ada satu orang pun manusia. Saat musim kemarau, sampah-sampah mengering, aroma tidak enak tidak begitu tercium.

Lalu, saat hari menjelang gelap, Serigala Cahya yang bertubuh coklat berbulu kuning kemerahan bangun dari tidur di rumahnya di pohon asam, tepat di pinggir sungai. Kedua tangannya yang juga berbulu kuning kemerahan diregangkan. Untaian rambut di kepala, ditepiskan dari bagian muka karena menghalangi pandangan.

"Ini sudah waktunya, kaum siluman bangun dari tidur," Serigala Cahya bergumam sendiri. "Perutku juga lapar. Aku mau ke temanku."

Serigala Cahya melangkah gesit. Plastik-plastik sampah yang cukup licin bisa dilalui cepat, pecahan-pecahan kaca dan beling pun tidak tembus.

Saat Serigala Cahya tiba di depan satu pohon kersen di tepi sungai, Aul masih lelap tidur. Kepalanya bersandar pada boneka beruang yang lapuk. Sementara bagian tubuh yang lain bersandar pada dahan-dahan.

Serigala Cahya berbuat jahil. Memungut kerikil, lalu bersembunyi di satu gundukan tempat sampah. Kerikil itu dilemparkan dan tepat mengenai kening Aul.

Aul langsung bangun dan marah. "Kurang ajar! Berani-beraninya menggangguku! Siapa kau! Akan kucari sekarang!" Aul kemudian menggeram. Langkah-langkahnya tergesa.

Aul tiba-tiba bergumam. "Memang salahku juga sih, tidur di atas pohon di sekitar tempat sampah. Tapi kan, aku di mana lagi tinggal?"

Aul langsung turun, menuju tepi sungai di belakang pohon kersen—untuk mencari yang telah mengganggunya. Di seberang sungai, tampak seorang manusia sedang tekun memancing.

Aul kembali bergumam. "Tepergok! Menjelang Magrib begini masih liar di sungai." Manusia ini dilemparinya dengan batu untuk membalas. Aul lalu tertawa.

Pemancing spontan memalingkan muka ke arah suara. Namun yang tampak hanya gundukan sampah yang belum diangkut. Kemudian setelah beberapa jenak, bicara sendiri, "Kukira, ini paling juga hanya suara dari lamunanku." Pemancing ini lalu abai, meneruskan aktivitasnya. Tetapi hanya dalam hitungan kurang dari menit, suara tertawa kembali terdengar dan lebih keras.

Kali ini pemancing ini berdiri. Pandangan matanya berkeliling ke seluruh tepi sungai dan bukit-bukit sampah yang remang. Pemancing lalu meyakinkan diri, tidak ada apa-apa. "Tanggung, dua ikan lagi. Hari juga belum terlalu gelap," bisiknya dalam hati. Lalu, kembali tekun memancing.

Aul yang merasa disepelekan menjadi marah. Di pinggir sungai langsung menampakkan diri, kembali tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha ha ha."

Pemancing langsung mengangkat muka. Langsung terkaget karena di seberang sungai tertampak makhluk menyeramkan, semua tubuhnya berbulu hitam kemerahan, juga bertaring.

Pemancing langsung berlari terbirit-birit, meninggalkan semua alat pancingnya. Aul kembali tertawa-tawa."Ha ha ha ha."

Namun beberapa saat kemudian, terdengar suara balasan tawa terbahak-bahak. Aul menjadi penasaran. "Ini, siapa lagi yang berani padaku?" tanyanya pada diri sendiri.

Saat Aul menoleh ke belakang, Serigala Cahya masih terpingkal-pingkal. Aul pun mendekati Serigala Cahya, langkah-langkah kakinya mendebum.

"Apa maksudmu menertawakanku?"

"Ya lucu, manusia pemancing itu tidak punya dosa padamu. Kau begitu saja menuduhnya telah membangunkanmu. Kau lempari batu."

"Aku tidak salah kan membalasnya melempari batu? Memang manusia pemancing itu yang pertama cari gara-gara, membangunkanku, melempari batu."

"Ha ha ha ha. Kau tahu siapa sebenarnya yang melakukannya?"

"Kau?"

"Ya.. "

Aul menjadi marah. Matanya melotot merah. Kedua tangannya bersiap mencakar.

"Tenang-tenang. Tidak sepatutnya sebangsa kita saling bertengkar apalagi baku hantam. Sesama bangsa kita harus harmonis. Siapa lagi kan kalau bukan kita? Lebih baik kita ke kota yuk, jalan-jalan melihat keramaian?"

Aul mendadak luluh. Memang selama ini belum pernah pergi ke kota. Kesehariannya dulu hanya di hutan.

"Mau ikut ke kota, tidak?" Serigala Cahya mengulangi mengajak.

Aul bimbang. "Tubuhku kan menyeramkan. Bau juga karena jarang mandi. Aku minder kalau main ke kota."

"Kita mandi dulu sekarang.. Kita bersihkan badan, aku punya sabun bekas dari tempat sampah. Juga kita akan memakai harum-haruman, ya aku juga punya sebotol parfum meskipun isinya tinggal seperempat."

"Kau rajin, serigala pemulung. Oh iya lupa, kita kan bisa berubah bentuk menjadi lelaki tampan. Bolehlah kita ke kota. Kita siap-siap dulu. Aku akan menunggu di sini, menunggumu membawa perlengkapan mandi."

Saat hari gelap, keduanya tiba di bagian sungai yang terdalam. Aullah yang pertama kali memasukan lengannya. "Wow dingin juga ya air."

"Iya bener. Dingin mengenai kulit. Kita memang baru kali ini mandi. Ya namanya juga bangsa kita." Serigala Cahya menyahut.

"Kita kampungan ya.. Ha ha ha ha." Aul tertawa keras, berakibat tiga ekor yuyu sungai yang sedang lelap terbangun, lalu berlarian di batu-batu tepi sungai. Ada salah seekornya yang tercebur, terbawa arus air—Aul menertawakannya.

"Hei Aul, kau tidak boleh menertawakan makhluk ciptaan Tuhan. Bagaimana kalau yuyu-yuyu itu dendam? Misal ada salah seekornya yang nekat, masuk ke telingamu, kan bahaya."

"Oh iya betul, maaf-maaf."

Lalu kata Serigala Cahya, "Kini nikmati mandi sambil bermain berenang."

Byuuur. Serigala Cahya yang pertama kali terjun, diikuti Aul. Keduanya langsung menyelam. Keduanya terpesona oleh keadaan dalam air. Beberapa ikan khas sungai ini sedang bersender di tepi sungai yang berupa batu cadas, sebagian ikan sedang berenang-renang. Aul tergoda ingin menangkapnya untuk dijadikan makanan.

Serigala Cahya menegur, "Itu bukan makanan kita. Makanan kita kan sisa-sisa makanan di tempat sampah."

"Iya bener. Mereka ikan-ikan, makanan manusia, seperti tadi manusia pemancing yang berlari terbirit-birit."

Keduanya bersenang-senang. Beberapa saat di dalam air, beberapa saat di permukaan air.

Hingga waktu pun terus beranjak. Serigala Cahya mengajak, "Sudah ya berenangnya, kita mandi memakai sabun, juga keramas," Aul menuruti.

Serigala Cahya membuka kantong keresek hitam berisi potongan sabun yang sudah tipis dan kecil, juga membuka botol sampo.

Aul langsung meraih sabun sisa, Serigala Cahya meraih sampo, lalu mengguyurkan ke kepalanya.

"Seumur-umurku, baru sekarang mandi. Aku baru tahu, ternyata air itu segar."Aul berkata seraya menyabuni seluruh tubuhnya.

Dengan setangkup dari kesepuluh jari tangan, Aul mulai mengguyurkan air ke kepalanya yang telah dilumuri sampo. Busa sampo dari mulanya sedikit menjadi bertambah banyak. Lalu, "Aw perih! Mataku perih. Gimana caranya supaya perih hilang?" Aul berteriak seraya memejamkan mata.

"Coba guyur dengan air yang banyak." Saran Serigala Cahya, dan diikuti Serigala Cahya.

Saat Aul membuka mata, secara berangsur, perih pun hilang. Keduanya terus bergembira ria mandi sambil bermain.

Lalu, Serigala Cahya berkata, "Mandinya sudah ya, jangan lama-lama. Kita kan mau ke kota, ya esok atau lusa kita mandi lagi di sini."

Keduanya lalu berhenti, merapikan seluruh bulu di tubuh dan rambut untuk bersiap ke kota.

**