webnovel

Menerima Wesel

Kabut masih melingkupi kampung, ketika Mang Oben yang ketua rukun tetangga (RT) datang—membawakan secarik kertas wesel untuk Mang Cahya, kiriman dari Icah anaknya yang bekerja di Jakarta.

Pak RT menawari tumpangan motor untuk mencairkan uang ke kantor pos giro. Mang Cahya menyambut dengan gembira, langsung saja bersiap dengan mengambil pakaian yang bergantung di dinding bilik. Sandal yang dikenakan pun belum sempat dicuci.

Keduanya berangkat, melintasi jalanan kampung tanah berbatu—sebagian jalannya malah tanah saja. Bila sedang hujan seperti sekarang, licin tak kepalang. Motor bergoyang-goyang saat melaju. Di beberapa titik ruas jalan, kedua kaki ketua RT berkali-kali menapak agar terjaga keseimbangan berkendara.

Ya, di sepanjang jalan ini, dalam hitungan seminggu, ada saja motor yang jatuh bergelimpang.

Keduanya kemudian melewati pinggir beberapa petak sawah, sebagian baru ditanam, sebagian lagi sudah tinggi tanaman padinya, dan sebagian lagi sudah siap tuai.

Kebun-kebun, pun dilewati. Sawah-sawah, juga dilewati. Bervariasi.

Di kampung tempat Cahya tinggal dan kampung-kampung tetangga, rumah-rumah berjauhan. Di beberapa ruas jalan, satu deretan rumah kurang dari belasan, bahkan ada yang masih sehitungan jari.

Keduanya kini mulai memasuki jalan yang di kiri-kanannya hutan—yang memang harus dilewati bila akan pergi ke kota kecamatan. Jejeran pohon pinus, lalu jejeran jati, tertampak sunyi.

Satu bukit hutan di mana sebatang pohon jati besar terdiam—tempat seorang manusia pernah diterkam harimau, juga dilewati. Suasananya kaku meskipun pagi hari.

Motor terus dilajukan ketua RT.

Di satu ruas jalan lain, tampak kendaraan-kendaraan berat milik proyek pembuatan waduk berlalu lalang, buldozer, stoomwalls, backoe, atau truk-truk bersumbu dua. Kali ini kendaran-kendaran berat itu akan digunakan untuk membangun surge tank, tangki penampung air.

Di satu tikungan, di telinga Mang Cahya tiba-tiba mendengung kata 'berwisata' yang dikatakan Icah dulu sebelum berangkat ke Jakarta.

Kata Icah, bila sudah mendapat uang, ayah-ibunya agar berwisata ke kota kecil kecamatan, Pangalengan, Bandung. Di mana terdapat Situ Cisanti, sebagai Hulu Sungai Citarum. Tempat itu juga dikenal sebagai petilasan Dipati Ukur, salah seorang pengikut setia seorang raja Pajajaran.

Berwisata, sebagai hal yang sangat jarang Mang Cahya dan istrinya lakukan. Bahkan juga penduduk kampung ini.

Keseharian pasutri ini itu-itu saja. Melihat warna hijau dedaunan di hutan, kebun, sawah, rerumputan. Atau melihat warna coklat tanah. Atau juga melihat warna-warna lainnya pada hewan seperti ular, ayam, domba, bebek, itik, atau hewan buas seperti kalajengking, bahkan sesekali hewan hutan, babi berbulu hitam. Tapi, Mang Cahya tak pernah langsung melihat macan tutul atau harimau. Mang Cahya juga belum pernah mengunjungi kebun binatang Bandung.

Mang Cahya benar-benar orang gunung. Tetapi satu yang pasti, Mang Cahya bisa menghitung uang di luar kepala, tanpa mencatat—ya, asal jangan uang yang sangat banyak, atau rincian yang rumit saja.

**

Tiba di kantor pos, keadaan sedang penuh orang. Orang-orang lebih banyak yang berkepentingan seperti dirinya: hendak mengambil kiriman dari anaknya, atau dari istrinya yang bekerja di kota-kota besar atau luar negeri.

Giliran Mang Cahya, dilayani seorang Bapak pegawai pos yang langsung meminta KTP. Pegawai ini membaca dengan teliti tulisan-tulisan yang tertera di KTP milik Mang Cahya, juga mengamati berkali-kali foto kecil wajah Mang Cahya. Pegawai pos ingin benar-benar yakin bahwa ini benar Mang Cahya, agar tidak salah memberikan uang—seperti yang pernah terjadi, yang mengakibatkan insiden.

Pegawai pos lalu memberikan sejumlah uang pada Mang Cahya, dan diterima dengan tersenyum, wajah berseri. Sebagai ucapan terima kasih, disodorkanlah selembar uang. Namun pegawai pos dengan halus menolaknya. "Terima kasih. Untuk Bapak saja. Ini kewajibanku sebagai petugas."

Lalu Mang Cahya bersama Pak RT bersiap berangkat pulang kembali. Mang Cahya teringat pesan istrinya tadi, agar dibelikan dua kerudung warna coklat dan hitam di pasar Rajamandala, yang tak jauh dari kantor pos, hanya sekitar 300 meter.

Setelah melewati satu pertigaan jalan raya, keduanya sudah sampai di pasar. Mang Cahya kesulitan memilihkannya. Akhirnya, dipilihkan Pak RT.

"Ada lagi yang lain? Mumpung ke sini. Kapan lagi kan?" Pak RT bertanya.

"Sudah saja, ini pilihan Pak RT bagus. Nanti lagi, bersama istri belanja."

**

Mang Cahya dengan Pak RT akhirnya tiba pula di kampung.

Saat dua kerudung itu diperlihatkan, istrinya gembira, merasa puas. "Ini kainnya bagus. Coraknya juga."

Hidung Mang Cahya mengembang.

Keduanya lalu merencanakan persiapan untuk berwisata.

"Apa yang akan kita bawa?" Istrinya yang memulai bertanya.

"Pangalengan kan dekat. Bisa bolak-balik. Cukup membawa nasi timbel komplit, air minum secukupnya. Ya, tidak usah bawa bekal pakaian."

"Kita ke sana pakai apa?"

"Kan biasa pakai colt pick up punya Mang Oben. Ajak saja tetangga."

"Ya tunggu beberapa saat lagi."

Mang Cahya lalu sendirian pergi ke tetangga-tetangga, mengajak untuk berwisata, yang mau saja dan urunan. Total yang ikut sebanyak sepuluh orang. Mang Cahya bersyukur karena ini berarti bisa lebih ringan biaya menyewa colt pick up.

Lalu sorenya, Mang Cahya mencari Mang Oben. Keduanya nego cepat, setuju dengan harga sewa. Kebetulan juga mobil sedang ada di tempat.

**