Tumpukan kayu bakar di pinggir dapur rumah Mang Cahya sudah rendah, sekitar setinggi lutut, hanya cukup untuk memasak sekitar dua kali lagi. Seperti kemarin, Mang Cahya bersama istrinya menangguhkan mencari kayu bakar pergi ke hutan. Padahal biasanya, setiap tiga hari sekali, saat subuh pun sudah bersiap pergi.
Pagi itu keduanya sudah cukup lama memandang titik-titik air yang jatuh di sekitar—dengan duduk-duduk di amben depan—yang terbuat dari belahan-belahan bambu yang tak panjang. Dua gelas berisi panas air kopi mengepul. Kopinya ditumbuk sendiri, dari kopi yang ditanam di sela-sela tegakan hutan pinus—yang ada kalanya bila sedang beruntung, mendapatkan biji-biji kopi luwak yang terserak di tanah, atau bergelimpangan di atas rerumputan.
Istri Mang Cahya mulai bicara. "Bagaimana besok kita memasak? Di mana-mana, kayu-kayu sedang basah. Bila mendadak mendapatkannya, kan harus dijemur dulu beberapa kali. Itupun kalau ada sinar matahari. Kecuali tumpukan kayu-kayu bakar di sana di pinggir jalan proyek pembuatan waduk, ya sudah terjemur. Lalu, apakah kita akan membeli minyak tanah saja?"
"Membeli saja. Ya, bagaimana lagi. Kita sekali-kalilah menanak nasi dengan api dari kompor minyak tanah. Meskipun kita harus keluar uang."
"Tapi, jangan setiap hari membeli karena kita tidak punya banyak uang. Lagipula, aku sudah terbiasa makan nasi dari tungku kayu bakar karena rasanya lebih pulen, lebih nikmat."
Keduanya lalu saling memandang.
Sudah sekitar satu bulanan, hujan melanda kampung di bukit cukup terpencil yang Cahya tinggali. Tetapi rerumputan di sekitar rumah, di kebun-kebun, malah berseri manja karena cepat tumbuh juga cepat besar. Namun, rerumputan itu yang sebagian besarnya gulma, dilingkupi rasa was-was. Takut karena sewaktu-waktu, arit Mang Cahya akan menebasnya untuk pakan kambing yang dua ekor, jantan dan betina.
Sebulan yang lalu, Icah anak dari pasangan suami-istri ini, yang sudah gadis dan bekerja sebagai penata rumah tangga di Jakarta, mengirim wesel. Uang itu oleh Mang Cahya dibelikan sepasang kambing berikut mendadak dibuatkan kandang.
Kandang sepasang kambingnya seperti rumah panggung mini, agar saat hujan, lantainya yang tanah tak becek atau pun tergenang air—ular pun tak masuk. Ah, bila tidak begitu, bisa mati kambing karena kedinginan atau sampai dipatuk ular.
Kandang itu cukup terbuka, berdinding papan, dibuat carang—agar sirkulasi udara lancar. Di bagian depan kandang, ada wadah panjang dari papan-papan sebagai tempat gundukkan rumput— kepala kambing akan nongol bila sedang makan.
"Kang, kambing-kambing kita belum beranak. Kalau sudah beranak dan cukup besar, kita bisa menjual satu ekor saja untuk membeli banyak minyak tanah, untuk satu bulan memasak."
"Kenapa kau sudah bicara menjualnya? Bukankah lebih baik kambing dibiarkan bertambah banyak? Lagi pula kita kan nanti akan pindah dari sini."
"Iya kang."
"Eh, sudah tahu belum? Pembuatan Waduk Saguling memakan korban lagi?" Mang Cahya tiba-tiba mengalihkan tema pembicaraan.
"Korban apa?"
"Ada manusia diterkam hewan buas, harimau."
"Ooh.. Ngeri. Kasihan sekali. Bagaimana ceritanya dan apa penyebabnya?"
"Kabarnya, manusia yang diterkam harimau itu sering menyakiti hati istrinya. Ya ini juga katanya, harimau itu tahu hati manusia. Entahlah."
"Sudah ah, aku tidak mau membahas lebih jauh. Lagi pula konon, kalau membicarakan harimau, harimaunya suka datang."
"Ya, bagi yang percaya. Aku ceritakan saja ya, ini untuk pengetahuanmu juga. "
"Baiklah, aku akan mendengarkan."
Saat itu untuk salah satu kelengkapan kontruksi proyek Waduk Saguling, dibuat terowongan inspeksi aliran air di bawah bukit Batu Aki di sebelah barat—yang nantinya akan menjadi penghubung di ujung timur ke ujung barat.
Saat mengawali pengerjaan, pihak proyek bendungan menggunakan backoe. Namun karena rentan uruk, selain backoe, juga digunakan peralatan manual seperti cangkul, sekop, juga linggis. Yang bekerja saat itu mencapai belasan orang.
Ketika itu hari sudah sore, waktu untuk pulang. Entahlah, ada empat orang, tiga orang pribumi, seorang lagi tamu dari kota lain yang merasa tanggung untuk pulang.
Secara berangsur, kendaraan-kendaraan antarjemput proyek Waduk Saguling sudah tak lagi hilir mudik. Demikian pula motor-motor petugas proyek, sudah tidak terlihat lagi yang berseliweran.
Keempatnya pada akhirnya menginap di tepi hutan, beralaskan terpal di atas rerumputan. Tepat di atas bukit, yang di bawahnya sedang dibangun terowongan inspeksi itu.
Di pinggir hutan jati, malam pun tiba. Semakin bergerak malam, langit tentu akan semakin kelam. Pekat. Sepi.
Mereka berempat tidak mau berada terus dalam kegelapan malam saat berada di hutan. Salah seorangnya bergegas mengambil reranting, dahan bekas proyek—di pinggir jalan—untuk kayu bakar—hingga didapatlah pula, bercampur yang basah dan cukup kering.
Lalu orang ini mencari rimbunan perdu pisang, dan tak jauh letaknya. Daun-daun keringnya dipotong dengan pisau. Perlu beberapa tegakan perdu pisang untuk mendapatkan segundukan daun pisang kering.
Mulailah korek api dinyalakan, membakar daun pisang paling kering. Daun pisang gampang menyala dan gampang habis menjadi abu. Tak mau mubazir, gegaslah reranting dan dedahanan ditaruhnya di atas tumpukan nyala daun-daun pisang kering.
Reranting dan dedahanan tidak langsung menyala, tetapi menjadi kering dahulu. Di tanah, ada rembesan air—sebagai buangan. Api dari daun-daun pisang yang tak henti menyala, akhirnya menimbulkan sedikit bara api. Bara-bara api dari beberapa ranting dan dahan bersatu, hingga menjadi percikan api, lalu menjadi api besar. Orang ini, menambah lagi tumpukan reranting dan dahan. Hingga menjadilah api unggun. Mereka berempat mengelilingi api—cukup mengusir hawa dingin.
Malam terus beranjak, malam makin adem. Mereka langsung tidur hanya berselimut sarung—memang mereka tadi seharian telah capai bekerja kasar.
Tidak diduga, di bukit sebelah selatan bertumbuhan jati, ada yang berkilat-kilat dari sepasang mata harimau. Sebetulnya, harimau ini sedari tadi telah memperhatikan keempat orang itu, dari mulai mengumpulkan daun-daun kering pisang, ranting, dahan hingga api menyala.
Ya, harimau sedang mengincar salah satu dari empat orang itu—yang berhati busuk.
Ketika beberapa bintang di langit tertutup awan, keadaan sekitar pun menjadi gelap, harimau ini mulai menuruni bukit. Berjalan pelahan-lahan, begitu berhati-hati—hingga dedaunan kering pun tak bersuara saat diinjak.
Di satu titik jalan setapak, di bawah pohon mahoni, hewan buas ini berhenti dahulu. Sorot mata tajamnya kembali berkeliling hendak memastikan apakah aman atau tidak, tidak ada manusia lain lagi selain keempat manusia itu.
Dirasa aman, harimau pun terus mendekat, dengan tetap berjalan pelahan-lahan. Keempat orang tampak telah tertidur pulas, berbantalkan lengan kiri atau kanan. Mereka sengaja tidur rapat, nyaris bersentuhan tubuh, untuk mengurangi dingin—tidak masuk angin. Sementara hewan buas itu, semakin saja mendekat.
Kemudian..
Grep! Cakar-cakar yang setajam silet baru dari harimau besar ini menembus betis pria yang tidur paling kiri. Meraunglah pria malang ini. Yang ketiga orang lagi mendadak terbangun. Namun, hanya bisa terkesima, lalu spontan terbirit-birit lari—meskipun dalam keadaan gelap—lari ke bawah menuju jalan. Sedangkan korban, yang sudah terpaku terkesima seraya menahan sakit di kedua betisnya, saat mencoba bangun bangkit, lehernya digigit harimau. Darah pun bercucur, mengenai baju, bercak-bercak percikannya pun menempel di seluruh baju.
Harimau besar ini kemudian menggusur manusia malang ini. Dibawa ke hutan. Entah ke sebelah mana. Suara, "Tolong, tolong" berkali-kali terdengar di kegelapan malam—hingga tak terdengar lagi.
**
Pagi-pagi ramai orang-orang berkumpul. Istri korban pun datang. Belasan orang mencari, ke segenap penjuru hutan.
Selama berhari-hari, pencarian dilakukan.
Aneh. Jasad korban pun tak ditemukan. Istri korban meraung.
"Takut Kang." Istri Mang Cahya bergidik.
"Itu sudah nasib almarhum. Hanya, aku menyayangkan, mengapa mereka nekat, begitu berani tidur di tepi hutan."
Istri Mang Cahya tiba-tiba teringat sesuatu, segera ke dapur. Nasi sudah matang rupanya. Lalu istri Mang Cahya menggoreng tempe, membuat sambal dan mencuci lalapan.
Usai makan, Mang Cahya kembali bercerita.
Saat itu sore baru saja pergi, senja akan tiba, sebagai siklus keseharian. Seorang kepala bagian proyek bersama salah seorang stafnya ada tugas dinas sore, dengan bermobil hendak mengontrol keberadaan alat-alat berat di satu tempat.
Keduanya menembus jalan tepi hutan yang sepi. Ya di mana pun hutan, keberadaannya sepi.
Pada kilometer-kilometer pertama yang dilewati, terhampar hutan karet yang luas, yang tampak gelap.
Luruhan daun-daun kering karet berserakan sampai di tengah jalan, sebagiannya menumpuk di sisi jalan. Saat ada angin bertiup, berterbanganlah daun-daun itu, menjadi berpindah tempat. Demikian pula saat mobil yang keduanya tumpangi lewat, daun-daun itu berhamburan.
Setelah melewati satu sungai kecil, jalan menanjak tajam. Di sini, jangan terlambat mengoper gigi persneling karena mesin bisa mati.
Beberapa tikungan pun terlewati, juga satu pertigaan yang dikenal angker.
Di satu jalan yang lurus, malam baru tiba. Di kejauhan, tampak sepasang mata yang bersinar. Keduanya mendadak berpikir keras, apakah akan berputar arah atau maju terus.
Staf yang menyopir yang penduduk setempat memilih meneruskan perjalanan. "Tanggung Pak, semoga akan baik-baik saja," katanya. "Lagi pula, lokasi yang hendak dituju tinggal setengah perjalanan lagi."
Kendaraan yang ditumpangi terus melaju. Sepasang mata bersinar itu tak juga pergi. Semakin dekat, jelaslah pemilik dua mata itu.
"Harimau besar!" Kepala bagian berteriak. "Tutup erat-erat kedua jendela." Gegas dirinya dan sopir menutupnya.
Harimau itu tetap diam saja berdiri di tengah jalan, gagah perkasa, tak ada takut bila ditabrak. Harimau itu duduk dengan kaki belakang ditekuk. Santai.
"Bagaimana Pak. Harimau itu diam saja, tak mau pergi."
"Terus saja, di sebelah kanan atau kiri jalan, masih ada celah, kita bisa lewat," Kepala Bagian menjawab.
Sopir menuruti kehendak bossnya. Keduanya gemetar. Saat hendak melewatinya, pandangan harimau itu terus tertuju secara bergantian kepada kedua orang ini. Tapi, tak berusaha untuk menerkam.
Harimau ini pun bisa dilewati. Kedua orang ini bersyukur karena tak terjadi apa pun.
Setelah agak jauh, keduanya bisa kembali tenang. Langsung menyalakan rokok.
Proses pembuatan waduk yang salah satunya hendak menenggelamkan beberapa petak hutan, rupanya dianggap mengganggu oleh keluarga harimau. Iya, hutan memang rumah hewan. Tapi hewan tetaplah hewan, yang hidupnya bisa diatur manusia. Seperti petak-petak hutan sebagai rumah hewan-hewan yang akan ditenggelamkan sebagai bagian dari waduk.
"Untung saja harimau itu tak mengamuk." Istri Mang Cahya kembali bicara.
"Kan tadi juga apa kataku. Kedua orang itu kiranya berhati baik."
**
Hujan pun berhenti pagi ini. Matahari belum tinggi. Mang Cahya dan istri memaksakan pergi ke hutan mencari kayu bakar. Ke satu petak hutan, bertumbuhan jati, yang sekitar 1-2 tahun lagi akan digenangi air. Menjadi bagian dari Waduk Saguling.
Tanah jalan setapak licin. Keduanya bersepatu karet pendek. Mang Cahya berwarna hitam, istrinya berwarna putih. Di alas sepatu itu ada benjolan-benjolan, seperti sepatu sepakbola. Sepatu ini membuat rekat ketika berjalan di tanah licin atau becek—mengurangi resiko tergelincir.
Rumput grinting di jalan setapak sedang tumbuh tinggi—terlebih lagi saat ini sedang musim hujan. Dedaunannya kerap kali menyentuh keempat betis dari pasangan suami-istri ini. Ah rumput grinting yang kuat, di musim kemarau pun tetap bisa tumbuh, hidup. Sementara di titik-titik lain di jalan setapak, rumput teki, juga nimbrung tumbuh subur.
Setelah melewati pohon asam, jalan setapak agak kering. Mang Cahya melihat jejak kaki babi hutan, ada delapan bekas jari kaki menembus tanah, bekas ujung-ujung kuku jari kaki. Bekas jejak-jejak kaki di tanah itu kemudian hilang, ya karena babi hutan kemudian melangkah di atas rumput-rumput.
Mang Cahya sudah bisa membedakan jejak-jejak kaki hewan di hutan. Selain melihat sendiri, juga dulu Bapak dan Ibunya memberi tahu ciri-cirinya—seperti apa jejak kaki babi hutan, jejak kaki rusa, atau pun jejak kaki macan tutul bahkan bekas jejak kaki harimau.
Mang Cahya dan istrinya terus saja melangkah. Namun dengan lebih berjaga-jaga. Bila sampai diseruduk babi hutan, tentu akan berakibat fatal.
Pandangan mata dari pasangan suami-istri ini lebih awas, memandang sejauh kemampuan mata. Juga selalu melihat rerumputan—pakan babi hutan, juga rumah babi hutan. Babi hutan pintar mengelabui. Bila gundukkan rumput itu datar berarti masih ada babi hutannya, namun bila gundukan rumput menggelembung berarti sudah kosong.
Di satu jalan setapak, Mang Cahya dan istrinya berhenti sejenak, ada banyak reranting dan banyak dahan agak kering jati tergeletak di tanah. Cahya memotong-motong ranting-ranting dan dahan-dahan yang masih panjang dengan golok. Potongan-potongan pun bergelimpangan. Istri Mang Cahya memungut satu per satu, menatanya dengan rapi di atas hamparan kain samping lusuh. Lalu, kayu bakar bersama kain samping dililitkan di punggung istri Mang Cahya.
Keduanya lalu merasa sudah cukup mendapatkan kayu bakar, memutuskan pulang, memotong jalan, menuju jalan setapak yang menurun.
Kali ini keduanya menemukan bekas jejak macan tutul. Jejak kakinya berupa empat ujung-ujung jari terlihat lembut membulat di beberapa titik tanah basah. Namun, keduanya tetap tenang.
"Yang terkena terkaman, ya itu sudah nasibnya," Mang Cahya membesarkan diri.
Keduanya lalu mempercepat berjalan.
Hingga tiba di rumah.
**
Hari-hari ini adalah 1-2 tahun terakhir pasutri ini tinggal di rumahnya. Nanti, setelah daerah ini yang juga berikut rumah-rumah digenang, penghuninya akan pindah ke daerah lain. Mang Cahya, juga keluarga-keluarga lain diberi opsi, transmigrasi, pindah ke kabupaten lain atau ke desa terdekat yang tidak tergenang. Mang Cahya awalnya ingin pindah ke kabupaten lain, mencari kehidupan baru, misalnya berjualan menjadi tukang kridit barang, tidak seperti sekarang menjadi petani.
"Kang, kukira kau tak ada bakat untuk berjualan kridit seperti sebagian orang dari beberapa kota. Akang kan hanya berbakat bertani."
"Sebentar. Kenapa orang dari kota-kota tersebut dijuluki suka berjualan kredit?"
"Iya kan? Panci, ketel, yang kita kridit kan dari orang kota itu?"
"Iya tapi tidak semuanya. Maksudnya, bila ada tukang kridit, kebanyakan orangnya dari kota tersebut."
Istri Mang Cahya kukuh memilih tinggal di desa lain yang tidak ditenggelamkan karena leluhurnya pun tinggal di sini. "Belum tentu bila kita tinggal di tempat lain yang jauh bisa makan."
Keduanya tak meneruskan pembicaraan.
Pada pukul 8 malam, di kampung tempat Mang Cahya tinggal, keadaan sudah sepi. Mang Cahya dan istrinya tak pula memiliki televisi. Satu-satunya radio transistor di dalam lemari, sedang rusak. Bisa menyala pun, jarang. Keduanya hanya bisa membeli batu batere bila sudah panen palawija.
Lampu-lampu di rumah ini hanya dua buah. Di teras depan dan ruang tengah. Cahaya dari ruang tengah menyamarkan ke bagian dapur. Sedangkan kamar tidur dibiarkan tetap gelap.
Saat musim penghujan, ketika radio tak bisa menyala, hiburan pasutri ini adalah lampu-lampu yang hanya 5 watt itu dan juga laron-laron yang mulai berdatangan di musim penghujan ini.
Telah ada puluhan laron yang mengelilingi lampu depan dan lampu tengah. Laron-laron terus bertambah menjadi ratusan hingga susah untuk dihitung. Beberapanya kemudian berjatuhan. Sebagian berlepas dua sayap, sebagian lagi berlepas satu sayap. Satu laron menimpa wajah Mang Cahya.
"Ini pertanda apa ya, kejatuhan laron?"
Istrinya tertawa ngakak. "Itu mah bukan pertanda apa-apa. Yang begitu saja dibesar-besarkan."
"Eh, siapa tahu."
Laron-laron itu semakin malam semakin banyak berjatuhan di lantai papan, di depan mata Mang Cahya dan istri. Sebagian lagi di tanah di halaman depan; tak lama kemudian, banyak yang mati karena sesak terkena lumpur tanah.
Sepasang suami istri ini cukup terhibur memandang kejatuhan laron-laron—dapat sejenak menjadi terlupa bahwa keduanya nanti akan berpindah tempat tinggal.
Mang Cahya mendadak berfilsafat tentang laron-laron.
"Umur laron tak lama, hanya semalam—walaupun masih ada beberapanya yang sampai esok pagi atau sampai sore hari masih bisa hidup. Kita manusia berumur panjang. Manfaatkanlah dengan banyak berbuat kebajikan."
**
Pagi itu, Mang Cahya dan istri kembali mendengar berita tentang hewan dan manusia. Tapi kali ini bukan tentang harimau, tetapi macan tutul.
Tersebutlah nama Mang Oben, Pak RT, penggemar ayam hutan. Ya, katanya rasa dagingnya lebih enak dibandingkan dengan rasa daging ayam kampung.
Konon kata Mang Oben, di satu petak hutan yang akan ditenggelamkan—diairi menjadi waduk—banyak ayam hutan beranak-pinak. Ya mumpung. Mumpung.
Mang Oben yang berumur 40-an hari itu pergi ke satu petak hutan. Bertopi bekas satu instansi, menenteng senapan angin. Di jalan setapak, matanya liar ke rerumputan. Mencari sesuatu yang bergerak-gerak.
Di bawah pohon jati, di semak-semak, didapatinya sesuatu yang bergerak-gerak. Terlihat olehnya beberapa helai bulu yang berwarna-warni, berwarna merah, putih, hitam. Tidak salah lagi, ayam hutan.
Mang Oben langsung melesatkan peluru dari senapan anginnya. Mungkin karena sedang letih, meleset, hanya mengenai batang bawah pohon jati. Terbanglah ayam hutan itu.
Mang Oben mengeluh. Dicarinya lagi.
Saat berjalan di jalan setapak, di atas bukit—tidak jauh—di antara semak belukar hutan, terlihat kembali ada sesuatu yang bergerak-gerak. Mang Oben samar-samar melihat bulu-bulu berwarna kuning bercampur hitam. Mang Oben kaget dan yakin, itu macan tutul!
Blingsatanlah Mang Oben, lari menerobos semak belukar ke arah bawah.
Tiba di tepi jalan, langsung menslag motornya. Ngebut. Selamat.
**