Chapter 4
Seminggu telah berlalu sejak aku datang ke Jepang dan tinggal di rumah om Hiro yang merupakan sahabat kedua orang tuaku yang telah pergi berbulan madu untuk selamanya, tidak akan pernah kembali lagi ke rumah.
Kemajuan bahasa Jepang aku juga sudah mulai ada kemajuan walaupun masih belum lancar tapi aku sudah mengerti dan mengobrol dengan orang lain menggunakan bahasa Jepang.
Aku memang memiliki kemampuan untuk cepat mempelajari sesuatu. Aku anggap itu adalah anugerah dari Tuhan yang diberikan padaku.
Tulisan Jepang juga sudah aku kuasai tapi itu baru hiragana dan Katakana saja, huruf kanji belum sepenuhnya aku kuasai. Huruf kanji sangat susah dipelajari untuk aku.
Aku menjalani hari-hari di sekolah Saitama dengan lancar tanpa ada halangan lagi karena aku sudah menguasai bahasa Jepang.
Aku tidak perlu khawatir lagi dengan ancaman tertinggalnya pelajaran akibat kendala bahasa.
Selama seminggu tersebut itu juga aku sudah menghafal semua nama teman kelasku dan aku bisa ikut gabung obrolan dengan mereka.
Selain itu juga sejak pertandingan Sendai seminggu yang lalu, aku sudah dikenal banyak orang bahkan sampai ada juga siswi yang menyatakan cinta padaku.
Siswa perempuan yang menyatakan cinta padaku. Aku tahu dia lumayan populer karena masuk 10 besar siswa perempuan tercantik di sekolah Saitama. Selain itu Siswa perempuan itu lebih tua setahun dari aku karena dia berada kelas 2-1.
Siswa perempuan itu mengatakan kalau dia tertarik padaku saat tidak sengaja melihat aku sedang tanding dengan kapten klub basket dan saat itu dia langsung menyukai aku.
Aku merasa penjelasannya itu terlihat sama dengan yang terjadi dalam anime-anime yang pernah aku tonton. Apakah sejak aku tinggal di Jepang maka kehidupan aku akan sama seperti anime romantis?.
Namun, aku menolak perasaannya, bukan karena aku jual mahal ataupun sombong.
Namun cinta harus diterima oleh kedua belah pihak bukan sepihak karena bila seperti itu pasti akan membuat sakit orang menyukai kita dan akhirnya kecil kemungkinan berakhir bahagia.
'Lebih baik mengatakan dari awal kalau tidak suka daripada saat ditengah jalan bilangnya karena itu lebih menyakitkan'
Aku mendapatkan kata bijak itu karena teringat nasihat dari ibuku.
Aku tidak memiliki perasaan padanya sehingga aku mengatakan lebih awal padanya tentang hal tersebut.
Aku melihatnya siswa perempuan tersebut kecewa dan menangis namun setelah itu dia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mengatakan padanya secara langsung di awal.
Sejak saat itu, saat kami berpapasan, siswa perempuan itu menyapa aku dengan santai, tidak terlihat kalau dia memusuhi aku.
Aku pun senang melihatnya dan menyapa balik padanya.
Selama seminggu itu juga aku belum menemukan sebuah klub yang pas untuk aku masuki.
Setelah usai jam sekolah pun aku bermaksud untuk berkeliling lagi untuk melihat-lihat klub yang ada di sekolah ini.
Aku berpikir kalau tidak ketemu juga aku berpikir untuk masuk ke dalam klub anime.
Aku terus berkeliling sekolah dan memasuki berbagai ruangan yang dijadikan base untuk klub yang ada di sekolah ini.
Namun tidak ada klub yang menurutku seru untuk di ikuti, sampai aku memasuki ruang musik yang mana klub choir sedang berlatih.
Aku berpikir klub choir ini lumayan menarik karena mereka menyanyikan lagu populer baik Jepang maupun barat dengan bentuk choir.
Namun sangat disayangkan aku tidak bisa masuk karena klub choir hanya menerima anggota siswa perempuan saja. Padahal aku mulai tertarik untuk masuk klub tersebut.
Aku pun memutuskan untuk beristirahat di atap sekolah sambil melihat senja matahari yang akan turun di ujung cakrawala.
Saat sampai di lantai paling atas, baru membuka setengah pintu atap sekolah, aku langsung mendengar suara alunan gitar akustik yang bagus untuk di dengar.
Aku langsung membuka secara penuh namun tidak ada yang orang disana, sehingga aku langsung berdiri di pinggir atap sekolah yang ada pagar besi tinggi, melihat arah lapangan yang mana klub baseball dan sepakbola sedang berlatih. Namun saat itu aku mendengar suara alunan gitar akustik lagi.
Aku langsung merinding dan memutuskan untuk pergi dari tempat tersebut karena takut, namun baru saja aku ingin masuk. Namun ternyata rasa penasaran mengalahkan rasa takut aku sehingga aku memutuskan untuk mencarinya sumber suara tersebut.
Setelah mencari ke sana ke sini akhirnya aku menemukan sumber suara tersebut ternyata ada di dinding belakang pintu atap sekolah.
"Saika-san?"
Orang yang aku panggil saika langsung menghentikan permainan gitarnya dan melihat ke aku.
"Aira-san, sedang apa kamu disini?"
"Itu juga yang mau aku tanyakan padamu, apa yang kamu lakukan di tempat ini sendirian?"
"Oh.. itu aku menghabiskan waktu menunggu Mio-chan dengan bermain gitar akustik disini"
"Ohhh....boleh aku duduk"
"Ya silahkan"
Aku langsung duduk di sampingnya dan ini pertama kalinya aku mengobrol dengannya berdua saja.
Saika adalah orang yang duduk di depanku di kelas dan jarang mengobrol, kami saling bercakap saat ada keperluan saja, selain itu dia juga terlalu sibuk untuk mengobrol denganku karena selalu bersama dengan si Mio Sakurada.
"Aku tadi mendengar permainan gitarmu, sangat bagus, apa kamu sering bermain gitar disini?"
Saika menganggukkan kepalanya singkat lalu memainkan gitarnya lagi dan aku mendengarkan sambil menatap pemandangan kota Saitama dengan awan berwarna oranye.
Beberapa saat kemudian dia menyelesaikan permainannya dan aku bertepuk tangan. Saika terlihat malu saat aku melakukan hal tersebut.
"Tadi lagu apa yang kamu mainkan, terdengar bagus"
"Ini bukan sebuah lagu tapi instrumental yang aku ciptakan sendiri"
"Eeeeeeee? kamu bisa membuat seperti itu? Sungguh hebat"
"Hehehe...ini hanya biasa saja, kamu terlalu memuji aku"
"Tapi benar-benar bagus, apalagi kamu yang membuatnya, itu pantas untuk mendapatkan pujian"
"Hehehe, terima kasih, apakah kamu bisa bermain gitar, Aira?"
"Bila hanya memainkannya saja aku masih bisa"
Saika langsung memberikan gitarnya padaku dan aku menerimanya dengan senang hati.
"Kalau gitu mainkan sebuah lagu, terserah lagu apa aja, lagu dari negaramu juga boleh, aku ingin lihat permainan gitarmu"
"Oke, jangan ketawa ya"
"Tidak akan, kalau ada yang lucu, mungkin aku tidak bisa menahannya, hehehe"
Aku hanya tersenyum, lalu langsung memetik senar gitar tersebut sehingga menimbulkan nada lagu yang ceria.
Aku memainkan lagu yang ceria dari Indonesia. Walaupun lagu itu tentang percintaan. Lagu Indonesia memang banyak tentang percintaan.
Saika mendengarnya dan lalu menepuk tangan sehingga menimbulkan nada yang tepat dengan nada gitarku. Setelah selesai, dia pun menepuk tangannya dengan senang.
"Walaupun aku tidak mengerti, tapi lagunya terdengar menyenangkan dan permainan gitarmu sangat hebat"
"Hahaha.. jangan terlalu memuji aku, nanti kepala ku jadi besar karena kamu puji"
"Hahaha...jadi Dr Slum"
"Dr Slum??"
"Oh kamu tidak tahu ya, itu anime yang salah satu charakternya memiliki kepala besar tapi bertumbuh pendek"
"Ohhhh ... hahahaha"
Tiba-tiba terjadi keheningan di antara kami karena tidak ada pembicaraan lagi.
Kami hanya menatap awan yang semakin lama berubah menjadi gelap. Beberapa saat kemudian aku dan dia pun untuk turun kebawah karena sekolah akan ditutup.
Selain itu orang yang ditunggu oleh Saika juga sudah selesai dengan kegiatan klubnya.
Kami langsung masuk ke dalam gedung sekolah namun sebelum turun, Saika masuk ke dalam ruangan yang ada di depan pintu atap sekolah. Aku baru menyadari kalau ada ruangan di tempat tersebut.
Aku berpikir apakah itu adalah ruangan klubnya, yakni klub musik. Sampai sekarang aku belum tahu letak klub musik berada.
Saat Saika membuka pintu ruangan tersebut begitu banyak barang-barang dan kardus di tempat tersebut bahkan ruangannya juga kotor karena debu..
"Saika-san, ruangan apa ini?"
"Ini adalah gudang sekolah"
"Kenapa kamu masuk ke tempat ini?"
"Itu untuk menaruh gitar ini di sarungnya yang berada di gudang ini"
"Ehh... itu Gitar bukan punyamu"
"Tentu saja bukan, aku menemukannya di tempat ini"
"Ohhh... tunggu dulu, kamu bukan anggota klub musik?"
"Tentu saja bukan, aku belum masuk klub manapun sampai saat ini"
Aku terkejut mendengarnya karena dia belum masuk ke klub manapun. Padahal ini sudah 2 bulan sejak awal tahun ajaran baru Jepang yang dimulai bulan April dan dia belum masuk klub manapun.
Kenapa dia tidak masuk klub musik? Padahal dia bisa bermain gitar dengan bagus sehingga, pasti bisa diterima dengan mudah.
"kenapa kamu berpikir aku adalah anggota klub musik?"
"Ah tidak..aku melihat kamu bermain gitar sehingga aku berpikir kamu adalah anggota klub musik yang sedang melakukan latihan sendirian di atap sekolah"
"Oh... gitu...ya seperti yang aku katakan sebelumnya, aku belum bergabung dengan klub manapun sampai sekarang"
Aku melihat Saika memasukan gitar tersebut dalam sarungnya berwarna hitam dan menutup sarung tersebut, lalu keluar ruangan tersebut dan menuruni tangga bersama dengan aku.
"Jadi kenapa kamu tidak bergabung dan dengan klub musik"
"Eh? kamu tidak tahu ya kalau klub musik di sekolah kita ini telah dibubarkan oleh ketua dewan siswa sejak awal ajaran baru dimulai karena tidak ada regenerasi lagi, anggotanya adalah kelas tiga semua saat ini dan mereka sudah sibuk dengan persiapan ujian masuk universitas jadi tidak ada waktu lagi untuk bermain musik, saat itu aku telah mendaftar tapi saat mengetahui telah dibubarkan tidak jadi dan sampai sekarang belum bergabung dengan klub manapun"
Aku hanya menganggukkan kepalaku sebagai tanda mengerti.
"Oh ya dan gudang sekolah yang tadi kita masuki adalah bekas klub musik tapi karena sudah dibubarkan sehingga dijadikan gudang"
Tidak terasa kami berdua sudah sampai di lantai dasar. Saika langsung mengambil arah kanan untuk ketempat klub yang diikuti oleh Sakurada. Dia melambaikan tangannya dan aku juga melambaikan tanganku.
Langit sudah berganti gelap dan bulan sudah muncul di langit menggantikan matahari yang menyinari malam hari.
Aku sedang mencuci piring kotor setelah selesai makan malam. Tante Miyuki terus mengatakan kalau hal itu tidak perlu dilakukan oleh aku.
Namun aku tetap memaksa melakukannya karena aku tidak mau bermalas-malasan. Aku sudah diberikan tempat tinggal bahkan sekolah ku disini dibiayai oleh mereka, jadi aku harus tahu diri.
Setelah selesai mencuci piring kotor dan menempatkan di rak piring, aku bertanya pada tante Miyuki apakah masih ada yang perlu aku lakukan lagi di dapur.
"Terima kasih, tidak ada lagi yang perlu kamu lakukan disini, sisanya serahkan saja pada aku, kamu bisa bergabung dengan yang lainnya di depan TV"
Aku menganggukkan kepala ku dan langsung menuju ke tempat TV berada. Saat itu aku melihat om Hiro sedang membaca sebuah majalah yang tidak aku tahu majalah apa itu.
Sedangkan Mia sedang bermain game bola basket. Saat Mia melihat aku, dia langsung mengajak aku untuk ikut bermain.
"Ar-niichan, ayo sini, main game sama Mia"
Aku langsung duduk disampingnya dan mengambil stick game tersebut. Mia langsung keluar dalam permainan solonya dan berganti menjadi permainan multiplayer.
"Ar-niichan, pilih tim apa??"
Aku terus mencari tim yang ada dalam game tersebut sambil melihat statistik tiap tim sampai akhir aku memilih tim Chicago Bulls karena melihat statistiknya lumayan. Sedangkan Mia memiliki tim Lakers.
"Siap-siap kalah ya, Ar-niichan"
"Ha-ha-ha.. jangan terlalu berharap banyak, nanti kamu akan menyesal"
Pertandingan di dalam game tersebut langsung dimulai dan aku menggerakkan analog dan menekan tombol yang ada dalam stick tersebut.
Aku tidak menyangka kalau Mia terlalu bagus dalam permainan ini karena serangan ku dipatahkannya terus menerus sampai shooting ku juga dipatahkannya. Namun aku juga tidak membiarkan dia mendapatkan points.
Beberapa menit kemudian akhirnya pertandingan selesai dengan hasil akhirnya 120 untuk aku dan 119 untuk Mia. Hasilnya sangat tipis.
"Yeee...aku menang..."
"Ahhhh... Ar-niichan curang, seharusnya tadi pelanggaran"
"Tapi wasit tidak menganggap itu pelanggaran, jadi bukan pelanggaran"
"Itu curang, Ar-niichan pasti sudah bekerjasama dengan wasitnya"
Aku yang mendengar itu hanya tertawa saja. Bagaimana bisa aku bekerjasama dengan wasit yang ada dalam sebuah game permainan.
"Ayo main lagi, kali ini pasti, Mia yang akan menang"
"Iya...iya..."
Kami berdua pun memainkan lagi permainan tersebut. Aku tetap memakai tim yang sama sedangkan Mia telah berganti tim terus menerus saat dia kalah.
Bahkan saat berganti game jenis FPS, Mia tetap kalah dari aku. Kami bermain sampai jam setengah 2 dan sudah saatnya beristirahat karena besok masih akan berangkat ke sekolah.
Keesokan harinya aku bangun terlalu pagi seperti biasa, yakni jam setengah 6. Aku tidak mengubah alarm di smartphone itu.
Aku langsung keluar rumah dengan memakai kaos polos putih, celana panjang training dan sepatu lari karena aku akan melakukan lari joging.
Lari joging tidak terlalu membebani kaki kananku karena aku bisa berjalan dengan santai saat kaki mulai terasa sakit dan saat hilang sakitnya aku bisa lari lagi dengan pelan. Ini adalah rutinitas setiap pagi.
Ayahku pernah mengatakan selagi kamu masih bisa menggerakkan tubuh sebanyak mungkin jangan pernah bermalas-malasan, gerakan tubuhmu karena tidak ada jaminan kamu akan bisa menggerakkan tubuhmu lagi.
Itu yang selalu dikatakan oleh ayahku saat aku hanya bermalas-malasan di rumah bahkan di hari libur pun aku hanya menghabiskan waktu di tempat tidur. Sampai ayahku menarik aku untuk keluar rumah.
Aku lari joging sejauh 2 km karena menurutku itu sudah cukup untuk berolahraga di pagi hari.
Saat kembali ke rumah aku melihat Tante Miyuki sudah beraktivitas di dapur menyiapkan makanan.
Aku segera membantunya setelah membersihkan diri dengan cuci muka dan mengelap keringat di tubuhku.
Setelah hidangan sarapan selesai, aku membangunkan Mia sampai dia bangun, lalu masuk ke dalam kamarku untuk memakai seragam sekolahku. Setelah selesai aku langsung turun untuk menikmati sarapan pagi.
Saat sampai di bawah, aku melihat om Hiro telah duduk di kursi meja makan dengan pakaian kantornya. Dia terlihat sedang membaca koran.
Om Hiro adalah seorang dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit terkenal di Tokyo.
Sebelum bekerja di tempat itu, om Hiro bekerja di WHO PBB sebagai dokter relawan dari Jepang yang terjun ke berbagai negara untuk membantu kesehatan di negara tersebut.
Saat berada di salah satu negara di benua Afrika om Hiro bertemu dengan kedua orang tua aku yang memang juga bekerja sebagai Dokter dan mendaftar sebagai relawan palang merah internasional dari Indonesia.
Sejak pertemuan tersebut, ayahku sering berdebat dengan om Hiro tentang penanganan medis yang dianggap om Hiro penanganan medis ayahnya terlalu beresiko dan ibuku sebagai penengah. Namun pada akhirnya semuanya berakhir dengan baik.
Sejak sering terjadi konflik tersebut, ayahku dan Om Hiro menjadi dekat sampai aku lahir pun om Hiro datang ke rumah untuk merayakan kelahiran ku, saat itu dia sudah menikah dengan tante Miyuki.
Aku bisa mengetahui cerita itu karena ibuku bercerita tentang hal tersebut padaku dan aku juga melihat foto aku saat masih bayi, om Hiro dan tante Miyuki ada dalam foto tersebut yang mana tante Miyuki sedang menggendong aku.
"Pagi om Hiro"
"Oh.. pagi Aira"
Aku langsung duduk di kursi meja makan dan menyantap hidangan sarapan pagi tersebut. Beberapa saat kemudian Mia datang dan menyantap sarapan bersama.
Setelah beberapa menit kemudian aku, Mia dan om Hiro selesai sarapan dan langsung pergi keluar rumah.
Aku berpisah dengan Mia saat di halte bus. Saat berada di perjalanan menuju ke sekolah, ada orang yang memanggil aku dari belakang sehingga aku berhenti dan membalikkan badanku ke belakang.
"Aira-san, Ohayo"
"Ohayo, Saika-san dan Sakurada-san"
Kami bertiga pun kembali melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah dengan posisi berjejer. Saika berada di posisi tengah.
Selama dalam perjalanan itu Saika melihat aku terus menerus dan itu membuat aku merasa canggung. Bagaimana tidak canggung, ada cewek cantik dan imut memandangi aku terus.
"A-apa ada sesuatu di wajahku, Saika-san?"
"Ehhh...maaf... tapi aku lihat mimik wajah mu seperti orang kelelahan"
"Iyakah? apakah masih terlihat seperti itu? Padahal aku sudah mencuci muka dengan air dingin berkali-kali untuk menghilangkannya"
"Emang apa yang kamu lakukan kemarin malam sampai seperti itu?"
"Itu..aku bergadang"
Ya..aku memang bergadang kemarin malam karena Mia terus mengajak aku bermain game sampai jam setengah 2 malam dan setelah itu aku tidak bisa tidur sampai jam 3.
Kalau saja alarm hp tidak aku dekatkan di samping kanan kepala ku maka pasti aku akan telat bangun.
"Bergadang kenapa? Belajar?"
"Tidak...aku bermain game"
Saat itu aku melihat raut muka Sakurada berubah seperti menatap rendah aku. Saika juga tidak bertanya lagi. Kami bertiga berjalan menuju ke sekolah dengan tenang.
Beberapa jam kemudian setelah kami sampai di sekolah, bel berbunyi dan Sato sensei masuk dengan membawa beberapa buku. Setelah berdiri di podium dia menatap kami semua.
"Akhirnya, kamu datang juga Kudo-san setelah sekian lama, tidak sia-sia aku datang ke rumah kamu setiap hari untuk membujuk kamu datang ke sekolah"
Orang yang disebut oleh Sato sensei berada di sebelah kananku dan ini adalah pertama kalinya aku melihat dia di kelas.
Aku kira dia adalah murid baru. Si Kudo itu pun mengacuhkan Sato sensei dengan memasang posisi tidur di mejanya.
"Hei..jangan datang untuk tidur, tegapkan tubuh kamu"
Namun Kudo masih dalam posisi tidur, sehingga sensei langsung datang dan menegakkan tubuh Kudo dengan paksa.
"Nah ini baru benar, anak muda jangan lemah"
Sato sensei langsung kembali ke podium namun aku melihat kalau si Kudo masih saja tidur walaupun tubuhnya sudah tegak.
Pelajaran berlangsung dengan lancar, walaupun si Kudo diperingati oleh setiap sensei yang mengajar di kelas ini, namun saat pertanyaan yang diajukan oleh sensei, semuanya dijawab dengan mudah oleh Kudo.
Bahkan dia melakukan koreksi pada penjelasan sensei yang membuat sensei tersebut untuk membiarkan Kudo tetap tidur. Aku berpikir kalau Kudo adalah siswa yang pintar.
Hari ini aku juga belum mendapatkan klub yang ingin aku bergabung dan tidak tahu harus melakukan apa di sekolah karena jam sekolah sudah selesai. Aku pun memutuskan untuk pulang lebih awal.
Saat aku berjalan melewati area pasar, aku melihat ada sekelompok pria dewasa berjumlah 4 orang sedang mengelilingi satu orang remaja dan bocah yang mungkin masih berumur 5 tahun berdiri di belakang remaja itu.
Orang-orang yang ada di sekitarnya terlihat tidak ingin membantu, mereka hanya menatap keributan tersebut dari jauh bahkan ada yang mengambil video dari smartphonenya.
Aku yang penasaran langsung mendekati mereka dan melihat ternyata remaja itu adalah Kudo.
"Hei bocah, kamu harus bertanggung jawab karena sudah menabrak kakiku dengan membayar biaya pengobatan sebesar 100 ribu yen" ujar salah satu pria dewasa tersebut.
"Nii-chan, Akio takut"
"Tenang, Akio-chan, biar nii-chan yang tangani ini, tidak usah takut"
"Hei.. jangan mengacuhkan kami!!" Ujar pria lainnya.
Si Kudo pun langsung menatap pria tersebut.
"Kalian jangan bercanda, dia tidak mungkin terluka parah, masa ditabrak anak kecil langsung patah, lemah sekali kakinya, apa kakinya terbuat dari kaca? Bahkan kaca aja tidak mudah pecah bila bersenggolan dengan anak kecil ini"
"Apa kau bilang! kamu ingin mati!!!"
Orang tersebut langsung mengarahkan tinjunya ke arah Kudo yang berbalik sambil melindungi anak kecil tersebut.
Sebelum sampai mengenai Kudo, aku menghentikan tinju tersebut dengan telapak tangan kanan ku walaupun itu sedikit terasa sakit.
Sebenarnya aku ingin menjadi pahlawan dengan menghentikan pukulan tersebut tapi ternyata sangat menyangkitkan.
"Maaf, ojisan-ojisan, bisakah ini diselesaikan dengan baik-baik tanpa ada kekerasa? disini ada anak kecil, tidak baik memperlihatkan kekerasan padanya"
"Siapa kamu, jangan ikut campur!!!"
"Ehhh...saya adalah teman kelasnya"
"Ohhh... Karena kamu adalah temannya, kalau gitu kamu harus memberikan uang biaya pengobatan 100 ribu yen, karena kaki teman kami patah setelah ditabrak bocah itu!"
"Eeeeeeee... ojisan pasti bercanda, apakah anak kecil ini anaknya Superman sampai bisa membuat kaki teman ojisan patah, kalau mau nipu yang pinter sedikit dong"
"Hahhhh!? kamu banyak omong, mau kasih atau tidak? kalau tidak, kami akan mengambil uang mu dengan paksa"
"Oh ayolah, tidak bisakah kita selesaikan dengan cara baik-baik?"
Salah satu pria itu pun langsung melancarkan pukulan ke arah wajahku dan aku langsung mengalihkan arah pukulan tersebut lalu dengan pergelangan tangan aku, lalu mengambil tendangan lutut ke arah perut pria tersebut yang langsung tersungkur kebawah sambil memegang perutnya.
Setidaknya aku bisa Ilmu beladiri yakni winchun walaupun tidak terlalu mahir karena aku berhenti tiga bulan setelah mendaftar karena merasa bosan.
Temannya terlihat kaget dan terlihat marah saat melihat pria tersebut tersungkur kebawah sambil menahan sakit di perutnya.
Mereka bertiga langsung melakukan serangan ke arahku secara bersamaan namun aku dapat menghindarinya dan melakukan serangan balik sampai mereka tidak bisa bergerak lagi karena kesakitan.
Beberapa saat kemudian polisi patroli datang dan menangkap empat pria tersebut setelah aku dan beberapa warga menjelaskan persoalan pada polisi tersebut.
"Terima kasih,..."
"Aira Syahputra, aku orang yang duduk di samping kiri kamu di kelas"
"Ohhh.. sekali lagi saya ucapkan terima kasih Syahputra"
"Kamu dapat memanggil aku dengan Aira saja, aku tidak memiliki nama keluarga dan Syahputra itu bukan nama keluarga, hanya sekedar nama panjang aku saja"
Kudo hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti.
"Nah Akio-chan, ucapkan terima kasih juga pada onii-san ini"
"Terima kasih, onii-san"
Aku langsung merendahkan tubuhku sejajar dengannya.
"Sama-sama, kamu mau lollipop?"
Aku mengeluarkan permen lollipop dari saku celana aku dan Kudo kecil melihat ke arah kakaknya sebelum mengambil lolipop dari tanganku.
Kudo besar itu menganggukkan kepalanya dan Kudo kecil itu langsung mengambil permen lollipop tersebut dengan senang. Aku langsung berdiri lagi.
"Kenapa kamu ada disini, Aira-san?"
"Ohh.. itu aku bermaksud untuk pulang dan melewati tempat ini untuk membeli sesuatu untuk makan malam, kalau kamu?"
"Aku baru saja menjemput adik ku di tempat penitipan anak setelah pulang sekolah"
"Ohhh... apakah rumah mu di daerah ini"
"Ya.. rumahku berada tidak jauh dari sini"
Aku mengangguk-anggukan kepalaku dan saat itu juga aku kami berpisah karena Kudo ingin segera pulang dan aku juga harus membeli beberapa bahan makanan untuk makan malam.
Hari ini tante Miyuki pergi ke ke kota Shizuoka yang berada di prefektur Shizuoka karena ada pekerjaan dari kantornya di tempat itu sehingga dia tidak pulang hari ini, begitu juga dengan om Hiro yang pergi ke Kyoto karena dia menjadi pembicara dalam sebuah seminar kesehatan di kota tersebut.
Karena itu hari ini di rumah hanya ada aku dan Mia sehingga aku ingin membuat makanan yang akan kami santap saat makan malam.