webnovel

Tidak Mengenal Satu Sama Lain

Iksan dan Hana menginap selama beberapa hari dirumah Rio. Rumah itu kembali terasa penuh dan ramai, setelah sebelumnya Rio hanya tinggal berempat dengan ibu dan kedua keponakannya. Sedangkan kakaknya tinggal diluar kota untuk bekerja.

Rumah Rio tak bisa dibilang cukup besar karena hanya ada dua kamar tidur, satu ruang tamu, kamar mandi yang digunakan bersama, dan satu dapur. Laki laki itu tak pandai dalam hal kebersihan, sehingga ia tidak dapat membantu ibunya untuk membersihkan rumah. Alhasil, rumahnya selalu terlihat berantakan. Padahal tidak banyak hal yang perlu dirapikan jika saja mau dikerjakan. Selama ada Hana disana, rumah itu kembali tersusun rapi dan bersih, tapi tak butuh waktu lama untuk kembali berantakan. Hanya satu hari, setelah Hana dan Iksan pergi.

Masih terngiang dikuping Rio, saat Iksan membisikkan kata kata yang menganggunya sebelum laki laki itu pergi dari rumah.

"Penawaran gue akan berlaku selamanya, sampe lo mau Ri. Gue akan terus neror lo sampe lo ikut gabung sama tim gue" Ucap Iksan saat itu.

Rio hanya menganggap itu semua candaan, meski Iksan berkali kali membujuknya. Rio bukan tidak ingin keluar dari Zona nyamannya saat ini. Tapi memikirkan seluruh tanggung jawab yang harus ia emban membuatnya sendiri takut, bahwa apa yang dia pertaruhkan tidak akan sama dengan apa yang ia dapatkan nantinya. Meski yakin bisa, Rio hanya ragu jika ada hal yang akan membuat hubungan yang sudah terjalin selama ini menjadi rusak karena hubungan pekerjaan.

Hari itu, senin yang dingin.

Cuaca sedang tak menentu, tidak seperti biasanya cuaca terasa sangat dingin hingga membuat Rio bergidik saat baru saja keluar dari rumah. Ia segera berlari membanting pintu dan meraih jaketnya yang tergantung dibalik pintu kamar. Tak lama ia mengeluarkan sepeda motor dari ruang tamu, lalu mencoba memanaskan mesin motor sebelum menggunakannya. Saat tiba ditempat ia bekerja, Rio berlarian masuk karena sudah hampir terlambat datang. Ia mengganti bajunya dengan seragam yang disediakan, dan mulai bekerja. Hari itu terasa lelah, senin memang selalu menjadi hari yang pantas jika dijuluki menjadi hari tersibuk. Saat semangat setiap orang masih berada di titik penuh. Seperti yang Rio rasakan hari ini.

Namun sebanyak apapun energi Rio, ia akan tetap merasa terlalu lelah. Bekerja selama dua belas jam dan hampir lima tahun membuatnya kehilangan banyak waktu tanpa terasa. Itu juga membuatnya terjebak pada zona nyaman yang ia tidak sadari.

"Ri, lagi apa?" Baca Rio saat pesan masuk kedalam ponselnya.

Pesan dari Naomi membuat letihnya hilang sedikit, terlebih saat melihat Naomi mengirimkan beberapa foto hanya untuk menunjukkan tempat Naomi bekerja.

"Apa yang kamu cari Nao?" Pikir Rio.

Pertanyaan itu tiba tiba terlintas dibenak Rio, saat mencoba memahami Naomi ia justru mencoba kembali bertanya pada dirinya sendiri.

Kehidupan seperti apa yang selalu kita inginkan?

Ingin menjadi seperti apa?

Hidup menjadi apa dan siapa?"

Atau bagaimana menjalani hidup?

Pertanyaan pertanyaan itu terus menembaki pikiran Rio, pertanyaan yang sebelumnya hanya tertuju pada Naomi kini berbalik menyerangnya tanpa alasan. Saat itu, tiba tiba Rio mengingat masa ia sekolah dulu. Saat ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa dibebani tanggung jawab yang sedang ia emban saat ini. Tanggung jawab sebagai seorang yang sudah dewasa.

"Kenapa harus jadi orang lain saat lo punya bakat untuk jadi seperti apa yang lo mau"

Ucapan Iksan beberapa waktu lalu menyadarkan dirinya, bahwa selama ini ia hanya terkurung dalam ketidakpercayadirian. Bahwa selama ini, pikirannya hanya terbatas pada kemampuan yang tidak pernah ia uji. Selama ini, ia hanya menduga duga ketidakmampuannya dan mencoba berlari dari kenyataan bahwa ia punya jalan lain. Selama bertahun tahun ia berkutat dalam ketakutan gagal, daripada mempertaruhkan kemampuannya untuk melangkah satu langkah maju, bahwa sejauh ini, ia berpikir tidak penting menjadi dirinya sendiri asal dapat bertanggung jawab pada beban yang seharusnya tidak menjadi tanggungannya.

Tidak penting keinginannya untuk menjadi seperti apa, padahal ia merasa tidak nyaman melakukan hal hal yang terus menekannya. Yang akhirnya semua itu membuatnya terus terkurung didalam rasa aman yang semu. Yang tidak akan membantunya mencari tau kehidupan seperti apa yang dia inginkan. Rio mencoba untuk menjernihkan pikirannya, sesekali ia menarik nafas dalam saat memikirkan kembali apa yang akan dia lakukan. Dengan penuh keraguan ia meraih ponselnya diatas meja lalu menghubungi Iksan.

"Mas, tawaran lo masih berlaku kan? Kayaknya gue siap gabung sama tim lo" Ucap Rio saat panggilannya tersambung.

Tindakan impulsif Rio tidak menjelaskan apapun, saat ini Rio hanya merasakan ada sesuatu yang memenuhi dadanya dan seperti akan meledak. Dan setelah menghubungi Iksan, ada perasaan lega. Seperti lepas dari sesuatu yang selama ini membelenggunya dalam rasa aman yang semu.

*****

"Aku mau mengundurkan diri" Ucap Rio ditelpon.

Dilayar ponsel Naomi terpampang jelas wajahnya sendiri, sedangkan wajah Rio ada dikotak kecil bagian bawah. Naomi sengaja memperbesar wajahnya saat melakukan panggilan video daripada harus terlihat jelek dilayar Rio. Ia sedikit menaikkan alisnya saat mendenger Rio tiba tiba mengatakan hal yang sebelumnya tidak pernah Naomi pikirkan akan keluar dari mulut pria itu.

Naomi tau, selelah atau seletih apapun Rio bekerja ia bukan tipe orang yang akan keluar dari pekerjaannya tanpa menimbang nimbangnya lebih dahulu. Terlebih Naomi juga tau bahwa tanggung jawab Rio sebagai satu satunya laki laki dalam keluarga sangat besar dan tidak bisa disampingkan.

"Serius?" Tanya Naomi penasaran.

Disana Rio menggangguk dengan penuh keyakinan.

"Kenapa?" Tanya Naomi lagi.

"Pengen aja" Jawabnya asal.

"Pengen ajaaaaaaaaaa?" Gerutu Naomi.

Rio terkekeh, ia kemudian menunjukkan laptopnya yang sedang memutar musik tak dikenal.

"Aku mau jadi editor game, ditempat mas Iksan kerja. Kemarin dia nawarin aku" Jelas Rio.

Naomi hanya diam saat mendengar penjelasan Rio, ia masih perlu waktu untuk mencerna semua yang dia dengar dari Rio.

"Kamu ga setuju?" Tanya Rio balik.

Naomi mengangkat bahunya, merasa tidak nyaman dengan isi percakapannya, ia segera menyudahi panggilan video itu. Beberapa kali Naomi mencoba untuk kembali fokus belajar tentang apa yang diajarkan Naya hari ini, namun ia gagal. Pikirannya selalu tertuju pada keputusan Rio. Penasaran dengan itu, tak butuh waktu lama untuk Naomi menghubungi Iksan secara langsung.

"Han, Rio bakal gabung kerja sama Mas Iksan?" Tanya Naomi tanpa basa basi saat panggilannya tersambung.

"Iya, baru hari ini dia ngabarin mas Iksan" Jawab Hana.

Naomi sejenak terdiam, merasa ragu.

"Biarin aja Nao, selama ini kamu ngelakuin semua yang kamu mau sesuka hati kamu tanpa mikirin perasaan dia. Kali ini, ijinin dia buat ngelakuin apa yang dia mau" Ucap Hana memecah keheningan.

"aku khawatir Han, khawatir kalau nanti Rio malah gegabah ambil keputusan" Naomi mengungkapkan rasa khawatirnya.

"Ga ada yang salah saat seseorang ambil keputusan untuk jadi dirinya dan untuk memenuhi keinginannya. Jangan khawatir" Hana mencoba menenangkan hati Naomi.

Naomi menutup telpon dengan perasaan yang masih gelisah, ditatapnya pemandangan kota malam itu. Ia memangku kedua tangannya diatas meja, dan memandang jauh.

"Apa yang kamu cari?" Pikir Naomi.

Naomi seperti tidak mengenal Rio saat ini. Rio yang selama ini ia kenal tidak pernah seberani ini untuk mempertaruhkan apa yang dia punya. Naomi tau, beban dan tanggung jawab Rio begitu besar sampai laki laki itu terbelenggu pada situasi yang tidak nyaman meski telah bertahun tahun. Rio bukan orang yang dapat mengambil tindakan secara impulsif, apalagi jika hal itu terkait dengan kehidupan jangka panjangnya. Namun, Naomi tidak dapat menyembunyikan perasaan senangnya. Saat tau Rio ingin keluar dari siatuasi yang melelahkan bagi Rio.

"Yang penting, kamu bergerak satu langkah maju dari sebelumnya" Gumam Naomi.