webnovel

Chapter 11

POV : Lidya

Calvin tidak berbohong. Kuliah sambil kerja itu memang capek. Banget.

Saking capeknya, meskipun tempat tinggalku itu jelek banget, aku selalu mendambakan kasurku tempatku tidur. Meskipun tidak bagus, setidaknya di sanalah aku benar-benar bisa beristirahat. Pekerjaanku di siang hari ternyata cukup menguras tenagaku, meskipun itu hanyalah kedok supaya aku dikira manusia biasa. Untuk yang ini, aku tidak menyalahkan Jai. Memang aku yang ingin mencari pekerjaan di siang hari. Sebenarnya aku bisa saja tidak melakukan apa-apa dan hanya menunggu dana dari Jai, tapi aku tidak ingin terlalu banyak diam. Aku harus bergerak dan melakukan sesuatu. Mencari pekerjaan layaknya orang-orang pada umumnya adalah salah satu yang bisa kulakukan untuk menghabiskan waktu.

Hari itu, seharusnya aku kuliah jam delapan. Aku sudah berada di tempat tinggalku, memutuskan untuk istirahat sebentar sebelum harus naik ojek ke kampus. Ponselku sudah berdering entah berapa kali karena teman-teman yang lain sedang chattingan di grup, tapi aku tidak terlalu membacanya. Inti dari pembicaraan mereka adalah, kami semua harus menggunakan topeng untuk acara Halloween nanti.

Setelah mendekati jam delapan, aku pun berangkat ke kampus. Aku langsung naik ke kelasku dan tidak berusaha mencari teman-teman yang lain, karena aku tahu saat ini mereka juga sedang ada kelas sendiri. Saat aku sudah berada di lantai dua, aku melihat sosok seorang cowok familiar yang berpakaian serba hitam. Sudah bukan hal yang aneh aku melihat cowok-cowok seperti itu di kampus, karena, seperti yang sudah pernah kusebutkan, mereka adalah orang-orang kiriman Jai untuk mengawasiku. Yang membuat situasi terlihat aneh hari itu adalah, orang itu tidak terlihat sedang mengawasiku, tetapi sedang memiliki pekerjaan lain. 

"Heh," aku memanggilnya tanpa sopan santun sedikitpun. "Ngapain lo?"

Cowok itu tampak kaget melihatku dan melihat sekeliling. "Lo nggak takut dilihat yang lain?"

Dasar bodoh. Tentu saja aku sudah lihat-lihat sebelum mengajaknya berbicara. Aku kan tidak mau ada yang melihat aku berbicara dengan orang aneh dan menimbulkan kecurigaan yang tidak perlu.

"Gue nggak bego," jawabku ketus. "Lo ngapain di sini?" tanyaku lagi.

Cowok itu tidak menjawab pertanyaanku. "Bukan urusan lo."

"Bukan urusan gue?" protesku berang. "Eh, ini kampus tempat gue kuliah. Jelas itu urusan gue."

"Nggak perlu diingatin kan, kalo lo di sini bukan untuk kuliah?" tukas cowok itu pedas. "Tugas lo itu buat ngehancurin target kita, sesuai perintah Bos. Dan sejauh ini, lo belum melakukan satu hal pun yang berarti buat tugas lo itu."

Aku langsung bungkam mendengar itu berhubung kata-katanya memang benar. "Udah gue bilang," ucapku sambil berusaha terdengar sekeras mungkin, "gue tahu apa yang gue lakuin. Gue nggak perlu kalian mengacau di sini."

"Dan seperti yang udah pernah gue bilang, gue di sini ada karena perintah Bos. Kalau lo emang sehebat yang lo bilang, tunjukin hasilnya ke dia, biar nggak ada yang harus ngawasin lo kayak anak kecil lagi."

Ok, cukup sudah. Aku kehilangan kesabaranku dan berusaha menyerang orang itu, namun dia dengan mudahnya menahan tanganku dan mendorongku hingga badanku menghantam dinding. Sial, karena lagi emosi, aku lupa cowok ini lebih kuat dariku.

"Denger ini baik-baik. Selama ini Bos udah cukup bersabar. Sebaiknya lo lakuin apapun rencana lo secepat mungkin, atau tidak, nggak ada yang tahu apa yang bakal terjadi," ancamnya dengan suara dingin.

"Lepasin gue," geramku.

Cowok itu terdiam sebentar sebelum melepaskanku, kemudian pergi tanpa berkata apa-apa.

Sial, sepertinya Jai mulai kehilangan kesabarannya. Dia sudah mengirim salah satu orang kepercayaannya ke kampus ini, bukan untuk mengawasiku dan entah untuk apa. Meskipun tidak ingin mengakuinya, ucapan cowok itu benar. Sebaiknya aku mendapatkan hasil yang dapat aku tunjukkan pada Jai sesegera mungkin. Kalau tidak, tidak ada yang bisa menjamin orang gila itu tidak akan melakukan hal yang ekstrim.

Di saat aku masih penuh dengan pikiranku sendiri, seseorang memanggilku dari belakang.

"Lidya?"

Aku menoleh dan mendapati Calvin sedang menatapku. Di belakangnya, ada juga Kei, Queenie, dan Lisa yang memandangku dengan rasa ingin tahu.

"Siapa itu?" tanya Calvin sambil mendekatiku.

"Oh, itu…" aku memutar otakku. "Bukan siapa-siapa."

"Yakin?"

"Iya." Tampaknya Calvin tidak bakal puas dengan jawaban sependek itu. "Dia tadi mau minta nomorku, tapi aku nggak kasih. Habisnya, orangnya agak serem gitu."

Tampang Calvin agak sedikit aneh saat mendengarnya. "Oh, begitu." Dia terdiam sebentar. "Lain kali, kalau kamu udah ada di kampus, langsung telpon aku ya."

"Hah?" Aku terkejut. "Untuk apa?"

"Buat nemenin kamu. Soalnya gini-gini kampus ini banyak orang aneh."

Ok, gara-gara ucapanku sendiri, sepertinya aku malah menciptakan masalah yang tidak perlu.

Atau ini sebenarnya malah kesempatan?

"Oke." Aku akhirnya mengangguk.

***

Seperti yang teman-teman Calvin rencanakan sebelumnya, mereka berkumpul di hari Sabtu itu untuk mencari topeng yang bisa digunakan untuk acara Halloween Night. Bisa kurasakan mereka cukup excited mengenai malam itu, karena menurut pengakuan Calvin, sebelumnya mereka tidak pernah keluar bersama seperti ini. Paling-paling mereka cuma nongkrong di cafe Brandon sampai malam. Yah, semuanya excited kecuali King dan Calvin. Aku tidak terlalu mengerti alasan King menentang acara itu. Katanya sih karena dia tidak ingin berurusan dengan objek dari perayaan acara itu, yaitu hantu-hantuan dan sejenisnya, tapi aku cukup tahu bahwa dia tidak takut dengan hantu. Selama ini dia sering menyebut-nyebut soal hantu hanya untuk menakuti adik kembarnya. Aku lebih tidak mengerti lagi alasan kenapa dia repot-repot menjadi panitia dari acara yang dia tentang, hanya untuk mengomel-ngomel setelahnya.

Berbeda dengan King, alasan yang dikemukakan Calvin lebih masuk akal. Dia menentang penggunaan topeng di malam itu, karena, mengutip perkataannya, bisa saja ada oknum yang membuat kekacauan acara itu, seperti mencopet atau sejenisnya. Dengan wajah yang ditutupi topeng,mudah saja bagi pelaku untuk bersembunyi dalam keramaian. Awalnya aku tidak begitu memikirkan kemungkinan itu, tapi sedetik kemudian aku baru menyadari bahwa hal itu mungkin saja terjadi.

"Udah ah, Vin. Lo lagi laper kali, makanya asal ngomong," kata Kei. "Ayo, sini, olahraga dulu sama gue."

Calvin mendelik pada Kei saat mendengarnya. "Eh, orang lapar tuh dimana-mana harusnya makan, bukannya disuruh olahraga."

Kei mendecak. "Maksudnya, biar lo bisa mengalihkan perhatian lo, gitu. Lagian kalian juga aneh, bukannya hari ini rencananya mau belanja topeng? Kenapa jadi ngumpul di gym begini?"

Ya, sebenarnya aku juga bingung. Awalnya aku diajak untuk mencari topeng bareng-bareng, sesuatu yang kurasa tidak perlu dilakukan ramai-ramai, tapi tahu-tahu, mereka malah mengajakku untuk nongkrong di gym.

"Apa salahnya?" tanya King yang sedang sibuk dengan dumbell 20 kilogramnya. "Biasanya kerjaan kita cuma duduk doang, baik di kantor, di kampus, maupun di tempat makan. Bisa-bisa kita kena skoliosis kalo nggak sering olahraga."

"Tapi," Kei memasang wajah merengek, "jam segini biasanya gue masih tidur."

Calvin yang sedang bermain dengan sandsack melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan jam 10 pagi. "Jam sepuluh pagi lo masih tidur? Udah berevolusi jadi kelelawar, ya?"

"Bukan gitu," Kei nyengir. "Cuma menghemat energi."

"Alah, nggak usah bacot, Kei," kata Queenie. "Di antara kami semua, lo yang paling jarang gerak. Sesekali nge-gym nggak ada salahnya kok. Lagian, jangan bilang lo nggak hepi diajak cuci mata. Kan banyak juga cewek-cewek yang lagi nongkrong di sini."

Ya, Queen memang tidak salah. Aku tidak tahu apakah cewek-cewek jaman sekarang apakah hobi ngegym di hari Minggu jam sepuluh pagi, tapi tempat ini tampak penuh oleh mereka.

Wajah Kei yang memerah menunjukkan bahwa kata-kata Queen tepat sasaran.

"Ditambah lagi, buat atlet-atlet seperti kami," tambah Calvin, "kami harus sering latihan. Kalau nggak, ilmu kami juga bakal karatan semua."

"Alah, cuma tahu boxing aja udah ngaku jadi atlet," ledek Lisa. "Tapi lo ada benernya juga," Lisa menimpali. "Dan nggak ada seru kalau cuma kita latihan biasa doang. Harus sparring biar lebih seru. Ayo. Mau siapa lawan siapa?"

"Gue!" teriak Kei yang tampak semangat. "Gue mau."

"Emangnya lo bisa bela diri apaan?" tanya Lisa.

"Nggak tahu. Makanya perlu dicoba biar tahu."

Lisa menggeleng-geleng pasrah. "Nggak gitu konsepnya, bro. Kalau lo nggak mau masuk rumah sakit, mendingan diem-diem aja deh."

"Gue ama Calvin aja. Cowok harus lawan cowok. Kalau kalian mau, kalian bisa berlawanan juga," kata King pada Lisa dan Queenie. "Atau bisa juga sparring sama Kei. Biar dia tahu-tahu sikit soal bela diri. Sekalian sama Lidya juga."

"Gimana caranya pula sparring berempat?" protes Queenie, lalu menoleh padaku, "Kayaknya aku ngajarin kamu aja deh basic-basicnya ya. Biar Lisa yang urus si Kei itu."

Aku mengangguk dengan senang hati, bersyukur karena tidak harus berhadapan dengan Lisa. Sejak hari itu di rumah Calvin, aku selalu waspada dengan Lisa. Biar bagaimanapun, dia satu-satunya dari teman-teman Calvin yang tahu soal masa lalunya dan itu menjadikannya ancaman yang besar bagi rencanaku.

Aku melirik ke atas ring dan melihat King dan Calvin sudah memulai. King tampak senang sekali berasa di atas sana, seolah-olah dia sudah hidup di atas ring sejak lahir. Sementara Calvin, tampak tenang-tenang saja dan menguasai keadaan. 

Terlihat jelas perbedaan gaya antara King dan Calvin. King dengan cekatan melepaskan tendangan rendah yang dan pukulan siku mematikan. Terlihat jelas setiap gerakannya adalah hasil latihan bertahun-tahun. Calvin harus berhati-hati untuk menghindari serangan-serangan tajam itu.

Calvin, di sisi lain, menunjukkan kemahirannya dalam menjaga jarak dengan gerakan yang gesit dan jab yang tajam. Dia dengan sigap menghindar dari tendangan King, tetapi juga mencari celah untuk memberi serangan balasan. Setiap pukulan jarak jauh darinya membuktikan bahwa dia telah sudah berlatih dengan giat.

"Awas, jangan sampai ada yang bonyok," teriak Queenie dari bawah.

"Iya. Nggak lucu kalo sampe ada yang babak belur," tambah Lisa.

Setelah itu, Queenie kembali fokus mengajariku.

"Oke, jadi Lid, kamu sebelumnya belum pernah belajar bela diri, kan?" tanya Queenie.

Pertanyaan yang ironis. Aku sudah dilatih bela diri bahkan sebelum aku masuk SMP. Namun, tetap saja aku menggeleng.

"Oke. Untuk dalam bela diri apapun, yang paling penting adalah melindungi diri sendiri. Dan bagian tubuh yang paling perlu dilindungi adalah…" Queenie menepuk kepalanya dengan sarung tinju, "kepala kita. Jadi, pastikan tanganmu terangkat melindungi kepalamu."

Aku mencoba meniru gerakan tersebut dengan terlihat sekaku mungkin. Padahal, tubuhku sudah terbiasa dengan ilmu bela diri, dan kalau aku tidak menutupi gerakanku dengan kekakuanku, orang lain pasti akan tahu bahwa aku sudah terlatih. Queenie berkonsentrasi mengajarkanku dasar-dasar teknik tinju, termasuk bagaimana menghindari pukulan dan menyerang balik dengan benar.

Selain itu, Queenie juga mengajariku tentang pentingnya kepercayaan diri. "Boxing itu bukan cuma tentang fisik. Ini juga tentang ngertiin dan percaya sama dirimu sendiri. Ketika lo merasa kuat di dalam, lo akan lebih kuat di luar sana."

Aku terdiam menatap Queenie. Dia benar-benar teman yang baik, tulus membantuku dari awal sampai akhir. Terus terang saja, salah satu hal tersulit dari misiku ini adalah membohongi, atau lebih tepatnya memanfaatkan salah satu dari sedikit orang yang tulus menganggapku teman.

Kami terus berlatih untuk beberapa saat. Dari sebelah ruangan, aku melihat Lisa dan Kei sedang berlatih dengan kacau. Sebenarnya itu lebih terlihat Lisa yang sedang menyiksa Kei, karena yang terjadi adalah Kei yang terus memekik layaknya cewek yang celana dalamnya kelihatan. Padahal sebenarnya, aku yakin Kei tidak selembek yang kelihatannya. Begini-begini, postur badannya cukup tegap. Bukan tidak mungkin dia menyembunyikan otot dari baju-baju lengan panjang yang selalu dikenakannya.

"Hoi, hoi," tegur King. "Udah mau masuk rumah sakit, tuh." Rupanya dia dan Calvin sudah selesai beberapa menit yang lalu dan kini sedang mengamati yang lainnya.

Lisa menyeringai. "Tenang aja. Gue pelan-pelan banget kok. Kei-nya doang yang suaranya stereo banget."

"Apaan? Ini semua sakit banget, tahu. Badan gue merah-merah semua nih. Sejak kapan boxing pakai jurus cakar mencakar?" protes Kei.

Calvin melompat dari ring dan memeriksa kondisi Kei, sementara aku dan Queen juga menyudahi latihan kami.

"Ini cuma merah doang. Dijamin, nggak sampe setengah jam, kulit lo udah kembali hitam kayak biasanya," tutur Calvin.

"Kok gue nggak terhibur ya dengernya?" Kei cemberut.

King menyusul kami semua. "Guys, cabut yuk. Udah siang nih. Kita lunch dulu baru cari topeng-topeng kita, oke?"

Dan memang itulah yang kami lakukan. Masalahnya, setelah dua jam mencari di berbagai tempat, sepertinya kami tidak menemukan topeng-topeng yang cocok.

"Udah gue bilang," kata Kei dengan wajah sok bijaksana. "Topengnya yang simpel aja. Tempelin aja kertas mika di atas kertas karton atau apa gitu, lalu bolongin di bagian matanya. Beres."

Tidak disangka, Calvin setuju dengan kata Kei. "Menurut gue juga lebih simpel gitu."

"Dan memangnya harus itu yang kita lakukan. Sampai jam berapa kita harus keliling kota buat nyari topeng begituan? Lebih gampang bikin sendiri," timpal King.

"Urgh!" Lisa menggeram. "Aneh. Kota sebesar ini masa nggak ada yang jual topeng, sih?"

"Sebenernya ada. Cuma pada topeng anak-anak semua. Topeng Ultraman, Spiderman, Iron Man," jawab Queenie. 

"Udah-udah. Kita bikin sendiri aja. Gue jamin pasti oke, kok," kata Kei percaya diri.

Lisa memelototinya. "Lo yang bikin?"

"Enak aja. Masing-masing bikin punya sendiri dong. Palingan kalau nanti ada yang jelek, gue bantu benerin aja."

Rupanya, kepercayaan diri Kei terbukti bukan tanpa dasar. Saat kami sudah sampai di toko stationery untuk membeli bahan yang diperlukan, dia yang pertama mengambil troli dan mengambil benda-benda yang diperlukan. Kemudian, kami diundang ke rumahnya yang gede banget itu untuk membuat topeng-topeng kami. Di sana, lagi-lagi dia memamerkan keahliannya dan mengajari kami semua bagaimana cara membuat topeng-topeng itu, bahkan membuat satu untuk Lisa berhubung cewek itu sama sekali tidak punya keterampilan kerajinan tangan sama sekali.

"Buset," protes King. "Gara-gara acara Halloween itu, gue capek dalam-luar kampus, coy. Mana nggak dibayar pula."

"Dibayar, kok," kata Lisa. "Wig lo itu kan udah kejual dengan profit goban."

Oh ya, omong-omong soal kostum kami, ternyata kami cukup hoki. Menggunakan ide Calvin soal menjual kembali kostum-kostum itu, ternyata, di luar dugaan kami, benda-benda itu sama sekali tidak sulit dijual. Dalam waktu satu-dua jam setelah kami posting, benda-benda itu sudah habis dibeli dengan harga yang profitable. Wig milik King dan Queenie masing-masing terjual dengan profit lima puluh ribu, dress Lisa dengan profit dua ratus ribu, blazer dan rompi palsuku dengan seratus ribu, dan blazer putih Calvin dengan profit lima puluh ribu juga. Satu-satunya yang tidak mendapat profit adalah Kei, berhubung yang empunya tetap kekeh mempertahankan kostum big size Hulk-nya.

"Goban doang buat apa, coy? Gue capek udah nyaris dua mingguan."

"Kalo lo emang capek," kata Calvin dengan suara kebapakan, "kenapa harus ikutan jadi panitia?"

"Karena," Kei nyengir, "ini acara yang terakhir gue urus. Setelah ini, udah nggak ada lagi, dah."

"Serius? Jadi setelah ini lo udah nggak jadi anggota organisasi lagi?" tanya Queen kaget.

"Anggota sih masih," jawab King. "Cuma kagak seaktif dulu aja."

"Yah, mengecewakan," Kei menghena nafas.

"Kok mengecewakan?"

"Iya, soalnya kita nggak bisa cuci mata lagi. Biasanya kan banyak cewek-cewek anggota organisasi yang sering nyariin lo, King. Kalo mereka nggak cari-cari lo lagi, rasanya jadi kurang seru, gitu."

King mengangguk setuju. "Mau gimana lagi? Nggak mungkin gue bisa jadi anggota organisasi selamanya. Bisa-bisa gue nggak lulus, cuy."

"Aduh, ngomongin soal lulus, gue jadi kepikiran skripsi lagi. Padahal baru mau nyari topik, tapi rasanya gue udah stres banget," keluh Queen.

"Sama. Nggak kebayang nanti gimana stresnya pas nanti bikin skripsi beneran."

"Hidup itu dibawa santai aja, guys," kata Kei dengan penuh pembawaan.

Calvin mengerutkan dahinya dengan geli. "Kok tiba-tiba lo jadi menghayati gitu?"

"Soalnya gue bosen," kata Kei jujur. "Ini topeng-topeng udah siap semua. Nggak ada lagi yang bisa dikerjain."

Kami semua menatap topeng-topeng yang kami buat. Sebenarnya tidak bagus-bagus banget, tapi setidaknya cukup rapi dan tidak acak-acakan. Yang cowok menggunakan topeng serba hitam, sementara yang cewek menggunakan topeng warna ungu yang dihiasi dengan pernak-pernik bintang.

"Tapi lo lumayan juga, Kei," kata King. "Nggak ada yang nyangka lo bisa bikin kerajinan tangan beginian. Lisa aja nggak bisa."

"Eh, kok nyerempet ke gue?" protes Lisa.

"Asal kalian tahu, gue ini berbakat dalam segala hal. Cuma gue malas nunjukin aja," jawab Kei sambil membusungkan dadanya.

"Mungkin lo bisa jual barang-barang kerajinan tangan buat ngisi waktu lo setelah lulus kuliah," usul Calvin.

"Lulus kuliah? Entah kapan deh itu. Sampe sekarang aja gue masih ngejar SKS kelas semester tiga, padahal kalian udah pada mulai bikin skripsi."

"Adeh, skripsi lagi yang dibahas," Queenie mengeluh. "Perut gue selalu laper kalo denger kata itu."

"Itu sih bukan masalah di skripsinya. Elonya yang nafsu makan semakin bertambah," ledek King.

"Eh, lo lupa? Setiap kali gue makan, lo juga ikutan. Kalo gue nanti gendut, lo juga nggak bakal kurus-kurus amat."

"Jangan ngomongin soal berat badan selama sih Calvin ini ada di sini," kata Lisa sambil menunjuk Calvin. "Nanti dia keinget sama masa lalunya yang bulat itu."

"Eh, tega banget body shaming sama teman sendiri. Lagian itu kan udah lama banget," protes Calvin yang tidak terima dikatai bulat.

"Ya, tapi bukti foto tetap ada, bro. Gue nggak bakal lupain gimana bentukan lo pas acara perpisahan SMA kita. Udah bagus gue nggak sebar foto-foto itu kemana-mana."

Mendengar itu, aku menjadi tertarik. "Emang kamu dulu sebulat apa?" tanyaku penasaran.

Sebelum Calvin sempat menjawab, Lisa sudah mendahuluinya. "Rada-rada kayak Doraemon gitu."

"Ampun, sis. Nggak selebay itu kali."

"Lebay atau nggak, biar kami yang menilai," sahut Queen yang tampaknya mulai tertarik dengan arah pembicaraan kami. Begitu juga dengan Kei dan King. "Sini. Mana fotonya?"

Tanpa perlu diminta dua kali lagi, Lisa mengirimkan foto masa lalu Calvin di grup Whatsapp.

"Untuk pertama kalinya, sih Lisa nggak lebay." komentar King.

"Awas ya kalian. Kalau suatu hari nanti kalian ada yang membulat juga, gue langsung posting di video Youtube gue," kata Calvin kesal.

Aku tersenyum melihat foto itu, namun juga merasa sesak. Di foto itu, Calvin tampak sehat dan ya, sedikit bulat. Itu artinya, dia benar-benar tidak mengingat masa lalunya sama sekali. Kalau dia mengingatnya hanya sedikit saja, aku jamin dia tidak akan bisa berkembang sebaik itu. Kelihatannya, setelah kejadian itu, dia menjalani beberapa tahun hidup yang tentram.

Berbeda jauh denganku yang semakin tertindas setiap harinya.

"Emangnya bulat banget ya?" tanya Calvin kepadaku dengan suara setengah berbisik.

Aku terdiam sebentar dan berusaha terlihat biasa saja. "Nggak terlalu kok. Sedikit overweight, maybe, tapi nggak parah banget. Dan dari bentuk badan segitu sampai ke kamu yang sekarang, kelihatannya kamu sudah olahraga dan diet dengan teratur."

"Nah," Calvin langsung bersemangat mendengar kata-kataku. "Ini baru namanya teman. Setiap kata-katanya itu berisi penyemangat. Nggak kayak kalian, tahunya cuma ngejek doang."

Kei mengibaskan tangannya. "Ya jelaslah dia nyemangatin lo, Vin. Kan kalian udah pasangan gitu. Jelas dia bakal belain lo."

Untuk pertama kalinya, Calvin tidak menolak saat ada yang mengatakan kami berpasangan. "Nggak usah sirik, bro. Makanya, cari pasangan sendiri."

Sial. Apa ini artinya dia sudah menganggapku sebagai pasangannya? Hatiku jadi berdebar-debar. 

"Walah, wajah Lidya merah tuh abis dianggap Calvin sebagai pasangannya," Queenie tertawa. "Lo kayak anak baru kasmaran aja, Lid."

Sial, dikatakan seperti itu, aku bisa merasakan wajahku semakin memerah saja.

"Kalian ini kayak anak-anak kurang kerjaan aja," kata Calvin dengan wajah yang sama merahnya. "Dari tadi kerjaannya cuma ngeledekin orang lain. Mending pake waktu kalian buat mikirin hal yang lebih berguna, deh. Skripsi, misalnya."

"Eh, sekali lagi lo ngomongin skripsi, gue tusuk ya," ancam Lisa kesal.

"Ngomongin acara itu aja," usul Queenie. "Jadi kalian nanti dateng jam berapa?"

"Palingan kayak biasa. Sekitar jam enam."

"Nggak ada yang rencana datang lebih awal? Lumayan, buat cuci mata."

"Nggak deh, makasih," jawab Calvin. "Palingan yang mesti datang si seksi acara ini nih," katanya sambil menunjuk King.

"Sorry, coy," King tersenyum girang. "Tugas gue buat acara itu udah selesai. Gue seksi promosinya doang soalnya. Dan urusannya udah kelar. Jadi nanti gue tinggal duduk diem aja."

"Tapi kayaknya kita semua mesti berangkat bareng-bareng, deh. Dalam satu mobil, gitu. Soalnya nggak mungkin kita pake dress naik motor, kan? Bisa terbang-terbang dong pakaian kita nanti," kata Lisa.

Hmm, pendapat yang masuk akal.

"Itu urusan gampang. Pake mobil gue aja. Ntar gue pinjemin mobil Alphard," kata Kei yang merupakan paling berduit diantara kami semua.

Kami semua melotot. "Nggak usah pake Alphard juga kali, bro. Lo pikir kami artis?"

Kei nyengir. "Oh, nggak mau ya? Kalau pake Fortuner aja gimana?"

Kurasa Kei satu-satunya orang di antara kami yang bisa memilih mobil apa yang mau dibawa. Selebihnya sih bersyukur-bersyukur aja kalau sudah ada motor untuk dikendarai.

"Oke."

Saat itu, meskipun agak khawatir dengan resiko yang sempat Calvin kemukakan, tidak ada satupun dari kami yang mengira dugaannya akan menjadi kenyataan.

Termasuk aku.