****
"Ada apa Om?" Tanya Arif memastikan.
"Sekarang kamu udah tau soal kemampuan kamu dan keluarga kamu?" Ucap Om Dafa, wajahnya kali ini tidak memberikan ekspresi apapun.
"Maksud om apa? Arif nggak ngerti" Heran Arif.
Lagi dan lagi Om Dafa tak kembali menjawab, dia hanya terus menatap Arif tanpa henti. Membuat Arif menjadi risih di pandangi olehnya.
"Om, saya harus siap-siap pergi, kak Gema lagi di rawat di rumah sakit" ucap Arif yang ingin segera meninggalkan Om Dafa dengan tingkah anehnya.
"Om tau ini akan terjadi" sahut Om Dafa.
"Tau darimana Om? Saya belum bilang siapa siapa soal kak Gema masuk rumah sakit" bingung Arif.
"Bapak kamu yang bilang"
Degh! Hanya satu kalimat singkat yang diucapkan oleh Om Dafa membuat sekujur tubuh Arif mematung mendengarnya.
"Bapak udah nggak ada om, gimana bisa dia ngasih tau Om Dafa" bantah Arif, jantungnya berdebar tak karuan.
"Dulu" jawab Om Dafa singkat.
"Dulu?" Arif semakin bingung. "Om saya nggak mau ngabisin waktu di sini ngobrol sama Om yang jelas jelas nggak mau ngasih tau..."
"Dulu dia udah peringatin om soal ini" potong Om Dafa menghentikan Arif bicara.
"Dia udah tau kalo ini akan terjadi, om sempet nggak percaya sampai akhirnya bapak kamu meninggal dan ibu kamu sakit" lanjutnya.
Arif kembali mematung, dia tak menyangka ternyata Om Dafa pun mengetahui hal yang keluarganya lakukan.
"Terus, bapak ngomong apalagi om?" Tanya Arif tertunduk lemas.
"Dia bilang untuk berhenti ngasih informasi ke kamu"
"Maksudnya?" Arif langsung mengangkat kepalanya.
Dan, betapa terkejutnya Arif tanpa sadar sedang berdiri sendirian tanpa adanya Om Dafa di sekitar.
Matanya terus menerus mencari keberadaan Om Dafa yang menghilang begitu saja setelah bicara seperti itu. Setiap ucapan yang di katakan terasa seperti kebohongan.
"Om Dafa" panggil Arif pelan mencari keberadaan pria tersebut.
Langkahnya terhenti di sebuah tangga, Arif mendengar seperti sebuah ketukan gamelan dan gong dari bawah. Lalu, Arif pun segera turun dari rusunnya menuju lapangan bawah untuk mengecek sumber suara tersebut.
****
Gonggg! Gonggg!
Mata Arif terbuka lebar mendapati sekelompok orang yang sedang memainkan alat musik tradisional di tengah lapangan.
"Siapa mereka?"
Banyak juga para penari yang dengan halusnya mengikuti irama alunan musik tersebut. Gerakannya sangat tenang.
Perlahan, senyuman di sudut bibir Arif pun mengembang melihat para penari dan pemain musik tersebut. Pikirannya seperti terhipnotis saat itu juga.
"Arif!" Teriak seseorang dari samping memanggil Arif.
Arif menengok dan terkejut. "Kak gema?"
"Pergi dari sini!" Suruh Gema
"Apa kak?"
"Cari mereka"
Lalu, Gema berhenti bicara dan menunjuk ke para penari tersebut.
Degh! Jantung Arif seperti sudah berhenti saat itu juga saat menyadari para pemain musik dan penari itu sudah berdiri dan menghadap ke Arif.
Mata mereka penuh dengan belatung, menatap lurus ke Arif. Tatapannya sangat tajam dan menusuk tepat di jantung Arif.
"ANAK SETANN!!!"
****
"Arghhhhhhhh!!!!"
Arif terbangun dari tidurnya, ia sendiri tidak sadar sejak kapan ia tertidur di rumahnya.
Arif mencoba mengatur napasnya yang sulit, ia masih belum mengerti tentang yang terjadi pada dirinya. Arif menjadi semakin bingung dengan mana kenyataan dan mana yang hanya mimpi.
"Tadi cuma mimpi?" Gumam Arif.
"Atau ini masih bagian dari mimpi?"
"Sebenarnya, mana yang nyata dari ini semua?"
"Kenapa harus gue?"
"Stop! Stop! Stop!"
Arif meringkuk di atas sofa, ia melipat kedua kakinya dan memeluk erat karena sangat gelisah. Ia benar-benar tidak tau harus berbuat apa, semakin lama semua kejadian yang menimpa Arif bisa membuatnya gila.
Arif melirik jam dinding, waktu menunjukan pukul 11 malam. Ia sudah terlalu lama dan harus segera kembali ke rumah sakit untuk menemani Gema.
"Astaga, Kak Gema" ucap Arif terburu buru dan segera mengambil kunci motornya untuk bergegas pergi ke rumah sakit.
****
Untung saja jalanan sudah sepi, jadi Arif tak butuh waktu lama untuk datang ke rumah sakit. Ia merasa bersalah sudah meninggalkan Gema sendirian di rumah sakit tanpa ada yang mendampinginya.
"Udah selesai Rif urusannya?" Tanya salah satu suster yang berada di meja tugasnya dekat kamar Gema.
"Hehe. Iya sus, maaf ya karna saya lama jadi ngerepotin" sahut Arif.
"Nggak masalah, itu kan emang tugas saya"
"Ada tanda tanda Kak Gema akan sadar nggak sus?" Tanya Arif, mungkin saja selama ia pergi Gema menunjukan peningkatan akan sembuhnya.
"Kakak kamu masih belum ada tanda-tanda akan sadar, tapi jangan khawatir, kasus seperti ini banyak, dan nggak akan lama kok" jawab suster tersebut.
Meski Arif tau, semua ucapannya itu adalah standar seorang perawat jika di tanya salah satu pasiennya agar bisa merasa tenang.
"Gitu ya, Yaudah sus, saya pergi dulu kalau gitu" pamit Arif.
"Iya, kalau ada apa-apa tinggal panggil aja ya"
Arif membalasnya dengan senyuman tipis, ia lalu melanjutkan jalannya kembali menuju kamar Gema.
****
Arif masuk ke dalam kamar rawat Gema, pria tersebut masih berbaring tanpa sadar di atas ranjang yang tidak empuk itu.
Arif berjalan dan duduk di samping kakaknya tersebut, menatapnya lekat dengan penuh kesedihan dan banyak tanya di kepalanya.
"Kak, mau sampe kapan lo nggak sadar?" Ungkap Arif bicara pelan kepada Gema.
"Lo tau? Udah banyak banget hal aneh yang gue lewatin, dan gue butuh lo buat temenin gue"
"Kak, tadi gue mimpiin lo, lo udah sembuh dan bicara sama gue, tapi ucapan lo bikin gue bingung"
Arif terus bicara kepada kakaknya, ia yakin kalau setiap kata yang di ucapkan Arif masih bisa di dengar oleh kakaknya meski tubuhnya tak sadarkan diri.
Waktu sudah sangat larut, tanpa di sadari pun Arif tertidur di samping kakaknya sehabis bicara banyak dan tak jelas.
****
Pagi-pagi sekali Arif sudah bangun, ia bergegas berangkat untuk kerja dan memberitahu suster yang berjaga saat itu untuk mengawasi Gema selama ia pergi bekerja.
Meski banyak hal aneh sudah terjadi pada dirinya, tapi bisa mendapatkan suster dan pelayanan yang baik dari rumah sakit ini adalah hal paling menyenangkan bagi Arif saat ini.
****
Nana masih melamun di ruang tamunya, sejak dari pagi sampai matahari sudah ada di atas kepala, ia masih masih terus memikirkan kejadian kemarin.
"Mikirin apa sih Na?" Tanya ayah Nana lalu duduk di sampingnya dan membawa beberapa cemilan.
"Loh, ayah nggak kerja?" Kaget Nana menyadari kehadiran ayahnya.
"Ya ayah mah libur kalo weekend nggak kaya kamu" jawab ayah Nana sambil mengunyah.
"Oh iya ya, kan kalo restoran tutup tar orang-orang nggak bisa makan yah"
"Bisa masak sendiri ayah mah nggak meski ke restoran mahal kamu"
"Apa sih yah orang murah"
Ayah Nana tertawa kecil, anak gadisnya ini selalu saja terlihat seperti anak-anak baginya.
"Kamu mikirin apa? Dari tadi pagi ayah liatin ngelamun terus" tanya ayah Nana lagi.
"Yah" Nana menatap ayahnya lekat kali ini.
"Kenapa?"
"Ayah percaya sama yang namanya kutukan nggak?"
"Kamu ngapain nanyain soal kaya gitu?"
"Ayah jawab aja"
"Percaya nggak percaya sih"
"Kok gitu yah?" Heran Nana
"Ayah cuma mikir aja, kalau ternyata yang namanya kutukan itu emang nyata, pasti ada caranya buat bikin kutukan itu hilang kan? terus akhirnya kutukan itu di batalkan lalu hilang dan kita juga sampai mikir kalau kutukan itu nggak ada sama sekali"
"Nggak salah aku bangga punya ayah kaya ayah" puji Nana, ia sangat kagum.
"Kamu kenapa sih? Bikin ayah malu aja" ucap Ayah Nana tersipu malu.
"Aku rasa, aku sama Arif kena kutuk deh yah"
"Kena kutuk apa?"
"Aku juga nggak tau yah, tapi pas denger jawaban ayah bikin aku ngerti sekarang"
"Kamu mau batalin kutukannya maksud kamu?" Tanya ayah Nana bingung.
"Iya yah" ucap Nana semangat.
"Mending kamu batalin kutukannya sambil berangkat kerja deh, liat tuh udah jam berapa?"
Nana melirik jam dinding yang ada di sana, ia sangat terkejut ternyata sudah jam setengah satu siang. Ia masuk kerja jam dua siang, sedangkan perjalannya saja bisa sampai satu jam ke tempat kerja.
"Ya ampun, untung ayah ingetin aku" kaget Nana.
"Yaudah sono siap-siap, nanti kena potong gaji" ledek ayah Nana.
"Idih, emang tempat kerja ayah suka potong gaji, aku sih nggak ada potong gaji segala" jawab Nana tak mau kalah.
"Yang penting Gedean ayah gajinya"
"Iya iya, tau deh yang gajinya Gede"
"Yaudah, sana" suruh ayah Nana lagi.
"Ibu mana?" Tanya Nana yang tidak melihat ibunya sejak tadi.
"Lagi di rumah sebelah, katanya tetangga kita abis lahiran"
"Oh gitu, kasih tau ibu ya kalo aku udah berangkat kerja yah"
"Iya iya siap"
Muahhh! Ciuman tipis Nana layangkan di pipi kiri ayahnya, lalu pergi bersiap siap.
"Makasih ya yah sarannya" ucap Nana.
****
Nana datang tiga puluh menit lebih awal, untung saja jalanan tidak macet karena hari ini ia meminjam mobil ayahnya untuk berangkat kerja.
"Sorry gua telat!!!" Seru Nana masuk dengan terburu buru.
"Santai kali Na, manager kita kan lagi libur" sahut Malik salah satu teman kerja Nana.
"Dateng juga lo akhirnya" sahut Arif melihat kedatangan Nana.
"Iya ya sorry, tadi kebanyakan ngobrol gue sama ayah gue"
"Hari ini bantuin masak Na, kasir sama waiter biar si Bara sama yudis aja"
"Oke lah, gue juga jadi bisa cerita sesuatu sama lo"
"Cerita apaan?" Tanya Arif, meski tangannya sibuk meracik makanan.
"Ada sesuatu, tapi kayanya lebih enak pas istirahat aja deh" jawab Nana sambil memasang epron.
"Gue udah istirahatnya, biar nanti langsung pulang"
"Kalo gitu, tar jangan pulang dulu, temenin gue istirahat sambil dengerin cerita gue" pinta Nana.
"Yaudah, sekarang bantuin nih, udah jamnya makan siang jadi rame" suruh Arif yang terlihat kewalahan.
"Tadi pagi emang gimana Rif?"
"Sepi banget"
"Alhamdulillah kalo gitu"
"Kok lo bersyukur sih?"
"Ya lo ngerti lah nanti apa?"
Arif menghentikan kerjaan dan saling bertatapan dengan Nana. Ia mengerti maksud Nana.
"Malem juga pasti sepi" ucap Nana dan Arif serempak.
****
Hari sudah sore, tepat jam empat sore Arif pun selesai dengan pekerjaannya dan bisa pulang. Tapi karna Nana memintanya untuk menemaninya istirahat dan bercerita, Arif pun menuruti kemauan dia.
Mereka berdua mendatangi sebuah Cafe tak jauh dari tempat mereka bekerja, karna waktu istirahat Nana sedikit jadi ia tak. Isa berlama lama di Cafe tersebut.
"Jadi lo mau cerita apaan Na?" Tanya Arif.
"Soal kemaren Rif, setelah lo pulang dari rumah gue"
"Kenapa?"
"Gue rasa, ada sesuatu yang ngedatangun gue Rif"
"Sesuatu? Apaan?" Bingung Arif.
"Ini udah kesekian kalinya gue ngerasain hal kaya gini, gue udah nggak sanggup Rif, terlalu menyeramkan buat gue" lirih Nana.
"Maaf ya Na, gara gara gue lo jadi ikut ikutan masalah ini"
"Gue rasa lo di kutuk Rif" ucap Nana tiba-tiba.
"Ngaco lo!" Bantah Arif mentah-mentah.
"Gue serius Rif, gue baru aja ngobrol sama ayah gue soal ini"
"Oke lo makin ngaco sekarang" jawab Arif malas.
"Gini Rif dengerin gue dulu"
"Oke, apa yang mau lo jelasin sekarang?" Tanya Arif, ia memperhatikan Nana dengan lekat.
"Ayah gue bilang, kalo seandainya lo emang di kutuk, kutukan itu bisa kita batalkan dan kita hilangkan" jelas Nana.
"Tapi kan kita nggak tau kalo ini kutukan atau apa"
"Semua yang udah kita lewatin udah jelas banget ini kutukan, apalagi tulisan itu, balas Budi"
"Kita nggak bisa nyimpulin gitu aja Na, kalo emang ini kutukan, harusnya gue udah luka luka" ucap Arif menantang.
"Yakin lo nggak ada luka-luka di tubuh lo?" Tanya Nana menatap tajam Arif.
Arif kali ini diam, cara bicara Nana membuat Arif merinding. Dan ia memang belum melihat tubuhnya ada tanda tanda luka atau tidak. Dan jika ada, Arif mungkin akan lebih depresi dari sebelumnya.
"Tubuh gue baik baik aja" elak Arif terpaksa.
"Oke, kalo gitu, kak Gema pasti yang lagi kena kutuk"
"Nana, please stop sebutin kata kutukan oke" pinta Arif, ia mulai risik sekarang.
"Iya maaf, gua cuma pengen lo merasa sedikit tenang aja karna udah tau apa yang terjadi sama kita"
Arif dan Nana terdiam, mereka berdua saling tak berbicara sekarang. Sampai akhirnya Arif pun kembali bicara.
"Setelah gue pulang dari rumah lo, gue juga ngalamin hal aneh juga Na" ungkap Arif.
"Lo kenapa Rif?" Nana sangat tertarik sekarang dengan yang Arif bicarakan.
"Saat itu, gue ngerasa banget kalo itu nyata, bahkan gue ngobrol sama Om Dafa" jelas Arif.
"Om Dafa? Bukannya dia nggak mau ketemu kita lagi" heran Nana.
"Itu dia Na, saat itu gua nggak bisa bedain mana kenyataan sama bukan"
"Mimpi maksud lo?" Tebak Nana, meski ia pun bingung.
"Gue juga ga tau itu mimpi atau apa, di situ gue ngobrol sama Om Dafa, bahkan gue ketemu sama Kak Gema yang keadaannya baik baik aja Na"
"Serius?" Keget Nana.
"Iya, dan di situ gue ngeliat banyak orang main alat musik dan penari tradisional, mereka jadul banget, tapi matanya penuh belatung"
Huekkk! Nana merasa mual seketika saat Arif bercerita.
"Udah Rif, itu jijik banget" pinta Nana lemas.
"Iya Na, tapi gue inget banget kak Gema ngomong sesuatu sama gue" lanjut Arif.
"Dia ngomong apa?"
"Dia bilang. pergi dari sini, cari mereka"
"Siapa?"
Arif menatap Nana bingung, ia merasa ragu sekarang.
"Gue rasa, temen bapak"
****