Selembar kertas berwarna coklat itu berada di genggaman seorang gadis berusia sembilan belas tahun. Kertas berisi alamat tempat dia akan bernaung selama berada di kota nanti. Ayahnya yang baru saja meninggal sehari sebelumnya berpesan kalau dia harus pergi ke alamat orang itu karena akan dijodohkan dengan seseorang.
Pesan terakhir Ayahnya terpaksa dia laksanakan karena sebagai baktinya pada sang Ayah. Lagi pula di kota tempat dia tinggal sekarang, tidak memungkinkan dia untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Dia terpaksa berhenti satu tahun karena harus merawat ayahnya yang sakit kangker paru-paru. Sedangkan ibunya sejak sepuluh tahun lalu bekerja sebagai TKW di luar negeri. Dan sampai sekarang tidak ada kabarnya.
FLASHBACK ON
"Via, kalau Bapak tiba-tiba tidak ada, kamu pergilah ke alamat ini di Jakarta. Kamu tinggallah di sana. InsyaAllah dia bisa membantu biaya kuliahmu. Bilang saja kamu anaknya Wawan Sumedang."Ya nama gadis itu adalah Alivia. Dia adalah putri satu-satunya Wawan sekarang.
"Tapi Pak, kalaupun saya pergi kota, saya bisa cari pekerjaan sendiri tanpa merepotkan orang Pak. Saya bisa membiayai kuliah saya sendiri, Pak."
"Bapak akan menjodohkanmu dengan orang yang ada di alamat itu, Nak. Di kota besar sangat berbahaya jika kamu tinggal sendirian. Ikutlah bersama Leon. Kamu akan aman bersamanya. Jadi Bapak tidak akan khawatir dan bisa pergi dengan tenang." Alivia berfikir mungkin itulah nama orang yang akan dijodohkan dengannya.
"Sudahlah Pak tidak usah mikir yang tidak -tidak. InsyaAllah tidak akan terjadi apa-apa dengan Bapak."
FLASHBACK OFF
Seminggu setelah pembicaraan itu, Wawan meninggal. Alivia sangat sedih atas kepergian Ayahnya. Ayah yang selalu ada untuknya. Seorang laki-laki yang tidak hanya sebagai kepala keluarga, namun juga menggantikan peran ibunya. Alivia ingat bagaimana Ayahnya harus banting tulang sebagai tukang bangunan, dan setelah kembali ke rumah menyiapkan makanan juga untuk Alivia.
Gadis berwajah tirus, dan bermata kacang almond itu pergi ke Jakarta dengan menggunakan Bis antar kota. Berbekal satu tas ransel yang berisi pakaian dan sedikit uang peninggalan sang Ayah, dia pergi dengan perasaan bimbang. Akankah dia benar-benar menjalankan amanat dari sang Ayah?
Inilah pertama kali dirinya menginjakkan kaki di kota metropolitan. Jakarta. Alivia menutup hidungnya dengan tangan. Sepanjang dia berjalan di terminal, hanya ada asap kendaraan bermotor dan asap rokok yang membuat dia sesak. Kalau saja mereka tahu bahayanya polusi udara seperti ini. Asap yang menyebabkan Ayah sakit.
Alivia masih menggenggam kertas alamat itu. Ayahnya menuliskan bus jurusan mana yang ia naiki. Alivia memilih menggunakan bis kota sesuai petunjuk sang Ayah. Karena dulu waktu Ayahnya masih bekerja dengan Leon, belum ada busway.
"Pak, bis jurusan ke alamat ini yang mana ya?" Alivia bertanya pada seorang laki-laki yang mungkin adalah seorang kernet. Karena dia tadi berlari-lari mencari penumpang ke sana kemari.
"Oh naik Bis saya saja, Mbak. Nanti pasti sampai koq."
Alivia tak berfikir macam-macam. Dia percaya saja dengan kernet itu. Karena dia sangat buta dengan kota ini. Dia pun naik ke bis itu, mencari tempat duduk yang kosong. Setelah bis penuh, barulah sopir mulai mengemudikan bisnya.
Sepanjang jalan berjajar gedung-gedung pencakar langit. Alivia takjub dengan banyaknya pusat perbelanjaan yang besar-besar berbeda dengan kampung tempat ia dibesarkan.
"Pak, saya harus turun dimana?" Alivia lama-lama curiga karena sudah hampir satu jam si kernet itu tak juga memberikan arahan padanya untuk turun.
"Memangnya Mbak turun dimana?"
"Tadi kan mas bilang kalau sudah sampai di alamat yang saya tuju, mas akan kasih tahu."
"Maaf mbak saya lupa. Ini sudah terlewat jauh."
"Aduh mas ini bagaimana? terus nasib saya bagaimana?"
"Mbak naik bus itu saja." Kernet itu menunjuk bus di seberang jalan berwarna merah. Alivia harus menyebrang jalan yang sangat lebar dan macet.
"Astaghfirullah Mas. Saya itu benar-benar tidak tahu Jakarta."
"Maaf ya mbak." Mau bagaimana lagi, Alivia akhirnya mengalah. Dia menyerahkan uang sesuai tarif bis itu, lalu turun.
"Ya Allah saya harus kemana? saya bingung." Alivia duduk di bangku halte. Dia harus menunggu Bis lagi. Karena yang tadi sudah pergi.
"Eh... Copeeet..." Alivia terkejut karena ada orang yang mengambil tas yang dia taruh di sampingnya. Alivia berlari mengejar pencopet itu namun sia-sia.
"Astaghfirullah.. Ya Allah bagaimana caranya saya bisa sampai di alamat ini? Alivia kini duduk di depan restoran mewah. Melihat orang yang sedang makan di balik kaca transparan, membuatnya menelan ludah. Perutnya sangat lapar. Tapi dia sama sekali tak punya uang sepeserpun. Hanya kertas alamat yang ia genggam yang masih tersisa. Dia hanya bisa menunduk menahan tangis.
"Mbak Permisi... Ini tas anda?" Alivia mendongak saat suara seorang laki-laki memanggilnya.
"Alhamdulillah.." Alivia langsung mengambil tas itu dan memeluknya.
"Aa', koq bisa tasnya sama Aa'?"
"Tadi saya lihat mbak teriak copet. Kebetulan tadi saya mau masuk ke mobil. Melihat ada laki-laki membawa tas langsung saya kejar. Alhamdulillah saya bisa mendapatkan tas Mbak kembali."
"Terimakasih banyak ya A'. Semuanya ada di tas itu."
"Lain kali hati-hati ya Mbak. Di Jakarta itu rawan kejadian seperti tadi."
"Iyaa A'. Saya terimakasih sekali pokoknya. Bagaimana saya membalas kebaikan Aa'?
"Tidak perlu Mbak. Mbak dari mana? koq bawa tas besar?"
"Saya dari Sumedang A'"
"Mbak mau kemana? saya antarkan kalau mbak tidak keberatan."
"Saya mau ke alamat ini, A'." Lelaki itu membaca kertas yang dibawa Alivia. Mengernyitkan dahinya lalu menyunggingkan senyumnya.
"Saya tahu Mbak. Ikut saya saja. Saya antarkan ke alamat ini."
"Oh ya A'? Aduh Aa' ini baik sekali. Sudah membantu saya mengejar pencopet, terus mau bantu saya nyari alamat ini."
"Sesama manusia harus tolong menolong Mbak." Lelaki itu berjalan lebih dulu, lalu Alivia yang lugu hanya bisa mengekori dari belakang. Dia percaya dengan lelaki itu karena dia merasa orang itu orang baik.
"Ayo mbak naik."
"Iya A'." Alivia masuk ke dalam mobil. Dia bersebelahan dengan lelaki tadi. Dia yang terlalu percaya akhirnya mau di ajak naik ke mobil lelaki itu.
"Bos, saya sudah dapat. sebentar lagi saya akan bawa ke markas." ucapan lelaki itu di sebuah sambungan telepon membuat Alvia ketakutan. Dia tidak tahu apa maksud lelaki di sebelahnya ini. Apa laki-laki ini punya niat jahat padanya?
"A' saya turun di sini saja ya." Alivia akhirnya memberanikan diri untuk mengatakan hal itu. Perasaannya sudah tak karuan.
"Ini masih jauh lho mbak."
"Saya belum shalat Mas. Saya mau mampir di masjid dulu." Bukannya menjawab, lelaki itu malah semakin melajukan mobilnya dengan kencang.
Dor dor dor... Alivia berusaha menggedor pintu mobil. Tapi tak membuat lelaki yang bersamanya ini menurunkan dia.
"Toloooong!!!"
*******