webnovel

Kangen - Ku Akan Datang (Bag. 11)

"Sebuah badai tornado menerjang kawasan San Juan, New Mexico Amerika Serikat."

Saat di dapur, suara pembaca berita yang terdengar dari siaran televisi di ruang tamu kalah dengan percikan air wastafel dan dentingan gelas piring yang sedang dicuci. Paramitha tidak begitu memerhatikan apa yang disampaikan di dalam berita itu. Pikiran yang macam-macam di kepalanya, ingin ia alihkan dengan membersihkan peralatan memasak.

---

"Ough ...."

Di pertengahan menuruni tebing Shiprock, Prayoga merasakan sakit yang luar biasa di bahu. Ia seakan tidak sanggup lagi mengulurkan tangan untuk melepaskan deskender yang terkait di piton samping dirinya menggantung. Karamantel yang masih terselip di deskender itu, ditariknya untuk menguji. Namun, deskender itu tertancap kuat. Ia sungguh tidak sanggup menarik lepas.

"Kuat," bisiknya pelan pada diri sendiri.

Prayoga terdiam sejenak. Dengan satu tangan yang memegang sela tebing dan karamantel yang masih mengikat webbing-nya ke dinding tebing, ia mencoba mengumpulkan kekuatan lagi. Digunakan hammer untuk mengungkit agar bisa menarik deskender yang ia akan simpan kembali ke dalam kantung.

"Bang Yoga, monitor?" tanya Rangga melalui sambungan suara.

Didongakkan kepala menatap puncak Shiprock yang membayang akibat teriknya udara. Bisma yang duduk akibat luka, hanya diam memerhatikan. Berdua ia dan Rangga memandu Prayoga turun.

"Stop sebentar, Rangga. Sakit sekali bahuku. Ngelepasin deskender di tebing, kebetulan kencang sekali tertancap di tebing. Bahu jadi sakit sekali."

Dari sambungan komunikasi di helm, Prayoga menjawab sambil menahan nyeri. Lalu, ia terdiam menggantung di karamantel. Oleh karena sakit di bahu dan rasa lelah akibat teriknya matahari, ia tergantung sesaat sambil menjawab pertanyaan Rangga. Dibiarkan embusan angin memutar tubuhnya yang menggantung di karamantel saat melepaskan pegangan tangan. Prayoga memejamkan mata sesaat.

"Tenang turunnya ya, Bang," kata Rangga dengan suara pelan dari ujung sambungan suara.

Mendengar itu, Prayoga membuka mata. Dilihatnya ke bawah. Namun, tiada yang tampak. Puncak Shiprock setinggi dua kilometer lebih. Jika sekarang ia masih di setengah ketinggian puncak, maka berarti masih sekitar satu kilometer lagi ia mesti turun.

"Ya, Rangga, aku turun lagi," kata Prayoga.

Setelah menarik dan mengembuskan napas panjang, Prayoga meraih kembali sela di dinding tebing. Tangan diulurkan untuk melepaskan deskender yang masih terkait di piton dekatnya bergantung. Lalu, dimasukkan ke dalam kantung di pinggang.

Sambil terus bergantung, karamantel yang tadi terselip di deskender itu, dilemparkan ke bawah. Perlahan kembali Prayoga turun. Satu kakinya diulurkan ke bawah. Lalu, dijejak-jejakkan kaki ke tonjolan tebing yang menjadi pijakan itu.

Setelah dirasa kuat, Prayoga kembali mengulurkan satu kaki ke bawah. Perlahan, satu tangannya pun berpindah pegangan. Karamantel yang masih terkait di webbing tubuhnya dan deskender di dinding bawah, membuat Prayoga tidak khawatir jika tergelincir dan jatuh. Ia turun tetapi sambil meringis menahan sakit.

Pada saat naik tadi, Prayoga dapat mengatasi berbagai lekukan tebing termasuk overhang. Tubuh yang fit ditambah dengan keinginan untuk menjajal jalur panjat, membuat ia dapat menggantung dengan satu sambil tangan yang lain mencekal di sebuah celah. Lalu dengan goyangan tubuh ke atah celah itu, Prayoga dapat mencari jalan untuk naik ke atas lekukan itu. Namun saat turun, Prayoga menghadapi kesulitan untuk mengikuti cara yang dipakai sebelumnya. Mau tak mau, ia harus turun dari lekukan itu untuk dapat menjangkau ke bawahnya.

"Aku kesulitan melewati overhang ini, Rangga."

Sambil berdiam memijak lekukan tebing yang akan dilewati, Prayoga berbicara dengan Rangga melalui alat komunikasi. Dipandangi ke bawah tebing yang masih lebih dari setengah perjalanan lagi. Lalu merundukkan tubuh untuk mencoba berguling dan merayap turun.

"Coba Abang inget-inget dulu cara yang tadi dipakai untuk bisa lewat. Tenang dan coba rileks sambil mikir, Bang."

Rangga menenangkan sambil memandang Bisma yang ikut mendengar pembicaraan itu. Mereka yang memahami kondisi fisik Prayoga sekarang, tidak hendak menggurui. Hanya yakin bahwa sang pendaki prosesional akan bisa mengatasi masalah yang sekarang dhadapi. Berdua melihat ke atas sambil sesekali saling pandang.

"Cara yang tadi, aku justru gak lewat overhang ini, Rangga. Aku naik lewat dari tebing di sampingnya. Cuma ya itu, tadi aku kan lagi kuat. Sekarang, badan semua sakit."

Berpegangan dengan karamantel, Prayoga meraba-raba lekukan bawah overhang itu sambil berbicara dengan Rangga. Ia mengernyit begitu memahami bahwa lekukan itu cukup menjorok ke luar sehingga bagian bawahnya cukup mencuat.

Perlahan, Prayoga menjulurkan satu kaki ke bawah. Karamantel menjadi bergesekan dengan karang tebing yang melekuk itu. Memerhatikan sambil menurunkan kaki satu lagi, kini ia bersiap untuk menggantung. Mendadak rasa sakit yang menyengat, menggerogoti seluruh bahu dan punggung.

"Aaargh! Sakit sekali!" teriak Prayoga.

Rangga dan Bisma di bawah yang mendengar, terlihat sangat cemas. Mereka terus mendongak tetapi tidak sanggup berkata apa-apa. Dalam keadaan seperti itu, akan sangat berbahaya bagi pemanjat jika salah perhitungan akibat kelelahan dan tubuh yang terluka. Kedua tim ofisial pendakian Prayoga sangat memahami sehingga mereka tidak berbicara yang terkesan menggurui.

"Sabar, Bang Yoga. Pasti bisa, Bang. Abang bisa menaklukkan berbagai tebing, berarti Shiprock ini juga bisa diatasi."

Dengan hati-hati Rangga bersuara pelan mengatakan itu. Kepala yang terdongak memandang ke atas tanpa berkedip. Bisma yang sedang terluka, berusaha menahan sakit sambil menemani komunikasi Rangga dengan Prayoga. Ia juga tidak hendak mengatakan apa-apa. Hanya memandang ke atas tebing Shiprock.

---

Paramitha berjalan ke luar kamar tidur dan mengambil telepon dari atas meja ruang tamu. Dipencet tuts angka di telepon genggamnya itu untuk kembali mencoba menghubungi nomor dari Rangga. Namun, kembali sambungan itu gagal.

[The number you are trying to connect is not valid]

Pesan teks yang terbaca itu membuat Paramitha menggelengkan kepala. Ditutup dan diletakannya kembali telepon genggamnya di meja. Lalu, berjalan ke arah TV dan menyalakan. Sambil berbaring di sofa, Paramitha membuka saluran yang menayangkan acara film tengah malam .

"Ada apa ya di sana?"

Paramitha tidak henti-hentinya berpikir. Ia bertanya-tanya pada diri sendiri, mencari tahu kemungkinan yang sedang terjadi. Wajah memandang ke arah layar TV tetapi perhatian tidak mengarah ke situ.

"Gak biasanya alat komunikasi si Rangga itu terganggu sekian lama, gak bisa dihubungi. Mestinya hanya sekian jam aja kalo pun ada gangguan cuaca."

Dahi Paramitha berkerut yang menandakan ia sedang berpikir keras. Sambil membaringkan tubuh di sofa yang menghadap ke TV, ia hanya memandangi layar. Namun rasa kantuk membuat sang pendaki perempuan itu akhirnya tertidur. Sayang sekali, saat sedang tertidur itu terlintas siaran berita ulangan dari topan tornado di New Mexico, Amerika Serikat.

"Telah terjadi topan tornado di wilayah San Juan, New Mexico, Amerika Serikat. Pihak Kedutaan Besar Indonesia untuk Amerika Serikat melakukan pencarian di wilayah itu bersama dengan badan bencana alam setempat. Sampai berita ini diturunkan, belum diketahui nasib tiga orang Indonesia yang sedang melakukan pemanjatan di tebing Shiprock, San Juan. Sementara Kementerian Luar Negeri terus melakukan koordinasi dengan pihak Kedutaan, agar memaksimalkan pencarian."

---

Bersambung

Terjemahan:

[The number you are trying to connect is not valid]

{Nomor yang Anda coba hubungi sedang tidak aktif}