webnovel

5. Sedikit Kenakalan

Tepat ketika Gia memarkirkan mobilnya di halaman kampur, Gia melihat sang kekasihnya yang baru saja turun dari motor sportnya segera datang menghampiri. Pria yang beberapa bulan lebih tua darinya itu hari ini terlihat sangat tampan dengan jaket kulit hitam yang membungkus kaos putih. Mengenakan celana jeans dan sepatu boot berwarna hitam. Kaca mata hitam disangkutkan di kerah leher kaos. Rambutnya sedikit gondrong dan dicat coklat tua. Sewarna matanya yang berwarna coklat madu.

Jason Wills, dengan penampilan yang sempurna tampan itu tentu saja banyak digemari oleh para gadis. Dan sekali dua kali Gia melihat secara terang-terangan gadis yang mencoba menggoda Jason di depannya. Entah kenapa Jason pun tak peduli dengan mereka. Itulah yang membuat Gia pada akhirnya menerima pernyataan cinta pemuda itu. Dan Gia pikir, Jason bukan rekan yang buruk untuk bersenang-senang. Mereka bisa bersenang-senang sepanjang hari, membuat Gia melupakan Dante.

"Hai, babygirl." Jason langsung merangkul Gia yang baru saja keluar dari mobil. Mencium bibir gadis itu dalam satu lumatan yang singkat.

"Kau meninggalkanku?" desis Gia tak sungguh-sungguh kesal, menjauhkan wajahnya dari Jason dengan memanyunkan bibirnya.

Tanpa melepaskan rangkulannya di pinggang Gia, Jason memberi gadis itu cengiran jahilnya. "Aku mendapatkan panggilan dari mamaku. Saat aku kembali, pemilik toko itu sudah membawamu ke kantor polisi. Aku datang ke kantor polisi dan melihat papamu datang mengurus, jadi aku kembali pulang dan lega akhirnya kau bebas."

"Kau sungguh datang?"

Jason mengangguk. "Bagaimana mungkin aku berbohong padamu, babygirl. Apa yang dikatakan papamu?"

"Dia bukan papaku. Bosnya papaku."

"Ah, ya itu. Apa yang dikatakannya?"

"Hanya sedikit kesal. Aku mengatakan kira hanya bersenang-senang." Lebih baik jika Jason berpikiran semacam itu. Jika dia tahu Dante benar-benar akan mencari tahu pria ini, Gia takut Jason akan menjauhinya karena takut. Dante tak pernah mengatakan omong kosong dalam ancamannya. Dan ia tak bisa mendapatkan kekasih yang semenyenangkan Jason. Pria ini jelas tahu cara bersenang-senang.

Jason hanya terkekeh.

"Aku terlambat kelasku." Gia mengurai rangkulan Jason. Kemudian mengambil tasnya dari dalam mobil dan mendorong pintunya tertutup.

"Aku sudah menyuruh Mia mengisi absenmu. Hari ini kita akan bersenang-senang." Jason membawa Gia menghampiri motornya.

Gia tak setuju. Tapi …

"Kita harus bersiap-siap untuk pesta nanti malam, kan? Kita akan menjadi raja dan ratu pesta malam ini."

Gia teringat lalu manggut-manggut. "Kau benar."

Dan begitu saja. Jason membawanya berbelanja, bermain di arena, dan mereka pergi ke pantai. Sorenya Gia mengajak Jason pergi ke salon untuk merapikan poninya yang mulai melewati pipi dan mewarnai rambutnya dengan pilihan warna yang sempurna. Sempurna menarik sedikit perhatian Dante. Ia yakin itu.

Bahkan saat memilihnya saja Gia sudah bisa membayangkan kemarahan yang akan menyelimuti wajah tampan dan seksi pria itu. Dan… entah apakah pria itu memiliki koneksi tertentu untuk setiap kekacauan yang akan –sedang- diperbuatnya hari ini. Ponsel di tasnya berdering.

Gia membacan nama Dante di sana dan senyum tertoreh di bibirnya ketika ia menjawabnya. "Apa kau merindukanku?"

Jason yang rambutnya sedang dipijat di samping Gia langsung menoleh ke samping. Matanya menyipit curiga.

Gia hanya memberi pria itu kerlingan dan mengucapkan kata 'ayah' tanpa suara.

"Di mana kau sekarang?"

"Di salon. Aku bosan dengan warna rambutku."

Dante diam. "Dengan siapa kau pergi?"

"Teman."

"Jangan bilang dengan bocah pengecut itu, Gia."

Gia melirik ke arah Jason yang kembali menikmati perawatan pria itu. "Tidak."

"Jangan berbohong kepadaku, Gia!" geram Dante.

"Aku tidak berbohong," jawab Gia berbohong. Tersenyum dengan kemarahan yang bergemuruh dalam suara Dante. Lagipula saat ini Dante dan Morgan sedang pergi keluar kota. Minimal pria itu kembali pulang adalah tengah malam. Dan Dante pasti bermalam di sana.

Kenapa begitu banyak cara untuk membuat seorang Dante Vacchi marah. Setidaknya ini cukup sebagai bayaran untuk kekesalannya atas kata-kata kasar pria itu tadi malam.

"Aku tahu kau berbohong, Gia."

"Aku juga tahu kau tahu aku berbohong. Apa ini adil?"

"Sialan kau, Gia."

'Kata-katamu terlalu kasar, Dante. Dia masih anak-anak.'

Gia bisa mendengar suara Morgan yang menyela. Mata Gia memutar dengan jengah, ia bahkan lebih sering mendengar kata-kata kasar itu dari mulut ayah angkatnya tersebut.

'Persetan,' umpat Dante. Untuk Gia sekaligus untuk Morga.

Senyum Gia semakin tinggi. Kemudian ia memutus panggilan tersebut dan mematikan ponselnya sebelum melemparnya kembali ke dalam tas. Ia tak bisa mengambil mobilnya yang ia tinggal di kampus. Pengawal Dante pasti sudah mencari jejaknya. Hanya tinggal menunggu waktu sampai petak umpet ini selesai.

"Semua baik-baik saja?"

Gia mengangguk. Setelah rambutnya dibilas, diberi vitamin, dan dikeringkan. Gia menatap penampilannya di cermin dengan puas. Sempurna. Bahkan Jason tak berhenti menatapnya dengan takjub dan melontarkan pujian-pujiannya. Gia percaya dirinya cantik, tapi malam ini ia akan menjadi putri yang menawan.

***

Suara musik yang berdentum menusuk gendang telinga berdentum-dentum tiada henti. Teman-teman Jason pun tak berhenti silih berganti memberi mereka ucapan selamat. Selamat hari jadi yang ke sepuluh.

"Dan rambut yang indah." Tidak satu dua teman yang memuji penampilannya saat ini. laki-laki dan perempuan. Dengan rambut yang dicat warna-warni dan berani, terlihat mencolok dengan slit little black dress yang dibelikan Jason menggunakan kartu ajaib pria itu. Karena jelas Morgan atau Dante akan langsung mengendusnya jika ia menggunakan kartunya untuk bersenang-senang malam ini.

"Ini pesta terbaik dalam minggu ini," puji Gia, melingkarkan kedua lengannya di leher Jason dan mendaratkan ciuman di pipi pria itu.

"Mereka bersenang-senang. Kau ingin kita bersenang-senang juga?" Jason melemparkan kerlingan matanya.

"Ya, tentu saja."

"Ikut denganku." Jason membawa Gia ke tangga spiral di samping bar, Gia naik lebih dulu. Melintasi lorong dengan pintu-pintu di samping kanan dan kiri, lalu berhenti di pintu kayu besar yang ada di paling ujung. Jason meraih kenop pintunya dan mendorongnya masuk.

"Kita bisa bersenang-senang di sini."

"Oh ya?"

Senyum Jason terlalu lebar, dengan maksud yang terselubung. Gia tahu apa yang diinginkan oleh Jason, terlihat jelas di kedua mata pria itu. Ya, memangnya apalagi yang ada di pikiran seorang pria selain kemesuman. Dan karena Jason membuatnya bersenang-senang seharian penuh, rasanya tak ada salahnya ia memberikan sedikit hadiah untuk sang kekasih. Juga untuk hadiah hari jadi mereka.

Di meja sudah disediakan sebotol sampanye yang diletakkan di ember berisi es batu. Set sofa kulit berwarna merah membentuk huruf U. Jason mengambil tempat lebih dulu, di bagia tengah.

"Kemarilah." Jason membuka kedua lengannya untuk Gia.

"Tidak ingi minum dulu?" tawar Gia sambil melangkah menghampiri pria itu

"Kau akan menjadi makanan pembukanya," kerling Jason dengan tatapan nakalnya.

Gia tersenyum, memanjat naik ke pangkuan Jason dengan kedua kaki membuka dan langsung meraih kepala pria itu ke dalam pelukannya. Gia mencium bibir Jason lebih dulu, membuat pria itu mengerang. Pada awalnya lumatan tersebut ringan, sebelum kemudian napas Jason semakin memberat dan menjadi lumatan yang dalam.

Saat ciuman Jason turun mulai turun ke leher Gia dan kedua telapak tangan pria itu mulai menelusup ke balik pakaian Gia dengan menggebu-gebu dan penuh gairah. Mendadak tubuh Gia ditarik ke belakang dan dipisahkan dari Jason.

"Aduhh …" Gia mengaduh ketika tubuhnya diseret ke belakang dan salah satu kakinya terkilir oleh sepatu hak tingginya.

"Apa-apaan ini?" Jason berteriak kebingungan dengan kedua pria yang menahan kedua tangannya di kanan dan kiri, mengenakan setelah serba hitam. Di sekitar bibir pria itu menempel bekas lipstiknya. "Lepaskan!"

Gia membelalak mengenali salah satu wajah daripengawal itu, kemudian ia menoleh ke samping dan terperangah menemukan siapa yang kini tengah mencengkeram lengan bagian atasnya. "D-dante?"