webnovel

Tupi, Tukang Pingsan

Ulangan matematika selesai. Guru pengampu membubarkan jam pelajarannya. Para siswa yang merupakan kloter satu ulangan memasuki kelas.

Satu persatu dari mereka kembali duduk di kursinya. Mereka secara otomatis langsung membuka buku untuk mencocokkan hasil pengerjaan mereka, apakah benar rumus yang tadi digunakan.

"Loh, Jeha mana?"

Novi mencari teman satu bangkunya itu. Ia melihat ke arah pintu tapi tak ada tanda-tanda temannya itu akan masuk.

Masih satu jam lagi sebelum istirahat kedua. Novi berjalan keluar kelas ia mengedarkan pandangan ke teras kelas tapi tentu saja Jeha tak ada di sana.

"Lu tahu Jeha enggak?" Tanya Novi ke temannya yang duduk di pojok depan, dekat pintu.

"Enggak." Jawab siswi itu, ia tak tahu karena sibuk bermain ponsel yang ia sembunyikan di saku rok tadi.

Selsa, si pelaku tersenyum mengejek ke arah Novi.

"Cari aja, paling tuh bocah lagi jerat-jerit." Katanya pelan.

"Beb, mau ke mana?" Edo meneriaki Novi. Pasalnya Novi malah meninggalkan kelas padahal ia tahu sebentar lagi guru BK akan masuk memberi materi. Cari mati jika ada yang kabur dari kelas guru yang terkenal killer itu.

"Lu mau ke mana, Njir!" Ry giliran bertanya pada Edo yang kini mengikuti Novi.

Ry hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia menoleh ke meja Jeha, ke mana perginya gadis itu. Tadi sudah izin terlambat masuk dan sekarang menghilang.

"Ry." Panggil Reni pelan yang mendekat ke arah Ry. Gadis itu berdiri dan menyerahkan kliping hasil diskusi kelas yang telah ia ketik.

"Thanks." Ry menerima uluran kliping itu. Ia memeriksa hasil ketikan Reni. Tentu saja hasilnya rapi dan siap diserahkan ke wali kelas sebagai agenda pentas seni yang sebentar lagi akan diadakan. Setiap kelas akan mempersembahkan pertunjukan dan kliping ini berisi rincian pertunjukan kelas yang sudah melalui kesepakatan.

Ry menoleh, ia menaikkan sebelah alisnya.

"Ada lagi?"

Reni melirik ke meja Selsa, gadis itu sedang memainkan ponsel bersama gengnya. Hari ini sepertinya banyak yang menyelundupkan ponsel.

"Em, itu Ry-"

"Apa?"

"Sebenarnya gue tahu, Jeha ke mana?"

Ry menegakkan duduknya. Ia mengikuti arah pandang Reni yang melihat Selsa.

"Jeha dikunci di kamar mandi sama Selsa."

"Kamar mandi mana?"

Banyak kamar mandi di sekolah ini. Tentu saja lelaki dan perempuan dipisah.

"Gue enggak tahu kamar mandi mana, tapi tadi gue denger mereka ngomong berhasil kasih pelaharan ke Jeha dengan dikunci di kamar mandi."

Sontak Ry langsung berdiri. Entah dorongan dari mana, mungkin karena merasa bertanggung jawab sebagai ketua kelas, Ry akan mencari kamar mandi mana yang mereka gunakan untuk menggurung Jeha.

Reni kembali duduk di tempatnya.

Sebenarnya sejak ia memarahi Jeha, lebih tepatnya sinis dengan Jeha ia merasa bersalah. Kenapa waktu itu ia langsung menilai Jeha seperti itu.

Padahal seharusnya ia malah merangkul Jeha. Jeha yang setiap hari diam, dan seakan terkucilkan merupakan hal yang janggal. Juga, gadis itu bukan dari keluarga kurang mampu, Jeha bahkan bisa ke sekolah dengan seragam dan peralatan sekolah yang layak, serta melihat rumahnya yang besar bukan tidak mungkin membeli sepeda motor lima unit pun Jeha mampu.

Ada yang tidak beres dengan keluarga Jeha, itu yang ada di pikiran Reni. Dan tidak seharusnya Reni membenci Jeha.

Tadi ia mendengar percakapan Selsa dengan temannya. Gadis itu tertawa senang kala berhasil membuat Jeha terkurung di kamar mandi.

Semoga setelah ia memberitahu Ry, temannya itu dapat dibantu untuk keluar dari kamar mandi. Ia juga salah kenapa tadi tak langsung menegur Selsa dan mencari Jeha.

Pintu hati Reni belum terketuk untuk melihat Jeha dari sisi lain tadi.

***

Ry melihat kamar mandi kedua yang akan ia periksa. Kamar mandi ini dekat ruang guru. Ia mengetuk pintu luar terlebih dahulu untuk memastikan ada atau tidak adanya orang. Jika ada suara seseorang bukan tidak mungkin orang itu telah menyelamatkan Jeha, dengan ini pun Ry berharap Jeha berteriak agar dia tahu Jeha ada di dalam.

Serta, ini adalah area perempuan, jadi Ry harus bertindak hati-hati.

Ry tidak mendengar sahutan dari dalam. Ia berasumsi tidak ada Jeha di dalam sini. Jadi Ry pergi dari sana dan menuju kamar mandi lain.

Ia turun dari lantai dua. Kamar mandi selanjutnya adalah kamar mandi dekat ruang kesehatan.

Ry melakukan hal yang sama seperti tadi. Ia mengetuk pintu luar kamar mandi.

Tok!

Tok!

Tok!

Tak ada sahutan dari dalam. Ry sudah berjalan meninggalkan depan kamar mandi itu lagi. Ia sampai di depan tangga yang ia turuni tadi dan ia berhenti.

"Kamar mandi itu pengap." Gumamnya.

Dengan gerakan cepat, Ry berbalik. Ia langsung membuka pintu luar kamar mandi dan masuk. Ia mendorong pintu setiap bilik yang ada di sampingnya.

Satu. Dua. Aman semua terbuka saat Ry mendorong pintunya.

Tapi bilik ketiga pintunya tetap tertutup walau Ry menggunakan tenaga untuk mendorongnya.

"Je!"

"Jeha?"

Ry segera memutar kunci yang menggantung di tempatnya. Ia sempat melihat ke celah pintu dan ternyata ada sepasang sepatu di sana.

Brak!

"Jeha!"

Ry melihat Jeha pingsan dalam keadaan duduk di toilet duduk. Kepalanya miring ke tembok sebelah kanan.

Ry segera mengendong Jeha dan menuju ruang kesehatan.

***

"Je, kok lu bisa ke kunci di toilet sih."

Novi mengelus kepala Jeha.

"Enggak tahu, paling pintu toiletnya rusak jadi kekunci sendiri?" Jeha tentunya tak mau mengatakan yang sebenarnya, ia tak ingin Novi melabrak Selsa dan keadaan semakin runyam.

"Beb, aku bawa in pentol nih."

Edo datang dengan sekresek jajanan yang ia beli. Ada Ry yang mengikuti di belakangnya.

"Tau aja, gue kelaperan."

Novi bangkit dari tempat duduk di samping ranjang. Jeha tertawa kecil melihat Novi yang langsung menyambar kantong plastik yang Edo bawa.

"Eh, mana boleh makan di sini."

Novi keluar dan diikuti Edo.

Jeha menatap keduanya yang berjalan beriringan. Kini fokusnya beralih ke Ry yang sedang menatapnya. Kenapa Ry melihat Jeha seperti itu.

"Harusnya nama lu bukan Jeha."

Alis Jeha menyatu. Terus nama apa yang pantas untuknya.

"Kok?"

"Nama yang cocok itu, Tupi."

"Tupi?"

Ry mengangguk. Ia berdiri di samping ranjang tempat Jeha berbaring.

"Tukang pingsan."

"Ish, baru pingsan dua kali juga." Jeha membela diri. Dua kali yang Ry tahu, sebenarnya saat kelas satu dan dua Jeha kerap pingsan tapi tak sampai dibopong ke ruang kesehatan. Ia akan bangun dengan sendirinya atau dibangunkan Selsa untuk disuruh melakukan sesuatu. Mereka tak tahu jika Jeha sempat tak sadarkan diri.

Bibir Ry berkedut. Ia ingin tertawa melihat bibir Jeha mencibik.

"Makasih sudah bawa aku ke sini, lagi."

Ry mengangguk. Ia menarik nafas berusaha mengontrol diri agar tidak tertawa.

"Makan yang banyak, biar lo kagak hobi pingsan!"

"Biar, badan lu kagak kering begitu banyak in minum!"

"Badan kecil kayak anak sekolah dasar begitu!"

"Diangkat kayak kapas. Ringan banget!"

"Ry, makasih loh atas sarannya. Tapi kok kamu body shaming sih!"

Jeha protes. Ry tak bisa menyembunyikan cengiran bibirnya.

Ia sendiri bingung kenapa jadi cerewet pada Jeha.

"Oke, jangan marah. Gue ke depan dulu."

Jeha merengut. Gadis itu melengos tanpa menyahuti perkataan Ry.