webnovel

Toko Bu Sari

Berangkat sekolah lebih pagi adalah rutinitas Jeha, melewatkan sarapan merupakan kebiasaannya. Kebiasaan yang sebenarnya tidak ingin Jeha lakukan. Selesai menyapu tadi Jeha segera bergegas ke sekolah, kak Mira belum keluar dari kamar saat ia pergi tadi.

Hari ini Jeha mendapat uang saku, seperti biasa jumlahnya lima ribu tak kurang apa lagi lebih.

Berjalan kaki di pagi hari, menikmati sepoi angin membuat Jeha merasa segar. Kendaraan belum sepadat detik-detik jam masuk kantor mau pun sekolah.

Jeha melewati halte bus, ia sebenarnya masih punya uang lebih untuk menaiki bus tapi mengingat perjanjiannya dengan pedagang kemarin malam membuat Jeha harus berfikir dua kali untuk menjajakan uangnya.

"Bagaimana cara, dapat duit di waktu yang singkat." Jeha bergumam. Tepat setelah mengatakan itu, matanya memandang ke arah kursi halte yang sepi tidak ada penumpang karena calon penumpangnya telah masuk ke bus yang baru saja lewat.

"Dompet."

Jeha melihat beberapa orang yang baru saja masuk bus. Segera saja, Jeha menyambar dompet itu.

"Bu! Mbak! Dompetnya."

Bus yang baru saja ketambahan penumpang itu mulai meninggalkan halte. Jeha panik bukan main, memang tadi ia sedang bertanya pada Tuhan cara mendapat uang yang banyak dalam waktu dekat tapi bukan begini juga dong.

Jeha berusaha mengejar laju bus yang masih pelan. Namun lama kelamaan bus semakin cepat.

"Buset tuh sopir. Kenapa kagak lihat gue, spionnya burem kali!"

Jeha mendumel seraya ngos-ngosan. Padahal jika di drama Korea kesukaan sang kakak adegan ini akan berakhir dengan bus berhenti karena sopir melihat seorang yang mengejar busnya.

Merasa usaha yang ia lakukan sia-sia, Jeha berhenti, ia memilih mendekati tukang ojek yang tak jauh dari sana.

"Bang, tolong kejar bus itu!"

"Siap, Neng."

Si abang segera melajukan motornya. Ia bahkan memberi helm kepada Jeha dengan keadaan motor melaju.

"Bang, salip busnya, Bang!"

"Woke, Neng."

Wush!

Motor melaju mengikuti bus. Sedikit lagi motor yang Jeha tumpangi bisa menyalip bus tapi lampu merah yang menggantikan lampu hijau membuat motor itu terpaksa berhenti.

"Yah, Bang. Gimana dong ini?"

"Tenang, Neng. Nanti busnya berhenti di halte dekat pasar. Begitu lampu ijo, Abang gas ini motor."

Jeha mengiyakan. Ia menatap lampu hijau yang menurut dirinya lebih lama dari biasa.

"Jalan, Bang!"

Bruum!

Wush!

Jeha berpegangan pada belakang motor. Helmnya yang kebesaran membuat Jeha merasa akan terjungkal.

"Tuh, Neng busnya."

Cekit!

Motor si abang berhenti tepat saat bus berhenti di halte depan pasar.

"Ini, Bang. Terima kasih."

Jeha menyodorkan sejumlah uang. Ia bergegas memburu bus sebelum busnya kembali berjalan.

"Neng, helmnya!"

Jeha meringis, ia melepas helm tersebut dan memberikan ke abang ojek. Tak lupa mengucapkan maaf dan terima kasih kembali.

"Stop, Pak!"

Teriakan Jeha pada sopir bus mengundang perhatian. Semua yang berada di bus melihatnya, bahkan yang baru akan duduk melongo melihat Jeha.

"Kenapa, Neng? Mau naik, sok atuh!"

"Eh, bukan. Saya bukan mau naik bus nya."

"Lah? Ya sudah ming-"

"Tapi, saya mau ngembali in dompetnya penumpang bus ini."

Si sopir bus memberi isyarat agar Jeha melaksanakan niatannya.

"Permisi, Mbak, Bu. Ada yang kehilangan dompet. Tadi saya nemu di halte mall."

"Bukan punya saya, Dek. Tadi saya naik dari halte mall sama ibu-ibu tapi Ibunya baru saja turun."

Bahu Jeha merosot. Ternyata ibu yang berjalan cepat melintas di depannya tadi si pemilik dompet. Em, sembilan puluh persen si pemilik dompet.

"Baik, terima kasih, Mbak. Pak sopir maaf mengganggu perjalanan. Terima kasih."

Jeha turun, ia berlari ke arah pasar sesuai arah jalan si ibu tadi. Kalau tidak salah si ibu memakai jaket hitam, celana cokelat, dan kerudung cokelat tua.

Matanya mengedar ke segala arah. Belum juga masuk ke area pasar tapi keadaan sudah ramai. Jeha melihat perawakan yang mirip si ibu tadi, Jeha segera berjalan mendekat.

"Permisi, Bu."

Ibu yang sedang mengaduk isi tasnya menoleh. Ia tampak tergagap kala Jeha menepuk pundaknya.

"Iya, Dik?"

Jeha yakin jika ibu ini sama seperti ibu yang melewatinya tadi.

"Maaf, Bu. Apa Ibu kehilangan dompet."

Dengan cepat ibu tersebut mengangguk. Ia tadi ingin mengambil kunci toko dari dalam tas, lalu ia baru menyadari jika dompetnya tak ada di sana.

"Alhamdulillah, ini Ibu dompetnya. Tadi saya lihat dompet ini di atas kursi halte dekat mall."

"Alhamdulillah, terima kasih Dik Jeha?"

Ibu itu melirik ke name tag sebelah kanan Jeha. Jeha mengangguk, memang begitu itu dipanggil.

"Dik Jeha, ayo ke sini sebentar."

"Eh, tap-"

"Ayo, Dik. Ke toko Ibu sebentar."

"Iya, Bu."

Demi menjaga kesopanan, Jeha ikut saja saat tangannya ditarik. Tak jauh dari tempatnya menyerahkan kunci, ibu menuntun Jeha ke sebuah bangunan toko dekat tempat parkir. Ibu pemilik toko segera membuka kunci dan menarik pintu toko ke atas.

Bunyi gesekan pintu yang tergulung memekakkan telinga.

Jeha melihat toko sembako milik ibu itu. Lengkap tapi sedikit berantakan.

"Dik Jeha, terima kasih ya." Sembari menyalami Jeha dan memberikan sejumlah uang. Jeha tentu saja menolak.

"Bu, Jeha In Sya Allah ikhlas."

Ibu itu menggeleng. Ia tetap memberikan sejumlah uang kepada Jeha.

Jeha kembali menolak tapi si ibu bersikeras memberikan uang untuk Jeha.

"Baik, terima kasih, Bu."

Tinggal beberapa menit lagi bel sekolah akan berbunyi, jangan sampai Jeha telat masuk sekolah karena perdebatan soal uang ini.

"Sama-sama, Dik Jeha."

"Kalau begitu Jeha pamit ya, Bu."

Belum sempat Jeha meraih tangan si ibu untuk disalami. Bunyi barang jatuh membuat keduanya menoleh.

Brak!

Jeha dan si ibu sama-sama terkejut. Ibu tadi langsung memeriksa apa yang terjadi. Ia membuka pintu tempatnya menyimpan barang dagangan.

"Astagfirullah."

Jeha ikut melihat. Ternyata sekarung tepung terjatuh dari tumpukan.

"Beginilah Dik Jeha. Kalau enggak ada yang bantu Ibu pasti pekerjaan jadi keteteran. Biasanya ada anak sama Suami, Ibu. Tapi ini anak Ibu baru saja pindah kuliahnya ke luar kota dan Suami Ibu lagi ke rumah mertua."

Tanpa Jeha minta si ibu menceritakan keadaannya.

"Libur beberapa hari bukannya refresh malah stres, Dik Jeha. Soalnya Ibu harus cari orang buat bantu Ibu di warung, setidaknya yang bisa ngepack sama ngemas in tepung, gula, dan yang lain."

Sebuah ide muncul di kepala Jeha.

"Em, Jeha bisa bantu Ibu."

"Tapi Jeha bisanya bantu Ibu setelah pulang sekolah." Lanjut Jeha.

"Oh, enggak apa Dik. Kamu bubar sekolah jam setengah empat, kan? Sekolah kamu juga dekat dari sini." Seraya melihat almamater sekolah di lengan baju Jeha.

"Iya, Bu."

"Kebetulan toko Ibu sampai jam setengah tujuh bukanya. Soalnya kalau sore juga banyak loh ke pasar sore."

Jeha mengangguk, toko ini berada di luar pasar. Satu deret menyamping juga dibuka untuk toko. Ada sembako sama halnya dengan milik si ibu, ada juga warung soto dan makanan lain.

"Oh ya perkenalkan saya Bu Sari. Mulai nanti sore Dik Jeha bantu Ibu ya, enggak apa, kan sama orang tua Dik Jeha?"

Orang tua, bahkan Jeha tak pulang sekali pun mereka tak akan menyadari itu.

"Nanti saya hubungi orang tua saya, Bu."

Selesai dengan kesepakatan mereka, Jeha meninggalkan toko bu Sari. Tinggal sepuluh menit lagi dan bel sekolah akan berbunyi. Seperti kata bu Sari, pasar dengan sekolah Jeha cukup dekat jadi Jeha memutuskan untuk berlari sampai ke sekolah.