webnovel

Tawaran Pulang Bersama

Novi menatap keduanya dengan tajam. Sungguh sejak awal ia risih dengan Edo dan sekarang si ketua kelas yang dari name tagnya bernama Ry juga sama menyebalkan.

"Sorry, gue enggak sengaja." Ry meminta maaf.

"Lu kalau minta maaf sama Jeha bukan sama gue." Dengan nada bicara tinggi.

"Novi, lu dicari guru BK."

Reni datang bersama si bendahara, ia membawa perintah dari guru bimbingan konseling agar memanggilkan Novi.

"Ada apa?"

"Enggak tahu. Kayaknya disuruh isi berkas biodata. Setiap tahun emang begitu, kemarin kelas kita disuruh ngisi."

Novi bingung. Bagaimana dia bisa meninggalkan Jeha dengan keadaan seperti ini.

"Duluan ya." Reni berpamitan.

"Thanks."

Sekarang siapa yang akan menunggu Jeha sampai sadar jika ia harus menghadap guru BK.

"Lu, tunggu Jeha sampai sadar. Gue enggak mau tahu, pokoknya tunggu Jeha. Minimal sampai gue balik ke sini lagi." Novi menunjuk Ry.

Ry mengangguk saja, ia memang yang menyebabkan anak orang celaka jadi ini adalah salah satu bentuk pertanggung jawaban.

Novi langsung berbalik dan menuju ruang bimbingan konseling.

"Duluan, Bro." Edo dengan santai meninggalkan Ry. Tapi tanpa perasaan Ry menarik lengan belakang Edo.

"Lu mau ke mana? Temen in gue lah."

"Dari pada nemenin elu, mending gue nemenin Novi." Lalu menepis cekalan tangan Ry dan segera berlari mengikuti Novi.

"Sialan!" Ry memaki temannya itu. Jadi sekarang ia yang menunggu Jeha.

Ceklek!

Ry menoleh ke arah pintu ruang kesehatan yang terbuka. Di sana menampilkan petugas kesehatan.

"Dia udah sadar, Ry. Gue ambil teh anget dulu. Tadi gue kompres keningnya."

Ry mengangguk paham. Ia memberi jalan petugas itu untuk mengambil teh hangat. Ia menoleh ke dalam ruangan lalu masuk.

Ia melihat Jeha menekan kompresnya di bagian kening. Entah inisiatif dari mana, Ry mengambil kompresan itu dan menggantikan tangan Jeha.

Jeha terkejut bukan main. Rasa pusingnya sedikit berkurang karena menyadari ada orang yang menungguinya.

"Masih pusing?"

"I-ya." Jeha menggigit bibir dalamnya. Kenapa suaranya jadi tercekat seperti ini.

"Sorry, gue enggak sengaja tadi."

Jeha mengangguk pelan. Ia melirik sebentar ke wajah Ry yang makin tampan dari bawah sini. Duh, jantung Jeha berdetak tak karuan.

'Novi ke mana coba?' Batin Jeha menjerit. Jika begini terus Jeha bisa-bisa pingsan lagi.

"Em, kalau mau ke kelas, ke kelas aja. Aku bisa sendiri kok."

Jeha mencoba mengambil kompresan yang sedang dipegang Ry, tapi malah tangan Jeha memegang tangan Ry. Akhirnya mereka saling tatap. Ry menaikkan sebelah alis begitu tersadar tangan Jeha berada di atas tangannya.

"Eh, maaf." Jeha menghembuskan nafasnya dengan pelan. Kenapa ia bertindak sembrono seperti itu?

Ry mencoba bersikap biasa saja dengan terus menekan kepala bagian samping Jeha dengan kompresan.

Jeha yang takut melakukan suatu kesalahan hanya diam, ia bingung mau apa jika seperti ini. Berdua dengan lelaki ini di dalam ruang yang pintunya tertutup adalah kesalahan besar.

"Udah mendingan?"

Jeha mengangguk sebagai jawaban. Ia masih merasakan pusing tapi tak sehebat tadi.

Ceklek!

"Ini, teh angetnya. Ayo, Je minum dulu!"

Jeha mencoba bangkit. Tak ia sangka Ry membantu menegangkan tubuhnya dengan memegang kedua lengan.

Aliran seperti sengatan listrik menjalar ke tubuh Jeha. Padahal lengan Jeha masih tertutup seragam tapi kenapa reaksinya sebesar ini.

Dan lagi, Ry juga memegang segelas teh hangat itu agar mempernudah Jeha untuk minum.

Petugas kesehatan yang melihat itu tersenyum kecil. Ia lalu pamit karena masih ada beberapa urusan di kantor tentang penyuluhan kesehatan yang akan diadakan sebentar lagi.

"Je, tinggal dulu ya. Tolong dijaga Jehanya!" Katanya seraya melirik Ry di akhir kalimat.

Ry mengiyakan. Jadilah mereka kembali berdua. Kali ini Jeha tak lantas berbaring lagi, ia mencoba menghabiskan teh hangat setelah mengambil alih pegangan pada gelas itu.

"Ry, balik ke kelas saja!"

Hening beberapa detik sebelum Ry menjawab.

"Oke." Lalu dia beranjak dari dalam ruangan itu.

Jeha merasa kehilangan begitu sosok Ry beranjak.

"Huh." Pundak Jeha melorot. Ia meletakkan gelas yang isinya tinggal seperempat itu di atas nakas samping ranjang pasien.

Kemudian Jeha kembali berbaring dan mencoba memejamkan mata.

Wangi parfum yang berasal dari baju seragam Ry seperti masih melekat di ruangan ini.

Setidaknya Jeha masih bisa memiliki wangi parfum itu di sini untuk dirinya sendiri. Walau untuk memiliki si pemilik parfum adalah kemustahilan.

"Mikir apa sih, Je?"

***

"Lho, kok lu di luar?"

Novi sudah menyelesaikan urusannya di kantor guru. Ia tak lantas pergi ke kelas, melainkan kembali ke ruang kesehatan untuk mengecek temannya.

Dan yang membuatnya heran adalah saat menemukan Ry di depan ruang kesehatan, lelaki itu duduk di kursi panjang depan ruangan.

"Udah selesai?"

"Udah."

Mendapat jawaban dari Novi, Ry pun beranjak dari sana. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun dan berlalu begitu saja.

"Dasar aneh!" Novi menggelengkan kepala. Orang seperti itu kok bisa banyak yang suka. Kalian tidak perlu heran di mana Novi tahu hal itu. Padahal baru hari pertama ia berada di sekolah ini tapi ia sudah bisa menilai jika Ry adalah incaran para adik kelas dan teman seangkatan.

Dari pada pusing akibat Ry tidak menjawab pertanyaannya, Novi memilih masuk dan segera menghampiri Jeha.

Novi memelankan langkah begitu ia melihat Jeha yang sepertinya terlelap. Tak mau ambil pusing, Novi duduk di kursi single dekat ranjang dan ikut tertidur. Hitung-hitung menyambung mimpinya tadi.

***

"Lu, bareng gue aja, Je!"

Jeha menggeleng. Mana bisa ia pulang bersama Novi jika rumah mereka berlawanan. Tidak enak yang ada dirinya.

"Sebelumnya terima kasih sudah nawar in aku, Nov. Aku enggak bisa bikin kamu repot dengan kamu harus putar balik dari rumah aku." Jeha berusaha menolak dengan sopan. Mereka sedang berada di kelas dengan punghuninya tinggal mereka.

"Deket, Je. Santuy."

"Emang lu, mau naik apa? Angkot jam segini susah nyarinya."

Duh, masa Jeha jujur jika ia akan berjalan.

"Ada kok, banyak. Udah ya, aku duluan. Terima kasih."

Jeha buru-buru bangkit, ia berlari kecil menuju pintu kelas.

"Balik sama gue!"

Jeha terkejut melihat Ry yang bersandar di tembok samping kelas.

"Eh?"

Ry berjalan dulu meninggalkan Jeha yang masih berdiri di dekat pintu.

"Aku bisa pulang sendiri!"

Ry membalikkan badan, hal itu bertepatan dengan Novi yang sudah berdiri di belakang Jeha dan Edo yang kembali dari kamar mandi.

"Je, udah lu sama Ry aja! Itung-itung buat tanggung jawab udah bikin lu pingsan." Kata Novi mengompori.

Bisa-bisa ia pingsan lagi jika pulang bareng Ry.

"Benee tuh kata, Novi. Je, lu bareng Ry gue bareng Novi. Iya enggak, Novi cantik?" Novi berlindung di belakang tubuh Jeha yang kecil. Ia bergidik ngeri karena melihat senyum Edo yang menyebalkan.

Berbeda dengan mereka berdua, kini Ry malah bertatap-tatapan dengan Jeha. Dapat Ry lihat pelipis Jeha berwarna merah. Ia merasa bersalah sejak tadi.