webnovel

Kamera Baru

"Kenapa di situ sayang?"

Kini sang kakak berjalan ke arah Jeha. Jeha segera bangkit, ia berusaha mengatur mimik wajah agar terlihat biasa saja.

"Em, tadi buru-buru masuk rumah takut tambah basah, Kak jadinya istirahat di sini bentar."

Melihat adiknya yang hampir basah kuyup, ia menyuruh Jeha untuk segera mengganti seragamnya.

"Kalau begitu, Jeha ke kamar dulu ya, Kak."

"Iya, cuci tangan cuci kaki terus makan ya."

Jeha mengangguk dan berlalu dari hadapan sang kakak. Perkataan tadi selalu Jeha dengar jika pulang sekolah dan kakaknya berada di rumah.

Biasanya seorang ibu yang mengatakan demikian tapi ini adalah kakak perempuannya. Tak apa, Jeha senang masih ada yang peduli dengannya.

Saat melewati ruang tamu, Jeha dapat mendengar suara ibu yang sedang berbicara dengan seseorang. Sepertinya ada tamu, tumben sekali ibunya memasukkan orang asing ke rumah.

"Iya, Mbak. Si sulung lagi kuliah kedokteran, terus kembarannya jurusan bisnis sambil ikut bantu di bakery."

Jeha mendengar ibu yang menceritakan kedua kakak kembarnya. Ia tak ingin mengganggu obrolan kedua ibu itu tapi jika tidak lewat ruang tamu ia tak bisa ke kamar mandi. Kamar mandi yang ada di dekat dapur sedang diperbaiki saluran airnya dan satu-satunya kamar mandi yang bisa Jeha pakai adalah kamar mandi tamu.

"Wah, beruntung sekali. Nanti kalau sudah lulus, Mbak tinggal panen deh." Keduanya tertawa.

"Permisi." Jeha menundukkan kepala.

"Loh? Ini?" Tamu tadi mengamati Jeha.

"Oh, ini yang paling kecil."

"Oalah."

Jeha memberikan senyum dan anggukan. Ia ingin menyalami tamu mamanya tapi ia takut salah langkah.

Setelah menyapa dengan ala kadarnya, Jeha berlalu untuk segera menuntaskan hasrat buang air kecilnya.

"Manis ya."

Sebelum benar-benar menutup pintu, Jeha mendengar samar-samar pembicaraan kedua ibu tersebut.

"Aduh, Mbak. Itu anak malesnya minta ampun, maaf ya tadi malah dilewati gitu aja. Memang susah didikannya, Mbak. Padahal saya selalu bilang kalau ada tamu itu harus salim."

Tuh, kan Jeha salah lagi. Memang ia tak pernah benar jika berhadapan dengan ibunya. Jeha jadi teringat dulu saat ia kecil, ada teman mamanya yang berkunjung, saat itu Jeha baru saja selesai bermain di taman.

Karena tak ingin dicap kurang sopan, Jeha menyalami teman mamanya itu yang sedang duduk mengobrol bersama mama. Dan apa yang Jeha dapat, mamanya malah marah karena saat Jeha berlalu ke kamar teman mamanya itu mengomentari Jeha yang dekil, dan kotor.

"Huh." Jeha berusaha mengatur emosinya. Bukannya sudah biasa ia dipermalukan oleh mamanya sendiri.

Ini alasan Jeha tak mau sampai Ry tahu jika mereka bertetangga. Biarlah jika mama Jeha marah-marah dan berteriak, Ry tak kan tahu jika yang diteriaki itu Jeha.

***

Jeha sedang di kamar Mira. Seperti biasa, keduanya sedang mencorat-coret demi mengusir kejenuhan. Sebagai anak rumahan yang hanya keluar saat tertentu, baik Jeha mau pun Mira keduanya harus memikirkan kegiatan yang akan mereka lalui untuk menunggu kantuk.

"Wih, semakin bagus ya gambar kamu."

Mira melihat gambaran Jeha, di sana Jeha sedang menggambar seorang lelaki dengan seragam sekolah.

Mira memicingkan mata, ia curiga sesuatu.

"Kamu naksir orang ya?"

Jeha sontak menoleh. "Enggaklah, Kak. Aku mana ada waktu buat begitu."

Lebih tepatnya, mana ada keberanian buat menyukai lelaki itu.

"Alah, walau pun Kakak enggak pernah sekolah. Kakak tahu kalau kamu ini sedang merasakan indahnya putih abu-abu."

Jeha mencibir. Sok tahu memang kakaknya ini.

"Apa sih, Kak. Ini Jeha gambar tokoh yang ada di komik. Kemarin Jeha baru pinjem komik di perpus."

"Loh, perpus juga ada komiknya?"

Tok!

Tok!

Ceklek!

"Sayang, makan dulu yuk."

Pembicaraa mereka terinterupsi mama. Jeha melihat jam yang ada di dinding. Ini waktunya kak Mira makan dan minum obat.

"Je, kamu mau makan lagi?"

Jeha menggeleng. Ia sudah kenyang. Lagi pula ia telah mendapat makan malamnya tadi.

"Bentar, Ma. Aku cuci tangan dulu."

Mama mengangguk. Ia beranjak dari sana dan kembali menutup pintu.

Mira turun dari kasur. Ia merogoh kolong tempat tidur dan mengambil sebuah kotak yang berukuran sedang.

Jeha menghentikan sapuan pensilnya. Ia merubah posisi tengkurap menjadi duduk.

"Apa nih, Kak?"

"Ini kado buat kamu."

"Ha?" Jeha meraih kotak itu.

"Dalam rangka apa, Kak? Ulang tahun Jeha masih beberapa bulan lagi."

"Ish, anggap Kakak beri DP ke kamu."

Jeha mengangguk. Ia dengan antusias membuka simpul tali yang menyegel kotak itu.

"Ha? Wah! Kamera."

Jeha mengambil sebuah kamera yang ada di dalam kotak tersebut. Kamera berukuran sedang itu pas di genggaman tangan. Bentuknya yang simple dan berwarna hitam pas sekali dengan selera Jeha.

"Kamu suka?"

Jeha mengangguk dengan antusias. Dari dulu ia suka dengan kegiatan mengambil gambar atau yang disebut fotografi. Setiap kali pergi makan keluar, Jeha selalu menjadi tukang foto dan ia senang akan hal itu. Meski tak pernah diajak untuk foto bersama selain oleh kakaknya, Jeha bisa menyalurkan kegemarannya itu.

"Tapi, kameranya pasti mahal ya, Kak?"

"Kamu ini, mahal dikit juga enggak apa. Setahun sekali aja belum tentu Kakak kasih kamu kayak begini. Lagi pula, ini pakai uang Kakak sendiri. Komik online Kakak laku keras."

Mata Jeha berbinar. Harapannya untuk karier sang kakak terkabul. Mira yang tak bisa mengikuti sekilah formal memilih seni lukis sebagai bidang yang ia geluti. Dan sekarang sedang sibuk merampungkan komik onlinenya di salah satu aplikasi.

"Alhamdulillah."

"Tapi, Mama?"

"Berarti Mama enggak boleh tahu. Ini rahasia, oke!"

Jeha mengangguk dengan ragu. Ia memeluk sang kakak dan berterima kasih. Jika tak ada kakaknya, mungkin ia tak akan bertahan sampai hari ini.

"Makasih, Kak."

Mira mengelus punggung adiknya. Ia merasa tubuh itu semakin kurus. Mata Mira berkaca-kaca, andai ia terlahir normal mungkin Jeha tak harus melakukan semua ini.

Ia sengaja memberi Jeha kado jauh sebelum hari ulang tahunnya karena ia sendiri tak yakin akan bertahan sampai hari itu.

"Sama-sama, setelah ini kamu harus mengembangkan bakat kamu. Oke?"

Jeha tersenyum. Sepertinya kakaknya ini sudah tahu jika ia senang dengan fotografi.

"Kalau begitu Kakak turun dulu. Harus minum obat. Huh, padahal Kakak benci banget sama benda kecil itu. Mana pahit lagi."

Jeha mengelus punggung tangan Mira.

"Semangat dong, kata Papa dikit lagi, kan?"

Mira tertegun. Gadis polos di depannya memang tak mengetahui semua.

Ia berusaha memaksakan senyum di depan Jeha.

"Oke."

Mira beranjak dan turun dari kasur. Jeha memperhatikan sang kakak dari arah belakang. Ia menghembuskan nafasnya dengan panjang. Orang sebaik dan selembut kakaknya harus bergantung pada obat-obatan.

Jeha seharusnya tak boleh banyak mengeluh. Meski di sekolah ia sama tak dianggapnya seperti di rumah, setidaknya ia bisa merasakan sekolah formal seperti anak lain.

Tak mau bersedih, Jeha memilih mengotak-atik kamera baru yang diberi Mira. Kameranya sudah siap digunakan.

"Asyik."

Jeha memotret dirinya sebagai foto pembuka.

"Wih, keren."

Jeha sangat antusias, karena gambar yang dihasilkan jernih.

Ia turun dari tempat tidur. Dan mencari objek untuk dipotret.

Ia bahkan sampai keluar dari kamar Mira untuk memotret pemandangan di luar. Tepatnya dari atas balkon.

Jeha mengarahkan kameranya ke kanan dan ke kiri guna mencari spot yang bagus.

"Eh?"

Jeha menurunkan kamera dari wajahnya. Ia tak salah lihat bukan?

Di sana, seorang lelaki sedang berdiri.

"Ry?"

Jeha mengarahkan kembali kameranya ke arah Ry yang sedang berdiri di balkon rumah. Jeha tak menyangka jika berdiri di sini dapat melihat Ry yang sedang menikmati angin malam.

Ini berkah atau malah bencana. Iya bencana, jika seperti ini bukannya Jeha malah lebih terbayang-bayang oleh Ry.

Jeha tak mau kehilangan moment. Ia memotret beberapa kali ke arah Ry dari samping.

Saking asyiknya mencuri foto, Jeha sampai kaget saat Ry mengarahkan pandangan ke arah balkon rumahya.

Ia dengan cepat berjongkok dan berusaha bersembunyi di pembatas balkon. Semoga Ry tak melihat dirinya.

Cukup lama Jeha dengan posisi itu. Ia bahkan merasakan kram di kaki. Selesai meyakinkan diri bahwa keadaan sudah aman, Jeha dengan pelan berdiri.

Dan, memang keadaan sudah aman. Ia tak menemukan Ry di sana.

"Huh, aman."

Jeha memilih masuk ke rumah. Tak lupa ia menutup pintu balkon rumahnya.