webnovel

I'm Afraid That Zombies Will Visit

Laura mengangguk lalu menambahkan, "Kak Mila datang, setelah sepuluh strip paracetamol meluncur ke dalam lambungku. Hingga pada keesokan harinya, aku membuka mata dan ada di bawah naungan rumah sakit setempat. Kakak menyelesaikan segala administrasi terkait, yang bahkan lupa kuhitung berapa jumlahnya, menggunakan uang asuransi ayahnya..."

Laura berbalik mengirim senyum teduh sarat kasih padaku. Telingaku masih anteng dengan omelan Hendery dan lainnya yang membuat perutku serasa digelitiki ribuan jin. Baiklah itu berlebihan. Manis sekali, setelah itu mereka; Laura dan Jeffrey kembali berhadapan.

"Kalian berdua wanita hebat!" Jeffrey berdecak kagum, dengan tarikan bibir yang melengkung ke atas. Aku melenyapkan ponsel ke dalam saku, tepat setelah ada bunyi bip sebagai tanda panggilan berakhir terdengar.

"Lau... besok akan ada dua pegawai baru, aku ingin kau mengajarinya basic membuat kopi. Aku hanya akan membantu satu hari saja, untuk hari ke dua apa kau bisa menangani semuanya?" kataku sambil berjalan menghampiri mereka.

Samar namun jelas terdengar, Jeffrey bertanya mengapa Aku tidak bisa membantu Laura? Dengan polosnya, adikku menyinggung hari tersebut. "Ada apa dengan tanggal tiga?" Jeffrey sontak saja bertanya. Aku menyergah dengan cepat, sesampainya di depan meja yang mereka tempati.

Adikku sudah berniat menjawab dengan polosnya, "Bukan apa-apa, ini terlalu berlebihan untuk dibicarakan sekarang!" Agak emosional memang, tapi bukankah dia terlalu banyak mengetahui tentang kami dibanding kita yang mengetahui tentangnya?

Aku juga tidak tahu, apa saja yang dibicarakan Laura dan Jeffrey—hingga berjam-jam seperti ini. Lagipula ini kan sudah sore. "Apakah kalian tidak merasa lapar?" tanyaku secara spontan. Jeffrey sempat bertanya, adakah restoran rekomendasi dari kami? Karena sekalian saja ia berniat mentraktir kita berdua.

"Aku akan memasak. Jika kau bersedia menunggu," Mata Laura berdenyar-denyar, pada pria yang kebetulan intens menatap padanya juga. Jeffrey sedikit memegang leher, sebelum menggaruk belakang kepalanya—seperti merasa tidak enak dan sungkan dengan adikku.

"Tentu... kurasa Aku akan menunggu, tapi ini kan terlalu merepotkan?" tanyanya.

Adikku sekarang jadi lebih responsif, "Tentu tidak, anggap saja ini tanda pintu pertemanan kita." balasnya.

Laura langsung bangkit dari tempat duduk dengan semangat. Dia telah berjalan melewati satu meja dan memang akan pergi ke dapur yang ada di lantai dua. Namun pergerakannya benar-benar terintrupsi, karena Jeffrey mendapatkan sebuah panggilan.

Dering telepon beruntun, terdengar dari ponsel yang ada di dalam saku jaket Jeffrey. Tidak lama untuk ia mengusap layar sentuh tersebut dan di dekatkan pada telinga. Namun, rautnya tampak lebih serius dengan decakan bibir yang tidak jelas. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu.

Hal yang mendadak, seperti pusaran angin topan yang menggerus semua paras tenang yang sebelumnya Jeffrey selalu bawa. Beberapa kali ia menggigit bibirnya dengan gemas dan suaranya menegas, "Aku masih ada di Kopi Paradise Falls." jelasnya. Alis Jeffrey kemudian bertemu di bagian tengah, ketika telepon tersebut berakhir.

"Apa ada masalah?" Aku mencoba bertanya dan mendekat, sementara Laura telah mematung seperti manequin, dia terlihat bingung; antara mau kesini atau secepatnya ke dapur.

Jeffrey buru-buru berdiri, matanya sudah tidak fokus lagi, "Maaf aku tidak bisa makan bersama kalian kali ini. Aku harus pergi!"

Laura lantas menjawab dengan nada kecewa, "Baiklah! Hati-hati di jalan..." Jeffrey mengiyakan dan setelah itu, dia pergi menuju mobilnya dengan berlari kecil. Membuka pintu kendaraan hingga debumnya jelas terdengar, sebelum mematahkan setir dengan tajam guna keluar area parkiran.

Menjelang malam, kita sudah berada di meja makan menikmati nasi hangat plus ayam goreng mentega. Hanya ini yang tersisa, aku bahkan tidak ingat sudah berapa lama ayam ini berdiam dalam freezer—yang penting masih layak. Karena kedatangan Jeffrey, kita jadi tidak sempat ke pasar untuk membeli bahan makanan.

Dua jam berselang kami; Aku dan Laura sudah menyimpuhkan diri di depan televisi dengan facemask lemon; yang pada belakang kemasannya diklaim mengandung vitamin dan essens—membuat wajahmu glowing. Aku bergeser ke karpet tebal hijau dan mulai merekap data-data ke dalam Excel dengan teliti.

Penghasilan dua minggu ke belakang, harus diperhitungkan dengan benar. Aku menegakan punggung mematikan laptop dan menutupnya, ini sudah selesai. "Masih banyak notifikasi yang masuk lho kak," ujar Laura memperlihatkan ponselnya, aku segera masuk ke berbagai media sosial milik Paradise Falls dan membalasnya.

Laura ikut selonjoran di karpet, membuat aku iseng tidur di atas pahanya. "Kurasa kita harus membatasi kolom komentar di instagram kak..." tambahnya lagi.

"Hmm, boleh aja biar rapi." Aku bergumam dengan pandangan fokus, pada feed yang dibagikan para followers. Ada satu postingan yang aneh menurutku, ini tentang pembunuhan berantai yang terjadi di Amerika Serikat, pada tahun 81-an. Konon itu terjadi lagi di abab dua puluh satu seperti sekarang.

Beberapa orang disinyalir, telah membentuk sekte-sekte dan setiap anggota nya disebar ke berbagai negara untuk mencari target wanita independen di bawah 30 tahun sebagai tumbal. Itu berguna untuk membuat para anggotanya, berumur panjang tanpa mengalami penuaan.

Tidak masuk akal sekali. Hingga tidak lama kemudian, suara ledakan besar disusul bisingnya helikopter mendarat—tertangkap oleh telingaku dengan jelasnya. Langsung menurunkan ponsel dan menatap nanar pada adikku. Ia memasang mata belotot, dengan raut yang sangat... biasa saja.

Kami serempak melihat kedepan televisi, dan melihat kembali film action yang berjudul Bloodshot; di bintangi oleh Vin Diesel. Pada menit ke-48 memang ada adegan baku tembak di dalam layar kaca tersebut. Jam dinding di atas televisi, menunjukkan pukul dua belas malam. Mataku sudah memberat dan terasa pedih akibat menahan kantuk.

"Aku sudah mengantuk Nin..." Sambil menutup mulut dan bangun setelah Nina mengangguk dan berkata, "Iya aku juga juga sudah tidak kuat lagi, kita lanjutkan besok saja." Dia mengambil remote di atas sofa, guna mematikan layar kaca tersebut.

TING NUNG! Aku menghentikan langkah dan Laura masih berada di depan nakas, menaruh remote dengan berhati-hati dan berfikir mengenai hal yang sama, "Apa itu suara bel ke rumah kita?"

Aku menggeleng karena tidak biasanya ada yang berkunjung sampai diatas jam 12 malam seperti ini. Barangkali itu orang atau tamu yang datang pada rumah tetangga sebelah pikirku. "Kita biarkan saja..." putusku tanpa berfikir panjang.

TING NUNG!

Berbunyi lagi... dan jantungku sudah meronta-ronta dengan gelisah.

TING NUNG!

"Sebaiknya kuperiksa!" kata Laura pada akhirnya, memberanikan diri. Aku menghela napas pendek, karena tidak mungkin membiarkannya turun ke bawah sendirian.

"Ayo kita periksa berdua," elakku. Lau telah menggenggam sapu ijuk dengan kedua tangannya saat mengendap-endap meniti anak tangga.

Aku yang mengikutinya di belakang, membawa perbekalan berupa semprotan merica disaku piyama velvet-ku dan raket nyamuk elektrik di tangan kiriku. Demi apapun, aku itu sebenarnya adalah orang yang penakut kalau malam menjelang...

Laura memutar kunci memegang handle pintu dengan tangan bergetarnya. Sementara dahiku semakin berkerut memproses situasi, punggung ku terasa panas di malam yang dingin—aku menyesal memakai plester terapi bernama koyo cabe ini. Panas sekali astaga!

Aku ingin menggeliat saja di dalam kulkas daripada tersiksa begini. Oke mari fokus lagi ke marabahaya yang ada di depan. Mataku menyipit menilik-nilik bawah lantai yang mengirim rembesan aneh. Sedikit demi sedikit namun semakin jelas, berwarna merah pekat nan kental. Laura lantas membuka pintunya.

Sementara aku masih setia memperhatikan derit pintu dengan posisi semakin menunduk, karena cairan yang menyerupai darah itu tergusur oleh bawah pintu hingga menyebar seperti cat air yang jika disapukan oleh kuas.

Intinya rembesannya berubah jadi meluas, mengirim aroma anyir yang tajam karena tertiup oleh angin malam dan dinginnya AC. Aku mengedarkan pandangan lebih luas kedepan sana. Aku takut kalau ada zombie yang berkunjung, minta uang jajan padaku.

Tidak bukan seperti itu. Ini lebih serius, "APA YANG TERJADI?"

Bersambung...