webnovel

Tentang Rasa

Hari ini hari Kamis, Nanda terlihat sedang bersantai bersama seorang temannya, yaitu Lana. Loh, ke mana perginya si cablak Gilang? Tenang saja, mereka yang bak tiga serangkai tak mungkin tak terlihat bertiga selagi di kelas. Tempat duduk saja berdekatan begitu. Mana mungkin tidak terlihat bertiga? Tapi, saat itu, kebetulan sekali Gilang mengeluh mulas. Dengan langkah seribu, ia bergegas ke luar kelas menuju toilet. 

"Dasar si Gilang, kebiasaan mules kalo mau ujian. Padahal lima menit lagi Pak Eka masuk," celetuk Lana yang bangkit dari duduknya. Ia juga tampak melongok ke luar jendela seakan mencari kepala Gilang di sana.

"Namanya juga Gilang. Biarin aja, paling nanti dia masuk pas ujian dah mau kelar. Haha," balas seseorang yang tak jauh dari meja mereka. 

"Denger tu apa kata kembarannya, lo terlalu peduli si, Lana," ucap Nanda sembari teratawa geli bersama Lana kala melihat ekspresi jijik dari meja sebelahnya.

"Sial lo. Sudi amat punya kembaran yang mulutnya susah di rem macem dia."

"Halah biasa juga pulang bareng dia lo, Ras." 

"Hii! Terpaksa aja keles. Ogah gue juga kalo gak terpaksa mah," tukas gadis yang bernama Rasti itu. 

"Oh, jadi terpaksa nih? Fix, nanti balik jangan nebeng gue lo ya."

Mereka bertiga menoleh. Betapa terkejutnya si Rasti mendapati Gilang sudah berada di belakang meja mereka. Ia langsung menyipitkan matanya dan menatap ke arah Lana dan Nanda bergantian. Pasalnya, tidak mungkin mereka berdua tidak melihat Gilang mendekat. Karena posisi Lana yang berdiri dan menatap jendela serta Nanda yang posisi tubuhnya menghadap miring, pasti mudah bagi keduanya mengetahui bahwa Gilang sudah kembali. 

"Eh, tumben lo cepet. Belum setahun padahal haha," ucap Lana sambil terkekeh.

"Eh, bukan gitu-" balas Rasti secara bersamaan dengan ucapan Lana. 

Nanda hanya duduk memperhatikan. Di sana ia melihat Lana yang menahan tawanya setengah mati, Gilang dengan ekspresi kesalnya, dan Rasti yang kelabakan mencari alasan dan terus mengekori Gilang sampai ke tempat duduknya hingga Pak Eka masuk kelas. Wah, pagi yang ramai untuk Nanda.

Siangnya Nanda ke luar kelas dan melewati kelas XI IPS 3. Banyak perempuan yang kagum dengan tampilan Nanda dan Nanda sadar akan hal itu. Hanya saja dirinya tak terlalu memerdulikannya. Di persimpangan lorong, Nanda melihat gadis yang kemarin mendatanginya secara tiba-tiba. Masih terngiang di kepalanya tentang apa yang dikatakan perempuan itu. Kemarin dengan mudahnya Nanda mengabaikan perempuan bernama Nina itu, tapi kenyataannya isi kepalanya penuh dengan berbagai macam pertanyaan. Dan hatinya menolak untuk mengabaikan perempuan yang sok kenal itu. 

Nanda memperlambat jalannya, sayup-sayup ia mendengarkan percakapan via handphone itu. Nanda hampir sejajar dengan Nina. Bukan sejajar dalam artian bersebelahan dan saling pandang. Hanya Nanda saja yang sadar dengan keberadaan Nina karena Nina kala itu membelakangi jalan dan menghadap ke dinding. 

"... gue gak habis pikir sama lo. Orangnya aja udah kaya gak butuhin lo. Lo bahkan tau kalo dia udah sama yang lain-"

Nanda berhenti. Entah kenapa hatinya memerintahkan dirinya untuk menguping pembicaraan itu. Lanjut, Nanda pura-pura berjongkok untuk mengikat tali sepatu yang sengaja ia lepas untuk alibinya nanti.

"Udah buta lo, Di." 

Dengan sigap Nanda mempercepat acara mengikat tali sepatunya dan kembali berjalan melewati Nina yang sedang menyumpahi seseorang. Acara menguping itu berjalan lancar tanpa sedikitpun kecurigaan dari Nina. 

Selepas mendengar obrolan itu, hati Nanda sedikit tergugah. Nama panggilan itu seperti tak asing di telinganya. 'Siapa Nina sebenarnya? Siapa?' tanya Nanda dalam hati. Sekarang Nanda sedang berada di toilet. Sedari awal dirinya memang berniat untuk membasuh wajah karena ia merasa ngantuk sekali. Padahal saat itu sedang jam istirahat, tapi entah kenapa ia mengantuk. Mungkin karena kepikiran perkataan Nina kemarin? Mungkin saja.

Selepas dari toilet, ia berpapasan dengan Nayla. Nayla yang tahu pun berusaha menghindar. Kejadian kemarin juga membuatnya tak bisa tidur dengan nyaman. Karena sikap sok angkuhnya di depan kakak kelas, ia jadi merasa malu bila bertemu Nanda.

'Kenapa harus ketemu ni anak si?' batin Nayla merutuki. 

"Eh, sa-yang, tumben gak sama Ayla ke toiletnya?" tanya Nanda dengan laga pongah dan pertanyaan jahilnya.

Nayla berusaha mengabaikan, jadi, ia memilih untuk melangkahkan kakinya ke pintu menuju toilet perempuan. 

"Aduh, buru-buru banget si, sa-yangnya gue. Di sini 'kan ada pacar lo. Temenin dulu lah bentar."

"Ih, minggir! Gue kebelet bego!"

Nanda membola. Baru itu dirinya melihat ekspresi lucu Nayla. Akhirnya, ia memperbolehkan Nayla masuk ke kamar mandi, sementara dirinya tertawa geli di depan pintu masuk kamar mandi itu. 

"Hell no! Seorang Nanda yang kalem bisa tertawa seperti itu di sekolah? Hebatnya si Nayla itu," ucap Nina yang tak sengaja melihat interaksi Nanda dan Nayla dari layar ponselnya. Betul, Nina tengah merekam momen itu dalam handphone-nya.

Sepulang sekolah, Nanda sengaja duduk di depan gerbang. Ia menunggu sesuatu. Bahkan saat Lana dan Gilang mengajaknya ke game center, dirinya menolak. Tak biasanya seorang Nanda yang hobi main game menolak ajakan itu. 

Sudah 30 menit berlalu semenjak bel pulang berbunyi. Anehnya, dirinya masih menunggu saja di sana. Padahal hampir tak ada murid yang terlihat di sana. Tiba-tiba saja ia berdiri saat melihat yang ditunggunya melewati gerbang. 

"Lo ngapain aja si di kelas? Lama banget," komplain Nanda. Ia dengan mudahnya mensejajarkan langkah dengan Nayla.

'Kenapa si ni bocah nongol mulu! Sengaja pulang terakhir malah dia ngejogrok di sini. Bikin sia-sia usaha gue aja,' batin Nayla. Ia berusaha jalan lebih cepat dari Nanda.

"Eh, jawab dong? Lo balik bisu ya?" 

Nayla mendadak berhenti. Hampir saja Nanda menubruk dirinya. Untunglah tidak jadi karena Nanda terlalu gesit. 

"Cowok sih bawel. Denger ya, gue itu lagi ada urusan sama Pak Eka. Gue disuruh meriksa hasil ujian tadi."

Nayla heran, biasanya Nanda akan membalas ucapannya dengan segera. Nayla melihat ekspresi Nanda yang tadinya diam menjadi ingin tertawa. Nayla mengerutkan dahinya dan bermonolog, 'Sikap menjengkelkan itu lagi?' 

Benar saja. Tak lama, tawa Nanda meledak. Kalau sudah begini itu artinya ada yang tak beres. Apakah Nanda akan menyangkal alasan Nayla tadi? Atau Nanda tahu kalau Nayla sedang berbohong?

"FYI aja nih, Nay. Gue tadi papasan sama Pak Eka di gerbang. 5 menit dari bel pulang sekolah bunyi. Ya, gue sih gak nuduh lo bohong, tapi lo tau lah pertahanan lo itu masuknya ke mana. Haha. Btw, kalo mau ngehindar tu biasa aja kali, ga usah sampe kentara juga."

Nayla bengong. Ia bahkan sampai tak sadar bahwa tasnya sudah di tarik oleh Nanda. Iya, tasnya memang tidak dipakai. Nayla hanya membopongnya di depan. Itu adalah kebiasaan Nayla kalau tasnya kepalang berat. 

Nanda berjalan santai jauh di depan Nayla yang masih bengong. 'Nanda sialan! Awas saja, gue bakal bales lo nanti.' Dengan langkah seribu, ia berlari mengejar Nanda. Kalau dilihat orang, mungkin mereka seperti pacaran. Iya, pacaran rasa musuh. Bagaimana tidak? Hampir di sepanjang jalan mereka berdebat dan tak jarang Nayla memukul pundak dan punggung Nanda dengan kesal. 

"Tiap hari lo bawa batu ya? Lo ga berat apa tiap hari bawa tas di bopong gitu?"

"Kata siapa berat? Gue emang lebih nyaman bawa tas kaya gitu. Sotoy lo."

"Bohong mulu lo. Gue merhatiin kali. Cuma kalo Senin dan Kamis aja lo banyak mapel dengan buku tebal. Sisanya juga gue sering lihat lo pake tas kaya gue gini."

Nayla bersemu. Tanpa sadar ucapan Nanda mengetuk lagi pintu hatinya. Nayla suka dengan laki-laki yang peka. Tidak perlu bersusah payah mengatakan panjang kali lebar, Nanda sudah paham lebih dulu. 'Memang gue gak salah jatuh cinta.' 

"Eh, apa sih? Gue dah gila!" pekik Nayla. Sontak Nanda berhenti dan menoleh. Ia mendapati Nayla sedang memukul kepalanya sendiri.

"Iya, lo emang gila. Tapi gak usah sambil teriak juga kali ngakunya. Bikin malu aja lo." 

Nayla sadar. Lagi-lagi ia kelepasan. Memang, kalau sudah menyangkut Nanda, otak dan hatinya menjadi tidak sinkron.

"Berisiiiikkk! Udah siniin tas gue! Rumah gue udah deket. Mending lo balik sana ke rumah lo! Bye! Thanks juga."

Nanda melihat Nayla berlari menjauh setelah berhasil merebut kembali tasnya. Nanda masih memerhatikan, membuat sudut bibirnya terangkat. Ia merasa terhibur dengan adanya Nayla. Hanya sekadar terhibur. Bukan berarti dirinya melupakan orang terkasih yang masih ditunggunya. 

Waktu. Nanda berpikir saat itu juga. Dengan kepala yang menatap lurus ke jalan setapak, ia merenung. Berpikir tentang waktu yang begitu misterius. Orang yang ditunggunya berada entah di mana. Tanpa adanya kabar, apakah ia bisa menebak? Tentu bisa, tapi rasanya jadi sia-sia. 

Nanda tertarik ke masa itu. Masa di mana dirinya akan berpisah dengan orang itu. Putaran masa lalu membawa dirinya ke sana. Ke saat di mana dua tahun lalu, di sebuah taman, yang menjadi saksi janji diantara mereka berdua.

"Apa kamu harus ikut pindah ke sana? Gak bisa di sini aja?" pinta Nanda dengan tulus.

"Maaf, Nan, aku harus ikut orang tua soalnya aku gak ada keluarga di sini dan lagi aku masih kecil di mata mereka. Tapi tenang aja, meski papa bilang uji coba kerja di sana dua tahun, gak menutup kemungkinan projek itu bakal selesai lebih cepat. Kalau pun benar-benar dua tahun, aku bakal tetep ke sini, mungkin nanti ngajak sepupu buat tinggal bareng di rumah. Dan pasti orang tua ku ngizinin karena aku 'kan sudah besar. Kamu... mau 'kan nunggu aku? Aku janji bakal ngabarin kamu selama kita jauh."

Nanda diam mendengarkan. Dua tahun itu bukan jangka waktu yang sebentar. 2 tahun itu artinya dia harus berbesar hati melepas sang kekasih selama sekitar 730 hari. Sebenarnya ia sangat tak rela melepas orang yang ia sayang begitu saja. Rasanya berat sekali. Seolah di bahunya sedang ada lempengan besi 50kg. Kembali ia menatap kekasihnya, ia mendesah panjang. Namun, ia tetap tersenyum.

"Sampai kapanpun, aku bakal nunggu kamu, Nad."