webnovel

Lo Tau Jawabannya

"Nay, lo kesiangan ya? Tumbenan lo masuk lima menit sebelum bel?"

Nayla meletakkan tasnya asal. Raut wajahnya tampak sedang menahan sesuatu. Dan Ayla yang memang kepo pun akan terus bertanya, tak pantang mundur sebelum mendapat jawabannya.

"Kenapa Nay? Apa si Nanda ganggu lo lagi?"

"Lo kan dah tau kalo itu jawabannya. Kenapa tanya terus?"

Ayla mendesah. Ya, memang tak heran lagi sih kalau ia pun jadi tahu penyebab Nayla mepet masuk ke kelas. Tidak sering memang, tapi ia tahu Nanda tak pernah absen untuk mengganggu Nayla masuk ke kelas. Memang senior itu sedikit jahil juga rupanya.

"Kali ini pakai cara apa dia ganggu lo, Nay?"

'Dih, ni anak kenapa malah jadi antusias banget si. Ga ngerasain penderitaan sahabatnya banget. Dasar Ayla. Yasudahlah.'

"Dia narik tas gue dan gue ga mau lepasin tas gue. Ada kali tuh 10 menit dia begitu. Mana pake segala ngajak ribut ga penting lagi. Buang waktu gue aja. Hari-hari gue jadi berasa berat gitu, Ay. Lo ga ngerasain sih."

"Haha. Dia suka kali ya sama lo. Habisnya kelihatan beda banget si kalo lagi sama lo. Gue aja kadang bingung. Ada ya orang kaya dia. Lo suka mikir kaya gitu juga ga sih, Nay?"

Kalo Nayla si sudah lebih dulu berpikir begitu. Ayla telat nih sadarnya.

"Salah lo kalo tanya gue mah. Dia mah emang udah aneh dari awal-"

Bruk.

Satu buku cetak tebal mendarat mulus di kepala Nayla. Tidak lain tidak bukan, itu ulah Nanda. Nayla hapal betul itu.

"-nah, kan, betulan aneh dia, Ay."

"Siapa yang lo panggil aneh, sa-yang?"

Nayla menarik buku yang ada di kepalanya dengan cepat. Ia mendengus sebal sembari mengusap kepalanya perlahan.

"Ya lo lah. Kepala gue sakit ni, dasar mister aneh."

Nanda tertawa sambil menepuk kepala Nayla dan itu sukses membuat Nayla jadi baper. Hampir seluruh siswi kelasnya terdiam melihat hal itu. Mungkin yang ada di pikiran mereka adalah Nanda dan Nayla memang betulan pacaran.

"Eh, bro, udah yuk balik ke kelas. Dah mau masuk ni."

"Emang berapa menit lagi belnya bunyi, Lan?"

"Tiga menit lagi, Nan. Ayo buru!"

"Waduh."

"Cepetan makanya! Keburu di setrap nanti."

Selepas Nanda dan Lana pergi, guru matematika pun masuk. Nayla tak begitu mendengarkan apa yang disampaikan gurunya di depan kelas. Pikirannya penuh dengan Nanda. Mungkin ia terlalu terkejut dengan responnya tadi.

Sedangkan di kelas lain, seorang gadis sibuk sekali mengetik sesuatu di ponselnya sembari mengirim gambar pada seseorang. Gadis itu tak lain adalah anak baru XI. IPA 3 yang bernama Nina. Ia membuka foto yang tadi ia ambil saat tak sengaja melewati kelas Nayla. Ia menatap kesal. Tampak sekali tak menyukai hasil jepretannya itu.

"Sudah kubilang dia itu punya yang lain. Dasar kamu keras kepala, Di."

**

Jam menunjukkan pukul 4 sore. Lana dan Gilang ada kerja kelompok bersama Nanda di rumahnya. Sesampainya mereka di kamar Nanda, mereka langsung ambil posisi. Bukan untuk belajar, melainkan main PS. Nanda tahu betul kelakuan temannya ini, jadi ia sudah tidak kaget lagi.

Nanda berganti pakaian dan membawakan beberapa camilan serta es sirup untuk mereka bertiga. Setelahnya ia duduk di meja belajarnya sembari menatap figura kecil yang ada di sudut meja. Ia tersenyum kecil. Tak peduli bahwasanya suara teriakan dari Lana dan Gilang saling bersahutan.

"Eh, Lan, menurut lo Nayla itu gimana si orangnya?"

"Nayla ya? Dia itu cewek pemberani si. Lo lihat 'kan tempo hari dia bikin Giselle mati kutu?"

"Haha, iya, keren sih dia. Cara bales omongannya itu pinter banget. Dia juga cantik si buat gue.... Kalo menurut lo gimana Nan?"

Hening. Lana dan Gilang yang tak kunjung dapat jawaban pun menghentikan game nya sejenak dan menoleh menatap Nanda yang sedang termenung sembali memandangi foto perempuan itu. Upaya mereka gagal rupanya. Niat hati ingin memancing Nanda tapi yang dipancing malah sudah memakan umpan lain, bahkan ia bingung bagaimana cara melepaskannya.

"Woy, Nanda!" teriak Gilang dan akhirnya Nanda pun kembali.

"Apa si lo pake teriak segala. Gue ga budeg."

"Yeee, kalo ga budeg lo udah jawab pertanyaan gue dari tadi."

"Memang lo tanya apa, Lang?"

Gilang mendesah, "Gini bro, menurut lo, Nayla tu gimana orangnya?"

"Nayla asik dan seru orangnya, kadang juga suka ngedumel sendiri, dan ya dia itu judes dan pedes."

Lana berdiri dan meraih sesuatu dari sudut lemari di dekat pintu kamar Nanda. Ah, biskuit.

"Gitu doang? Gue pikir lo beneran jadian sama dia. Ya, ga, Lang?"

Gilang mengangguk heboh. Matanya tertuju pada foto yang selalu saja menjadi dunia Nanda pabila sudah di rumah seperti ini.

"Nan, lo ga serius masih nunggu dia 'kan? Jangan gila Nan, jelas-jelas ada Nayla yang bisa jauh gantiin posisi dia."

"Ngomong apa si lo, Lang? Jelas-jelas lo tau kalo gue cuma butuh dia. Harusnya lo bantuin gue lagi buat gali informasi tentang dia. Lo kan tau serindu apa gue sama dia."

Lana mendekati Nanda dan menepuk pundaknya dua kali.

"Kita tau Nan, kita juga udah usaha buat itu. Tapi kalo dia aja ga ada usaha buat kasih kabar ke lo, kita bisa apa? Jangan egois Nan, lo harus buka mata lo. Jangan sampai lo nyakitin hati yang tulus cuma karena alasan konyol lo itu."

"Eh, Lana, biarlah itu jadi urusan Nanda. Kita cuma bisa kasih saran. Kalo dia ga bisa cerna dengan baik yasudah biarkan. Gue yakin ko Nanda akan pikirin saran kita juga. Mending lo sini temenin gue main lagi, kan kita belom kelar mainnya."

"Iya ya, oke deh."

"Ye, dasar lo ya, tukang ngemil."

Nanda seolah tuli. Ia tak mendengar perbincangan sahabatnya lagi. Ia sudah tenggelam dalam dunianya. Ia memang terlalu teguh memegang janjinya pada kekasihnya yang ia tak tahu ada di mana. Ia merasa dekat tapi entah kenapa sulit ia gapai. Setitik saja harapan muncul, mungkin ia sudah akan mengejarnya kemana pun itu. Apa salah ia mempertahankan janjinya? Apa harus ia mengabaikan orang yang selama ini mati-matian ia tunggu? Apa sebegitu menyedihkan dirinya di hadapan banyak orang? Demi apapun, meskipun ia mendapat banyak dorongan untuk melupakannya, ia tak akan ingkar. Karena janji yang ia miliki sudah jelas terpatri dalam hatinya.

"Oh iya, Nan, waktu kapan gitu gue kaya lihat orang yang mirip banget sama Nadia di jalan Edelweiss dekat perumahan Alexandra. Tapi aneh si, kalau itu memang Nadia, masa ia dia tidak mengenaliku, lagian dia juga memakai kursi roda. Jadi, tidak mungkin kalau dia Na-"

"Tidak mungkin. Nadia tidak punya masalah apapun dengan kakinya, kecuali kalau ia kecelakaan."

Deg. Kecelakaan? Perasaan Nanda jadi tak karuan. Kenapa bisa kata itu terucap dari mulutnya? Mungkinkah itu Nadia? Ia memakai kursi roda karena kecelakaan? Bolehkah ia berharap begitu?

"Lo bilang di dekat perumahan Alexandra? Lo yakin perempuan itu mirip banget dengan Nadia, Lan?"

"Iya. Gue juga baru sadar barusan. Gue selalu lupa kalo mau cerita ke lo."

"Kalo gitu gue mau buktiin. Gue juga pernah lihat cewek itu, gue kira gue halu. Tapi, karena lo juga lihat, gue bakal pastiin nanti. Gue mau pecahin misteri ini secepat mungkin. Kalo itu emang dia, berarti penantian gue ga sia-sia."

"Ya coba aja bro. Semoga aja itu bener dia. Tapi kalo seandainya itu bukan dia, apa lo bakal nyerah?"

Dengan satu keyakinan penuh, Nanda balas menjawab Gilang dengan lantang. "Lo tau jawabannya, Lang."