webnovel

Hari Lomba

Tak terasa hari berlalu dengan cepat. Nayla sedang membereskan buku catatannya dan menaruhnya di dalam tas. Tak lupa ia menggapai ponsel yang ada di atas nakas dan membuka pesan dari orang yang tak lain adalah Nanda. Ia pun membacanya dengan perlahan.

"Jangan lupa sarapan, kita bakal ngelawan sekolah yang juara 2 tahun lalu."

Nayla mengernyit. Ia tak menyangka lawannya adalah juara dua tahun lalu. Baru kali ini ia mengikuti olimpiade kimia bersama Nanda. Tahun lalu ia tak lulus seleksi karena saingannya adalah kakak kelas yang saat ini sudah disibukkan dengan materi ujian untuk kelulusannya. Kakak kelas itu jauh melebihi kemampuannya dan maka dari itu ia cocok apabila menjadi partner Nanda.

Nayla kembali menyiapkan semuanya. Ia tak sarapan karena memang pagi itu ibunya sudah tak ada di rumah dan ia pun bangun agak siang jadi tak ada waktu lagi. Ia mengetikkan sesuatu pada Nanda yang intinya ia menginginkan Nanda agar membelikannya roti atau camilan lain untuk mengganjal perutnya. Pastinya nanti ia akan membayarnya di sekolah saat mereka sudah bertemu.

"Aku beruntung bisa mengikuti olimpiade tahun ini. Pokoknya kami harus juara 1 agar bisa lanjut ke tingkat provinsi."

Nayla menyampirkan tasnya di pundak dan mengunci pintu lalu ia berjalan menuju halte bis di mana ia terbiasa menunggu. Ia melirik jam tangannya dan waktu menunjukkan pukul setengah enam. Pagi sekali ia sudah berada di bus stop. Jarak dari rumah ke sekolahnya tidak begitu jauh. Mungkin hanya 20 menit apabila naik angkutan umum. Hanya saja bis yang biasa melewati area rumahnya lewat setiap 10 menit sekali dan ia harus menunggu 5 menit lagi sampai bus itu tiba.

Bosan. Nayla mengeluarkan ponselnya dan melihat balasan dari Nanda. Ia berkata bahwa ia akan membelikannya roti isi meises dan keju almond dari brand terkenal yang rasanya pasti enak sekali. Yah, kalau pun mahal, ia bisa meminta Nanda untuk memotong saja nanti dari sisa gaji yang belum dibayarkan Nanda. Yang terpenting saat ini, ia harus tiba jam 6 karena guru pembimbing ingin memberikan arahan tambahan untuk olimpiade siang nanti.

Akhirnya bis yang ditunggu tiba. Nayla segera naik dan 20 menit kemudian ia sudah berada di depan gerbang sekolahnya. Ia segera masuk dan sekitar 10 menit lagi guru pembimbing akan masuk ke kelas Nanda. Ia harus cepat.

"Nay! Lo kok baru dateng? Untung masih ada waktu buat sarapan. Nih!"

Nayla melirik Nanda dan tersenyum. Ia berterima kasih karena Nanda sudah mau repot membelikannya roti.

"Lo gimana sih. Tau gitu gue jemput aja jam 5 biar lo gak telat."

"Gila! Jam 5 masih gelap. Ini juga pas kok waktunya."

"Pas apaan. Lo jadi keburu buru gitu makannya. Udah abisin dulu. Kata pak kepsek kemarin, kita jalan jam 8. Lombanya di mulai jam 10 di SMA Citra dan mapel kimia ada diurutan pertama. Jadi, kita harus datang agak pagi. Dan kemarin pak kepsek juga bilang kalo kita gak akan ikut pelajaran di sekolah selagi kita lomba."

Nayla membuka tasnya selagi mulutnya masih tersumpal roti. Ia mengangguk dan mulai mengulang membaca catatannya. Sebenarnya terlalu pagi kalau mereka dikumpulkan jam segini. Karena pasalnya mereka baru berangkat ke sekolah tuan rumah jam 8 pagi.

"Duh, telen dulu Nay. Enek gue liatnya. Lo cewek tapi kok begini modelnya. Ya ampun...."

Nayla merotasikan bola matanya. Ia agak jengah mendengar ucapan Nanda. Maka dari itu ia memukul bahu Nanda dengan kuat sambil menelan semua roti yang tadi ada di dalam mulutnya.

"Lo laki si bawel ya. Mau gue jungkir balik juga urusan gue. Udah mending lo baca ulang juga sana dari pada jailin gue mulu."

Alhasil Nanda mengikuti saran Nayla dan mereka berdua membaca catatn mereka dalam diam. Hening sekali kondisi kelas saat itu hingga guru pembimbing pun masuk dan membawakan name tag serta rompi khusus sekolah mereka. Nanda sudah terbiasa dengan persiapan itu, akan tetapi Nayla merasa hal itu sedikit berlebihan. Karena sewaktu ia ikut olimpiade tingkat menengah pertama, sekolahnya tak menyiapkan apa-apa kecuali uang makan.

"Apa ini harus dipakai saat olimpiade, pak?"

Guru pembimbing menoleh ke arah Nayla dan ia mengangguk dengan bangga. "Tentu saja. Rompi itu sudah seperti almamater sekolah yang harus kamu junjung tinggi. Sudah sewajarnya kamu bangga memakai itu karena hanya siswa yang mengikuti olimpiade saja yang bisa memakainya. Ukuran itu sepertinya cocok buatmu. Coba kamu pakai."

Nayla mengangguk dan ia pun memakainya. Saat ia ingin melepasnya, Nanda menahan dan mengarahkan ponselnya pada Nayla. Ia memotretnya. Cantik sekali. Aura anak emasnya menguar. Setelah mendapatkan foto itu ia langsung mengirimkannya ke ponsel Nayla. Awalnya Nayla kesal tapi akhirnya ia tersenyum dan berterima kasih. Ia akan menunjukkan foto itu pada sang ibu nanti.

**

Nayla dan Nanda kini sudah sampai di sekolah tuan rumah penyelenggara olimpiade. Sekolah ini mumpuni di berbagai sektor terlebih kelengkapan peralatan laboratoriumnya. Bahkan sekolah mereka masih kalah dalam hal ini. Tapi itu bukan masalah. Nanda paham betul apa saja alat yang akan digunakan dan ia juga sudah berbagi ilmu pada Nayla.

Saat di podium, Nayla tampak pucat. Sepertinya ia gugup berada di sana. Entah karena atmosfernya begitu mencekam atau apa. Yang jelas Nanda hanya bisa menyemangatinya. Sesekali ia juga menggenggam tangan Nayla yang dingin.

"Semangat, Nay! Kita pasti bisa. Inget lo kan mau bayar utang lo ke gue. Kalo sampe kalah lo gak bakal bisa jadiin gue babu lo."

Nayla terpacu lagi. Ucapan Nanda benar. Ia harus menang karena utang Nanda harus ia bayar. Ia tak ingin berutang budi pada orang lain. Selagi itu masalah materi, ia pasti bisa menggantinya.

"Bener. Gue kan mau bikin lo jadi asisten gue gantian. Tunggu aja. Gue usahain kita menang."

"Gitu dong, baru namanya semangat!"

Nanda dan Nayla berdiam diri di sana. Sesi pertama adalah tanya jawab perihal materi dan di sesi kedua adalah praktikum. Mereka harus bekerja sama agar hasil di sesi pertama mendapat nilai lebih banyak dari tim lainnya, jadi di sesi kedua mereka tak perlu terlalu bekerja keras untuk berusaha menyusul.

Nayla dan Nanda mendengarkan dengan teliti apa yang dinarasikan oleh penanya. Satu persatu mereka bisa menjawab dengan baik. Namun di tengah sesi, sepertinya mereka mengalami kesulitan. Ada materi di mana mereka asing akan pertanyaan itu. Beberapa poin berhasil direbut lawan dan mereka hanya berselisih sedikit poin saja. Kalau begini mereka harus bekerja lebih ekstra disesi kedua nanti.

Untungnya saat sesi kedua berlangsung, semua terjadi seperti yang mereka harapkan. Reaksi kimia yang mereka buat semuanya berhasil. Hanya meja mereka saja yang sukses melakukan semua tantangan dengan lancar tanpa adanya kendala. Itu cukup melegakan mereka.

"Syukurlah sesi kedua sukses besar. Sekarang kita bisa balik ke sekolah. Kita tinggal tunggu aja hasilnya nanti."

"Iya, makasih banget lo tadi udah bantu gue juga. Kalo gak bakal gawat."

"Santai. Kita kan partner di sini. Beda cerita kalo di sekolah. Haha. Yuk ah balik, sa-yang. Capek nih otak gue."

"Sama. Otak gue juga udah ngebul nih, sa-yang."