webnovel

Lelaki Bertubuh Besar

Rachel memang setahun lebih muda dari mereka, makannya dia menyebut keduanya dengan panggilan 'Kakak'. Arsya tidak berani mengiyakan dan juga tidak berani menampik.

Dia mengerti apa yang sedang direncanakan oleh Irwan karena memang Arsya juga perlu mengobrol berdua dengan temannya itu.

Irwan pun berdiri dan berjalan mendekati Rachel.

Memegang bahunya yang tanpa busana karena Rachel memakai baju yang tak berlengan, dia selalu tampil seksi dan menarik di depan Irwan karena ibunya yang menyuruh.

Jantung Rachel berdegup kencang, baru kali ini Irwan mengelus-elus bahunya. Arsya pun memalingkan wajah, tidak ingin melihat drama temannya yang sedang berpura-pura.

"Kakak pergi dulu ya sama kak Arsya. Sekali lagi kakak minta maaf," tuturnya begitu lembut dengan wajah yang dipasang penuh penyesalan.

Rachel pun mengangguk, senyumnya begitu tulus. Dia ingin menjadi seorang pasangan yang penuh pengertian agar Irwan bisa jatuh cinta padanya meskipun sulit.

Rachel percaya sekeras-kerasnya Irwan menolak, dia akan luluh juga nantinya jika Rachel bisa merayunya.

Irwan pun pergi melangkah duluan.

"Kakak pergi ya, Rachel." Arsya juga pamit padanya.

Dalam hati Arsya, dia sangat kasihan pada Rachel yang sebenarnya diberi harapan palsu oleh Irwan.

"Iya Kak. Hati-hati," balas Rachel sembari mnegikuti mereka berdua keluar karena Rachel pun ingin pulang.

Irwan masih berjalan memimpin, dia sangat acuh pada Rachel yang berjalan di belakang dengan Arsya.

"Kamu bawa mobil?" tanya Arsya pada Rachel.

"Iya, bawa kok Kak."

Arsya mengangguk syukur, karena kalau dia pakai taxsi –Irwan harus mengantarnya lebih dulu sebagai bentuk hormat. Masa tunangannya disuruh naek taxsi sedang dia pergi bersama Arsya.

"Kapan ke rumah?" tanya Arsya lagi. Irwan sebenarnya menguping pembicaraan keduanya, tapi dia tidak begitu peduli dengan pokok pembicaraan Rachel dan Arsya.

"Hehe, kapan-kapan Kak. Kalau Mama ngajak aku pasti ikut."

"Hmmm, oke. Kamu lanjut S2 enggak?"

Rachel menggelengkan kepala, bukan tak sanggup S2 tapi keinginannya lebih besar untuk menikah daripada melanjutkan studi.

"Kata Mama, kak Irwan juga enggak lanjut S2. Kami fokus aja pendekatan, gituh." Arsya menyungingg tersenyum getir, begitu polosnya Rachel yang selalu mengikuti ucapan ibunya dan sangat berharap pada Irwan.

"Oh ya, kamu dari jam berapa ke sini?" tanya Arsya lagi agar Rachel tidak terlalu merasa dicampakan oleh Irwan.

"Aku baru aja sampe, Kak," balas Rachel, dia terlihat seperti sakit hati karena Arsya datang-datang sudah membawa Irwan pergi. "Tapi enggak apa kok, aku ngerti kalau kak Irwan sibuk."

Irwan pun batuk, Arsya tahu kalau tenggorokan Irwan jadi serak mendengar ucapan Rachel barusan.

Mereka sudah sampai di parkiran. Tanpa melihat Rachel, Irwan langsung masuk ke mobilnya dan melaju begitu saja.

Mereka berdua sudah punya tempat pribadi untuk mengobrolkan perkara hal penting dan tanpa bertanya pun, Irwan sudah tahu dia dan Arsya akan mengobrol di mana.

"Kakak duluan ya, Rachel," Arsya pamit terlebih dahulu pada sepupunya itu.

"Iya, hati-hati di jalan Kak." Rachel melambaikan tangan dan dibalas Arsya juga yang sudah masuk ke dalam mobilnya dan menyusul Irwan yang sudah dari pandangan mereka. Begitu cepat dan antusiasnya Irwan untuk menghindari Rachel.

Dilihatnya Rachel dari kaca spion, Arsya benar-benar iba perempuan itu masih melambaikan tangan padanya. Rachel sangat baik, Irwan bodoh sekali menolak perjodohan mereka, pikir Arsya.

Tapi dia juga tidak bisa memaksa Irwan, karena Arsya pun kalau dijodohkan dengan perempuan yang tidak dicintainya pasti Arsya juga akan menolak.

***

Intan pun terbangun, dilihatnya jam di kamar itu sudah lewat dzuhur –tepatnya jam setengah dua siang. Karin, anaknya masih tertidur pulas.

Intan tidak tega membangunkannya dan kemudian Intan keluar kamar untuk berwudhu. Rumah Mandar tidak cukup besar, jadi dia bisa dengan mudah menemukan kamar mandi.

Intan pun pergi bersegera, di kala seperti ini dia sangat senang bersujud lama-lama dan berdoa khusu pada Sang Pencipta.

Serasa dia begitu dekat dengannya yang Maha Pemberi. Itulah manusia, ketika nelangsa memang sangat berharap Tuhannya menolong mereka.

Dengan kepasrahan dan harapan tercurah begitu ikhlas dan kadang kalau sedang senang, mereka tiba-tiba lupa kalau tempat sujud ialah tempat sebaik-baiknya berharap.

Bukan bergosip ria sambil menuangkan semua kesusahan pada orang lain yang sebenarnya kebanyakan dari mereka tidak akan peduli dan hanya penasaran saja.

Untungnya, Intan tidak membiasakan itu. Paling-paling yang menjadi tempat curhatnya hanyalah Sarah seorang saja.

Intan tidak ingin menceritakan keluh kesahnya pada orang tuanya di Desa. Intan tidak ingin membuat mereka kepikiran nasibnya yang sangat tidak mujur ini.

Intan melangkahkan kaki ke kamar mandi. Membuka keran air, dan berwudhu. Tidak hanya doa wudhu saja yang dia baca, tapi seraya hatinya juga meminta ampun pada Sang Pencipta.

Dari mulai tangan, sampai kaki yang sudah diajaknya berikhtiar dan kadang tanpa sadar atau juga sengaja dia telah berbuat dosa.

Intan sangat takut kalau hidupnya yang penuh derita ini adalah bentuk hukuman Tuhan padanya yang lupa akan sekecil dosa yang dia telah lakukan.

Setelah selesai, Intan pun menutup keran air itu dan menghadap kiblat membaca doa setelah wudhu dan kemudian diusapkannya tangan ke wajah dan membuka pintu kamar mandi.

"Astagfirullah." Intan terkejut.

Ada seorang lelaki bertubuh besar dan berkulit cukup gelap memandangnya. Dia sedang membuka kulkas mencari-cari makanan.

Intan kira dia adalah pencuri, tapi sepertinya dia lebih menakutkan dari itu . Dia adalah orang yang pernah membunuh.

"Om?" Intan terkejut dengan ketidakpercayaannya.

Ayah Mandar ternyata sudah bebas dari penjara, Intan padahal tadi juga menanyai kabar dia pada Mandar yang tidak ingin dibahas oleh temannya itu.

Mandar malu mempunyai seorang ayah yang menjadi pembunuh bayaran dan selalu gonta ganti pasangan kupu-kupu malamnya.

Tapi sekarang, ayahnya Mandar ada di hadapan Intan. Intan sangat takut, wajah seorang premannya nampak sangat mendominasi terlebih kasus yang sudah Intan tahu.

Begitu ngeri jika dibayangkan.

"Saya kira kamu itu Asri. Kamu siapa?" tanyanya. Dia tadi mengira kalau Intan adalah istri Mandar yang sedang di kamar mandi. Intan juga tahu kalau ayah Mandar pasti lupa padanya.

Intan gugup, tapi dia usahakan menjawab. "Saya Intan Om, anaknya Pak Epul dan Bu Sri."

Dia seperti mengingat-ingat hingga akhirnya tertawa lepas.

"Oh, iya saya ingat. Kamu masih cantik aja," pujinya seraya berdiri tegap. "Terus kenapa kamu di sini?" dia menatap Intan begitu lekat, dan menjadikan situasi menjadi sangat tegang.

Di pikiran Intan hanya ingat kalau dia adalah orang yang pernah dipenjara dan telah membunuh banyak orang tanpa rasa takut ke neraka.

Karena itu adalah perbuatan dosa. Intan takut kalau dia macam-macam padanya.

"Saya lagi nyari kerja Om," balas Intan kaku. "Numpang tinggal dulu di rumah Mandar sebelum saya keterima."

"Oh gituh, semoga keterima kerja ya."

"Aamiin Om. Saya pamit dulu mau salat." Intan pun pergi meninggalkannya.

Dedi hanya membalas Intan dengan anggukan ditambah senyuman tipis dengan matanya yang jelalatan. Mata seorang tahanan duda yang sudah lama tidak merasakan kamar.