"Iya, Pak."
"Sekalian semua ruangan ya, termasuk ruangan saya. Enggak dikunci kok." Senyumnya begitu manis dan sangat ramah sekali.
Hari pertama bekerja sudah disuguhi senyuman hangat dari atasan itu adalah sebuah rezeki bagi Intan.
Untung semua atasan di sini baik-baik, pertama dilihat dari Pak Yaya yang tadi mengarahkan tugas Intan dan sekarang Bapak berkacamata di hadapannya ini yang tadi berpapasan dengannya saat berjalan bersama Mandar ke belakang.
Raut wajahnya sangat terlihat blasteran cina tapi cara bicaranya begitu fasih berbahasa Indonesia.
"Baik, Pak." Intan hanya membalas seperlunya, tidak ingin banyak kata.
Lagi pula dia masih baru di sini dan tidak semua orang suka dengan orang yang mudah bergaul karena memperlihatkan keberanian yang berlebih. Takut disangka sok kenal, pikir Intan.
"Ok." Pak Andrea mengacungkan jempol pada Intan.
Intan pun tersenyum padanya. Setelah pak Andre berlalu, Intan melanjutkan langkahnya.
Ruangan di atas tampak seperti rumah keluarga mewah.
Luas dan ada sofa berwarna hijau lumut dan beberapa pas bunga menghiasi sudutnya.
"Ini kantor atau villa ya?" gumam Intan.
Terlihat juga beberapa ruangan yang sangat membingungkan baginya, karena sekat-sekatnya dengan kaca … jadi terlihat tubuh Intan yang mematung.
Setiap ruangan juga tidak sepenuhnya tertutup tembok, seperti tembok yang bisa dibongkar pasang dan tidak terlalu pengap karena di bagian atasnya berlubang dan tidak mentok ke tembok.
Salah satu keunikkan tersendiri bagi Intan karena ruangan di sini sangatlah berbeda dengan kantor Irwan.
"Ayolah Intan, lupakan dia! Kamu enggak pantas untuknya," gumam Intan lagi.
Bayangan Irwan yang setiap pagi tersenyum padanya dan bahkan sampai pernah memberinya bunga saat di dapur perusahaan yang membuat teman-teman yang lainnya iri melihat Intan.
Seketika air mata Intan menetes. Masih terasa sakit jika mengingat malam itu.
Sebelum bersih-bersih, Intan pun memakai maskernya agar kesehatannya juga terjaga.
Sebaiknya, sebelum bersih-bersih di ruangan ini –Intan harus mendahulukan ruang kantor atasannya.
Intan memulai dengan kantor sebelah kanan yang ukurannya lebih besar. Dan saat Intan membukanya ….
"Wahhh … sudah bersih. Apalagi yang harus dibersihin?" Semuanya tampak fresh, begitu segar. Sangat nyaman.
Cahaya matahari pagi terpantul ke kaca lebar di ruangan tersebut.
Intan rasa ini ruangan interview, karena ada dua kursi yang saling berhadapan dan hanya terhalang meja.
Walaupun bersih, Intan tahu setidaknya debu di ruangan ini pastinya banyak.
Intan pun memulai.
Dari membuka gorden lebih lebar dan mulai mengelapnya dengan kanebo sambil menyemprotkan cairan pembersih kaca dan setelah itu Intan mengelap meja dan beberapa perabot sampai benar-benar kinclong dan langsung mengepelnya sebagai bagian akhir sebelum pintu itu ditutupnya.
Intan disuruh untuk tidak menyapu ruangan terlebih dahulu jika memang kalau menggunakan pel saja juga bisa bersih. Maka Intan juga tidak membekali dirinya sapu, tadi.
Begitu saja seterusnya, dari ruangan ke ruangan sampai waktu sudah menunjukkan jam sebelas.
Terdengar keributan orang-orang yang ingin naik ke atas ruangan tersebut dan pas sekali ketika Intan sudah hampir beres.
"Bapak tidak usah khawatir, dengan sistem yang lebih modern, saya bersama kedua rekan saya pastinya akan selalu berusaha untuk menyeleksi para calon pekerja yang mempunyai skill bagus untuk dapat lebih dikembangkan di sini nanti dan bisa loyal terhadap perusahaan. Kami juga tidak lupa selalu memberikan mereka pemahaman tentang perusahaan kita dari mulai sejarahnya dan soal nama baik perusahaan yang harus dijaga," tutur pak Andre menerangkan kinerja di gedung ini pada seorang lelaki.
"Saya harap yang Anda katakan benar. Tante saya juga segera datang ke sini katanya masih di jalan. Saya harap kamu juga bisa memperlihatkan gedung ini padanya nanti dan membuat dia yakin kalau pekerja kita memang terlatih dan tidak akan mengecewakan produknya. Nanti Litta juga didampingi sama asisten saya—Hana," balas lelaki itu.
Intan tidak melihat wajah lelaki itu karena dia menjaga kesopanannya untuk tidak melihat mereka berjalan sambil mengobrol.
Intan rasa mereka juga akan duduk di sofa, karena pekerjaan Intan sudah selesai, dia pun membereskan alat tempurnya dan bergegas turun ke bawah.
Terasa risih di sana dan mengumping pembicaraan di tengah Intan bukanlah orang penting bagian dari mereka.
"Hufttt, alhamdulillah selesai juga." Intan sangat cape sekali.
Setelah turun dan membereskan alat tempurnya ke tempat seharusnya lagi, Intan kemudian pergi untuk minum.
Di sana ada dapur khusus yang juga dipakai bersamaan dengan para satpam.
Di gedung tersebut tidak ada yang membantu Intan, hanya dia seorang saja yang bekerja sebagai cleaning service di sana.
Kata pak Yaya, mengenai urusan pelayanan ketiga atasan tadi tidak akan diperlukan.
Mungkin Intan hanya sesekali mengantarkan minuman pesanan mereka, dan itu pun hanya jika ada atasan dari gedung inti yang berada di seberangnya.
Tiba-tiba seseorang datang, dia adalah bu Asma.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, eh Ibu. Ada apa Bu?" tanya Intan cukup gugup karena mereka belum saling mengenal.
"Kamu Intan, kan?"
"Iya saya sendiri, kenapa ya Bu?"
"Di atas ada CEO, namanya pak Arsya. Tadi kamu sudah lihat kan? Nah, saya mau minta bantuan kamu untuk bikinin dia kopi. Kopinya ada di sana ya, kasih gula sedikit saja. Bikinnya tiga gelas, terus kamu antarkan ke atas ya Intan."
"Baik, Bu segera saya bikinkan."
"Cepetan ya, Intan."
"Iya, Bu."
Bu Asma kemudian pergi meninggalkan Intan.
Intan kemudian langsung membuka lemari yang tadi ditunjuk oleh bu Asma.
Pas dia buka, Intan takjub.
Perlengkapan kopi, teh, gula, dan segala macam kumpilt seperti baru belanja bulanan.
Memang di kantor Irwan pun seperti itu sih, tapi di sini persediannya lebih banyak.
Aneh juga padahal setahu Intan atasan-atasan yang ada di sini hanya sedikit.
Tapi Intan akhirnya sadar, kopi, gula, teh, Susu dan yang lainnya sebanyak ini karena ini juga termasuk persediaan untuk para satpam. Enggak aneh deh jadinya.
Saat Intan menuangkan air panas, aroma kopi terhirup oleh hidungnya.
Semakin mengingatkan Intan pada sosok Irwan yang selalu dibikinkan kopi olehnya.
Tapi, Intan tetap berusaha menghilangkan ingatan manisnya itu.
"Ingat Intan, ini bukan lagi tempat yang sama. Kamu harus melupakan dia, ingat! Ini jalan terbaik di hidup kamu." Intan kembali menasehati dirinya sendiri. Menghela napas panjang, dan perlahan menghapus memori itu. Jika pun memori itu memaksa masuk dan terus mengetuk pikiran Intan, dia mencoba untuk tidak mendengarnya. Anggap saja kenangan itu tidak pernah ada di hidup Intan, tidak pernah.
Intan membawa kopi itu di nampan dan siap menghantarkannya, tapi saat dia ke atas ternyata lelaki yang dimaksud u Asma tadi sudah pergi.
Berasa sia-sia Intan membuatkan kopi.
Apa Intan terlalu lama membuatnya? Intan rasa tidak, dia sudah berusaha cepat tadi.
Namun, ketiga atasannya; Pak Kevin, Pak Andre dan Bu Asma masih ada mengobrol di sofa.
Intan bingung.
"Eh, Intan. Simpan aja di sini! Pak Arsya tadi buru-buru jadi dia langsung pergi lagi. Tapi tak apa." Bu Asma tersenyum sambil menunjuk ke meja agar Intan menaruh kopinya di sana.
Intan tersenyum. Senyuman yang masih terasa kaku "Iya, Bu."
Intan pun menaruhnya dengan hati-hati.
"Pak Arsya tuh enggak cocok duduk di kantor, dia cocoknya jadi tour guide. Jalan-jalan mulu kerjaannya," celetuk Pak Kevin sambil tertawa, "saya minum ya Intan." Dia juga dengan sopan tak lupa berbasa-basi untuk mengambil kopi yang sudah Intan buatkan.
"Iya Pak. Kalau begitu Intan pamit dulu ya, nanti Intan ambil lagi gelasnya." Intan pun berlalu setelah mendengar ucapan terima kasih dari ketiganya dan dijawab oleh Intan dengan balasan kata 'sama-sama'.
Tapi telinganya masih bisa mendengar jelas ketiganya sedang membicarakan CEO mereka sendiri.
Tidak jelek, mungkin mereka hanya membeberkan penilaian yang sama terhadap atasannya yang suka pergi setengah hari dengan alasan melanjutkan magisternya dan hal-hal lain yang terkadang tidak masuk akal bagi yang lain.