webnovel

JANGAN PANGGIL AKU KUCING

Dimas tak pernah menyangka bahwa kehidupannya akan berubah, saat dirinya merantau ke Ibu kota demi mengadu nasib. Berawal sebagai seorang pelayanan restoran di Jakarta, bekerja berkat bantuan teman lamanya bernama Vano. Namun, beberapa bulan kemudian Dimas berhenti dan bekerja di salah satu tempat hiburan malam. Semula, semuanya berjalan normal hingga suatu ketika ia diperkenalkan dengan seorang wanita bernama Jen. Jen sendiri merupakan wanita bayaran. Jen menawarkan kepada Dimas untuk meninggalkan perkerjaannya dan menjadi cowo bayaran (Escort) agar hidupnya bisa berubah. Pada awalnya Dimas bimbang, namun akhirnya ia mencoba jalan barunya tersebut. Benar saja, setelah berubah haluan dan menjadi cowo bayaran, kehidupannya berubah drastis. Hingga pada suatu ketika, ada seorang pelanggan bernama  Hans yang ingin memakai jasanya. Mulanya Dimas pun menolak, karena ia sama sekali tidak tertarik dengan pria apalagi sampai harus melayaninya. Namun, uang seakan menjadi senjata yang meleburkan harga diri. Hubungan Dimas dan Hans pada awalnya hanya sebatas pelanggan dan pemberi jasa. Namun, waktu seakan mengubah semuanya. Cinta yang tumbuh diantara keduanya seakan menjadi abstrak hingga terjalin sebuah hubungan terlarang. Hingga pada suatu ketika hubungan mereka diketahui oleh istri Hans yaitu Vera dan anak sulungnya bernama Chris. Vera bersama anak sulungnya melabrak Dimas dikediamanya. Karena kejadian itu hubungannya dengan Hans  menjadi renggang. Dimas pun seakan menghilang ditelan bumi. Setelah bertahun – tahun menghilang siapa sangka waktu mempertemukannya kembali, namun kali ini bukan dengan  Hans melainkan dengan Chris anak sulung dari Vera. Mereka yang awalnya bermusuhan karena kejadian dimasa lalu, justru menimbulkan benih – benih cinta diantara keduanya. Hingga konflik yang lebih tragis terjadi lagi dan membongkar siapa sebenarnya Dimas,  Hans, Vera dan Jen. .....

Ansyah_Ibrahim · LGBT+
Zu wenig Bewertungen
27 Chs

PART 14 - IA PERGI

Di luar ruang IGD kedua pria tersebut terlihat bolak – balik. Wajahnya amat gelisah. Harapannya seakan sedang di ujuk tanduk. Sesekali Chris terlihat memanjatkan doa kepada Sang Maha Pencipta. Ia berharap bahwa Tuhan memberikan kesempatan kedua bagi ibunya.

Beberapa jam berlalu belum ada satu Dokter pun yang keluar dari ruangan. Kedua pria itu semakin menipiskan harapannya. Apakah benar bahwa ini adalah hari terakhir dimana mereka berpisah. Mengapa, kepergiannya begitu cepat. Mengapa, Tuhan begitu cepat mengambil nyawa Ibunya.

Di tengah kegelisahan yang menyelimuti, salah satu Dokter ke luar dari ruangan. Wajahnya nampak begitu murung. Sepertinya ia membawa kabar buruk bagi Hans dan Chris.

"Gimana donk keadaan istri saya?" Tanya Hans. Ia berharap Dokter mengatakan hal yang membuat dirinya tenang.

" Keadaan Nyonya Vera baik – baik saja, untung saja kalian cepat membawanya kemari". Aura kecemasan seolah menghilang dari kedua pria itu. Mereka tampak tersenyum ketika mendengar kabar tersebut.

"Tapi…"

"Tapi, kenapa Dok?"

"Janin yang di kandungnya mungkin bisa tidak selamat"

"Istri saya sedang mengandung?". Ia begitu kaget mendengar ucapan Dokter bahwa sang istri sedang mengandung anaknya.

"Kami akan berusaha sekuat tenaga. Kami mohon doanya saja. Saya permisi"

Tetes air mata mulai mengalir. Ia membasahi pipihnya. Laki – laki yang tak pernah bersedih itu, seolah kini hatinya begitu rapuh. Menyesel, mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menjabarkan keadaan hari ini. Tapi, penyeselan tak akan mengubah keadaan. Bukankah apa yang sudah terjadi tidak bisa terulang.

"Pah" Ujar Chris sembari menenangkan ayahnya.

"Maafkan papah Chris". Hans memeluk dengan erat anak semata wayangnya tersebut. Pelukan yang sudah lama sekali tak pernah ia rasakan. Pelukan seorang ayah. Hangat. Layaknya sinar Mentari yang menyinari kutub utara.

….

Meski penyesalan selalu datang belakangan

Tapi masa depan selalu menguntai harapan

….

Langkah kakinya terhenti di sebuah pintu apartemen di lantai 29. Tangan kanannya mencoba mengetuk pintu apartemen tersebut, namun keraguannya seolah menjadi dinding penghalang.

Ia menarik nafas dan memberanikan diri untuk mengetuk pintu tersebut. Namun, belum juga tangannya sampai, pintu itu telah terbuka.

"Chris, ada apa pagi - pagi sudah disini?"

"Bisakah kita bicara di dalam?"

….

Mereka saling menatap satu sama lain di area balkon. Dimas lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya.

"Mau?"

"Tidak"

Kumpulan asap yang keluar dari bibirnya seakan adalah beban hidup yang ingin hempaskan.

"Dim…jika aku meminta sesuatu pada mu apakah kau akan mengiyakannya?"

Tanya Chris sembari menatap indahnya Ibu Kota dari lantai 29.

Dimas membuang rokok yang baru dihisapnya. "Memangnya apa permintaan mu?"

Chris menghadapkan tubuhnya ke arah Dimas. Ia lalu berlutut. Memohon dan meminta kepadanya.

"Hai…Hai, Chris bangun, kenapa kau berlutut dihadapan ku" Ujarnya sembari meminta Chris untuk berdiri.

"Tidak, aku tidak akan berdiri sampai kau mengiyakan keinginan ku". Air matanya mulai menetes.

"Iya, tapi apa yang kau minta dari ku?"

Chris menegakan kepalanya. " Aku mohon…tinggalkanlah Hans. Kehidupan kami sudah cukup hancur Dim". Derai air matanya semakin tak terbendung. Suasana pagi yang cerah seolah berubah menjadi kabut kepedihan.

"Apa yang terjadi Chris?"

….

Setelah mendengar cerita dari Chris, Dimas tak langsung mengiyakan permintaannya. Ia hanya terdiam. Seolah sedang terdesak oleh dua pilihan. Melanjutkan hubungannya dengan Hans, namun menghancurkan hubungan yang lain atau berpisah.

"Aku harap kau mengerti. Aku tahu kau adalah pria yang baik"

….

Ia merenung. Menatap langit dengan kesendiran. Apa yang dilakukan oleh Chris, seolah membawanya ke dunia masa lalu. Masa lalu yang suram. Masa keluarga yang dulu.

Sebagai anak semata wayang yang tak pernah merasakan kebahagiaan, apakah pantas merebut kebahagiaan orang lain. Haruskah kebahagiaan itu direbut. Bukankah kebahagiaan itu diciptakan.

….

Masihkah pantas disebut kebahagiaan

Jika ada air mata orang lain yang menetes

Atas kebahagiaan tersebut.

….

PERTEMUAN MALAM ITU…..

Malam minggu adalah waktu yang tepat bagi sepasang kekasih untuk menghabiskan waktu bersama. Entah sekedar menonton film, makan malam atau hanya sebatas tertawa bersama.

Malam ini kedua pria yang tengah menjalin hubungan bertemu di sebuah Kafe. Letaknya tak jauh dari apartemen Dimas. Bahkan bisa ditempuh dalam waktu 10 menit, hanya dengan berjalan kaki.

Alunan musik pop kekinian terdengar merdu, ditambah dengan suasana kafe yang cukup cozy. Sesosok pria telah menunggunya di meja nomor 15. Pakaiannya terlihat sangat rapi. Berbalut kemeja merah dan celana jeans. Pria itu tampak sedang menunggu kehadiran seseorang. Seseorang yang kini mengisi hatinya.

"Maaf aku telat" Ujar Dimas.

Ia lalu mempersilakan Dimas untuk duduk di hadapannya. Lalu, seorang pelayanan membawakan segelas minuman dingin dan beberapa makanan ringan. Suasana semakin romantis takala sebuah lagu cinta dimainkan. Alunan musik yang indah seolah menjabarkan cinta diantara mereka. Meski cinta itu, mungkin saja tidak akan lagi sama.

"Kamu kenapa. Dari tadi diam saja, apa makanannya tidak enak?"

"Enggak kok. Aku suka".

Ia lalu menyentuh tangan kekasihnya tersebut.

"Hans, aku boleh tanya sesuatu?" Tanyanya dengan nada membisik

"Iya, apa yang ingin kau tanyakan sayang?"

"Menurut mu, apakah hubungan kita ini akan bertahan lama?". Ia mengigit bibirnya. Berharap kekasihnya tersebut tidak akan tersinggung dengan kata – katanya.

Hans hanya terdiam. Ia meneguk segelas air yang berada di sisi kananya.

"Hai, kenapa kau hanya terdiam?. Apakah pertanyaan ku salah?". Matanya mulai berkaca – kaca.

"Tidak…tidak ada yang salah dengan pertanyaan mu"

"Lalu…" Dimas mencoba menegaskan kembali pertanyaannya.

"Kau tenang saja, aku akan selalu ada untuk mu"

Bernarkah…lalu bagaimana dengan Vera dan anak yang sedang dikandungnya. Apakah cintanya terhadap Dimas jauh lebih besar dibandingkan cintanya kepada Vera.

IA TELAH PERGI….

Pagi itu Hans menunggu kadatangan Dimas di dalam Mobil sambil menyeruput segelas kopi hangat. Sesekali ia memandangi langit yang nampak cerah. Kegembiraan begitu jelas tergambarkan di wajah Hans. Bagaimana tidak, hari ini Mereka akan berlibur bersama ke Singapura. Singapura dipilih Hans sebagai kado untuk ulang tahun Dimas yang jatuh tepat hari ini.

Namun, setelah lebih dari tiga puluh menit menunggu Dimas tak kunjung tiba. Hans mencoba menghubunginya, namun nomornya tidak aktif. Kegelisahan mulai merasuki dirinya. Ia bergegas naik ke unit.

Sesampainya di depan pintu, ia kembali menelpon sembari mengetuk pintu. Namun tidak ada jawaban. Akhirnya ia pun mencoba membuka pintu tersebut dengan kunci duplikat yang ia miliki. Ia bergegas masuk.

"Dim, ini aku"

Sunyi. Sepi. Dan tak ada jawaban sama sekali. Ia lalu bergegas menuju kamar yang ditempati oleh Dimas. Namun tak ada siapa – siapa disana, hanya ada guling dan bantal.

Langit mungkin nampak cerah tapi tidak dengan hatinya. Sang kekasih yang telah bersamanya, telah pergi. Lari dari kenyataan hidup yang seakan membebaninya.