webnovel

Cincin dari Pak Peter

Jam mulai berganti.

Melihat hari telah petang, aku segera menutup semua jendela dan pintu lalu menyalakan semua lampu. Aku ingin semua ruangan di sini terlihat terang agar tak terasa suasana horornya.

Setelah memastikan semuanya tertutup, aku beranjak membawa beberapa makanan tadi dan akan segera naik ke atas.

"Albert?" tiba-tiba aku mendengar ada seseorang yang mengetuk pintu.

Karena Albert sudah di atas, aku memutuskan membuka pintu tersebut.

"Pak Peter?" panggilku saat ternyata, seseorang yang memanggil Albert tadi adalah dia.

Pak Peter tersenyum. "Kau? Mana Albert?"

"Di kamar atas. Ada apa, Pak?"

"Oh tidak. Aku ingin berbicara dengannya. Tapi karena kau di sini, aku berbicara dengan kau saja."

Sejujurnya, aku sedikit terkejut mendengar ucapan beliau.

"Baiklah. Mari masuk." ajakku ke dalam dan Pak Peter melenggang masuk lalu duduk di sofa.

"Apa yang ingin kau bicarakan, Pak Peter?"

"Aku ingin menitipkan sesuatu untuk kau di sini. Selama di sini, kau harus menyimpan benda itu dan jangan pernah kau tinggalkan."

Aku sedikit bingung mendengar ucapannya.

"Benda? Benda apa yang kau maksud?"

"Tapi berjanjilah kepadaku kau akan memakainya."

"Mmm, sebentar. Saya tidak tahu sebenarnya apa dan tolong jelaskan agar saya lebih mengerti."

"Jadi ini." Pak Peter mengambil sesuatu dari dalam sakunya. "Aku akan memberikan kamu sebuah cincin, dan kau harus memakainya." dia menunjukkan sebuah cincin kuno berwarna putih namun sudah terlihat sedikit usang.

"Untuk apa?" tanyaku cepat.

"Aku tahu tadi kau diganggu oleh sesosok anak kecil yang menyerupai Albert, kan?"

Aku terbelalak saat mendengar ucapannya. Bagaimana dia bisa tahu kejadian itu sementara kami berdua menutupnya rapat-rapat dan tidak ada satu orang pun yang melihat.

"Kau? Mengapa kau tahu?" tanyaku penasaran.

Pak Peter tersenyum.

"Aku tahu."

"Tapi, bagaimana?"

"Aku sudah tahu latar belakang tempat ini. Jadi jangan heran jika kau mendengar bahwa aku mengetahui semuanya. Justru aku kemari untuk melindungi kau agar tidak diganggu lagi oleh sosok-sosok seperti itu. Jadi ini, jika kau memakai cincin ini, maka hantu-hantu yang ada di rumah ini tak berani bahkan takut kepada kau. Mereka tidak akan berani untuk menunjukkan wujudnya di depan kau."

Aku menerima cincin kuno itu dari tangannya. Sejujurnya aku masih sedikit bingung dengan maksud dari semua ini.

"Mengapa hanya aku saja? Apakah Albert tidak diberi cincin yang sama seperti ini? Dia juga sama-sama diganggu seperti aku."

"Aku akan memberitahukannya setelah Albert pulih. Sekarang kau pakai cincin itu dan jangan pernah kau lepas dari jari itu. Dan satu hal,"

Aku mendengar ucapannya dengan seksama.

"Jangan pernah kau bicara tentang cincin itu kepada Albert dan jangan beritahukan dia bahwa aku telah memberikanmu cincin itu. Tutup rapat-rapat rahasia ini dan jika dia bertanya perihal itu, maka kau buat alasan lain saja supaya dia mengerti."

Mendengar ucapannya yang terlihat sangat serius, aku percaya dan mulai memakai cincin itu. Lagi pula apa salahnya jika aku mencoba. Menurut Albert, Pak Peter adalah seorang pria yang sangat baik dan senantiasa membantu dia apalagi ketika diganggu oleh penghuni rumah ini.  Aku berharap semoga apa yang dilakukannya memang benar.

"Baiklah." Pak Peter berdiri setelah melihat aku mengenakan cincin itu. "Jangan kau lepaskan cincin pemberian dariku, atau gangguan di rumah ini akan semakin membuat kau gila." dia berpamitan kepadaku dan berjalan dengan cepat.

Aku hanya berdiri di depan rumah dengan rasa penasaran yang masih tak bisa aku pikirkan. Secepat itu dia mengatakan hal tadi dan secepat itu dia pergi.

Ada apa ini?

Sadar aku berdiri di tengah malam yang sepi, dengan segera aku menutup pintu kemudian kembali ke kamar. Dari sini aku berharap semoga tidak ada lagi kejadian-kejadian aneh ataupun suatu hal yang bisa membuat aku tak bisa tidur malam ini.

Sesekali aku melihat cincin yang sudah ada di jari manisku ini. Kalau dilihat dengan seksama, cincin ini terlihat sangat unik dengan batu berwarna hijau yang mengkilau seperti kristal.

Sesaat, entah itu karena halusinasiku atau tidak, aku merasa bahwa di dalam batu ini memancarkan sebuah cahaya hijau remang-remang.

Karena kaget, aku segera membuka pintu kamar dan berusaha menutupi semuanya dari Albert.

...

Malam ini tak terlalu sepi seperti malam kemarin.

Sesaat, aku mendengar ada suara seseorang yang sedang mengobrol dari arah luar. Ketika aku mengintipnya dari jendela, entah dari mana kedua pemuda itu sedang asik mengobrol bersama Pak Arthur. Gelak tawanya begitu nyaring hingga terdengar sampai di sini.

Kalau di rumah, biasanya aku sedikit terganggu dengan suara-suara seperti itu. Tapi kalau di sini, rasanya kalau ramai membuatku jauh lebih tenang. Suasana horor seperti ini harus kita pecahkan dengan suasana ramai agar kesan menakutkannya semakin tak terlihat.

Suara itu masih aku dengar sejak tadi. Entah datang dari mana orang itu bisa datang ke tempat paling terpencil seperti ini. Tak terbayang bagaimana jika mereka pulang malam ini, mungkin aku tak bisa membayangkannya juga betapa seramnya nanti ketika di jalan.

Sesaat aku melihat Albert yang tampak asik menonton televisi sambil memakan cemilan di depannya. Kadang, dia tertawa karena acaranya memang mengandung gelak tawa.

Entah kenapa dia bisa senyaman dan setenang itu tinggal di sini. Mungkin kalau aku jadi dia, sudah tak kuat dan lebih memilih untuk merantau saja di perkotaan.

"Hei, Kevin! Kau sedang apa di situ?" tanya Albert kemudian. "Ingin mendengar percakapan pria itu bersama Pak Arthur?" lanjutnya lagi sambil tertawa.

Aku tersenyum kecil kemudian duduk di sofa. "Tidak. Aku hanya penasaran dengan orang-orang yang ada di sana. Apa kau tahu?"

Albert menggelengkan kepala. "Aku juga aneh karena selama di sini, aku tak pernah mendengar ada orang yang mengobrol sambil tertawa dengan keras seperti itu."

"Jadi orang-orang yang ada di rumah Pak Arthur itu, kau tak tahu?"

"Iya. Aku tak tahu." Albert menyodorkan cemilannya dan memintaku untuk sama-sama memakannya. "Tadi kau agak lama di bawah. Ada apa?"

Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya.

"Apa kau sedang mengobrol dengan Jane?" lanjutnya seolah meledekku sambil tertawa.

Aku menggelengkan kepala. "Tidak, Albert. Tadi ada sedikit keperluan saja."

"Oh begitu. Tapi jika tengah malam nanti kau sakit perut, bangunkan aku saja. Aku tak tega jika melihat kau turun sendiri dan akupun takut kejadian malam terulang lagi."

"Iya." jawabku seadanya sambil menonton televisi.

Dari ujung mata, aku melihat Albert seperti sedang memperhatikan sesuatu dariku. Dia yang setengah berbaring, kemudian duduk dan memegang tanganku.

"Wah. Bagus sekali cincinnya." dia begitu terpukau. "Kau dapat dari mana?"

Aku menarik tanganku sambil tersenyum kecil. "Dari rumah."

"Benarkah? Perasaan aku tak melihatnya kemarin."

"Mungkin itu hanya perasaan kau saja, Albert. Aku memang sudah memakainya dari kemarin."

Dia terdiam seperti tak yakin dan berusaha mengingat-ingat ucapanku.

"Kalau begitu, coba lepas-"

"Eh jangan!" aku sedikit berteriak saat dia akan melepas cincin itu dari jariku. Kami berdua sama-sama terkejut hingga beberapa saat, suasana terasa hening. Sangat hening.

...