"Chandrea, sudah terlalu banyak menolongku," gumam Xela yang menatap dirinya sendiri di kaca kamar mandi di rumahnya, wajahnya semakin pucat hari demi hari, entah karena apa membuatnya begitu lemas dan juga selalu menghela napas setiap sepanjang waktu.
"(Aku tidak akan pernah bisa percaya pada kehidupan ku yang ini, dimana seharusnya aku mati di bully, tapi malah ada sesuatu yang menyelamatkan ku, kenapa dia begitu sangat baik sekali, kenapa dia berbeda dengan mereka tapi akhir-akhir ini, aku selalu ingin tahu, apakah Chandrea mendekatiku karena ada sesuatu, termasuk, dia akan mengejek ku ketika dia tahu apa yang aku alami...)" pikirnya dengan sangat diam, tapi mendadak, ketika dia menatap ke bawah, ada tetesan darah mentes sangat cepat dan ketika ia menoleh ke kaca, ia terkejut dia mimisan sangat banyak dimana banyak sekali darah mengalir dari hidung nya, dia langsung mengambil tisu dan menutupi hidung nya tapi tetap saja, darah itu bahkan masih bisa terlihat mengalir dari tangan pucatnya.
"Kupikir, aku sudah tidak bisa bertahan lama."
Terlihat Xela duduk di hadapan Dokter di ruangan yang dingin itu, tatapan nya tampak ragu dan khawatir dan yang memulai pembicaraan adalah Dokter. "Xela, ini sudah ke empat kalinya kau datang sejak umurmu masih 17 tahun."
"Yeah, aku tahu, aku kemari di umur 17 tahun karena penyakitnya muncul di umur segitu, jadi, apa yang terjadi, apakah itu sudah lebih baik?" Xela menatap agak takut.
Tapi entah kenapa, Dokter itu mengatakan sesuatu sambil menghela napas duluan.
"Maafkan aku, kau terlihat seperti gadis yang normal di luar sana, kau juga tidak memiliki masalah, tapi, sudah saatnya aku mengatakan, skor kehidupan mu semakin rendah, sel kanker sudah menyebar di tubuhmu," kata Dokter.
Tapi ekspresi Xela tampak tidak terlalu memasang ekspresi terkejut, dia hanya terdiam layaknya dia sudah bisa menerima itu semua. "Dari awal, aku tak pernah di izinkan untuk tinggal di dunia ini…." ia lalu terlihat berdiri. "Terima kasih…" tambahnya yang kemudian berjalan pergi dari ruangan itu membuat Dokter itu bergumam sendiri sambil merasa iba.
"Ini pemeriksaan terakhirmu, aku harusnya menyaran kan mu melakukan apa yang kau inginkan bahkan hal mustahil sekalipun…"
Setelah pulang, Xela langsung menuju ke dalam kamar dan malah dengan gila memberantakan semua barang yang ada di dalam kamarnya, bahkan di rak buku yang tersusun rapi, dia membuang semuanya juga mendorong kasurnya membuat semuanya tidak rapi dan berantakan. Kemudian ada seseorang yang masuk ke kamarnya, tepatnya seorang lelaki kecil, sepertinya tidak sebaya dengan nya menatap semua kekacauan ini.
"Wow, kau monster," tatapnya melihat semua kekacauan yang di sebabkan Xela dan bahkan Xela terduduk putus asa di bawah pintu dan hanya bisa memeluk lututnya. "Pergilah…."
Tapi muncul seorang pria. "Xela, ada apa?" tatapnya. Sepertinya pria itu adalah Ayah Xela.
Xela hanya membalas. "Ini tidak akan lama lagi…"
Mendengar hal itu membuat Ayahnya terkejut tak percaya, seketika dia terpukul dan menghela napas panjang mencoba untuk tenang. Layaknya dia sudah tahu situasi apa yang terjadi saat ini.
Lalu Xela lupa meninggalkan sesuatu yang belum berantakan, yakni beberapa buku-buku yang ada foto kenangan keluarga, dia bahkan berdiri dari berlututnya dan membuang buku itu ke tempat sampah.
"Xela, aku mohon, jika kau tidak ingin, aku yang akan menyimpan nya untuk mu," tatap Ayahnya.
"Tapi aku ingin melupakan nya," balas Xela dengan tatapan tajam.
Lelaki kecil tadi menatap mereka. "Apa yang sebenarnya terjadi?" dengan tatapan polos.
Kemudian pria tadi membalas. "Kakak mu tidak akan lama lagi hidup…"
"Oh, cukup tahu, apakah kita akan jadi berlibur setelah dia mati nanti?" bocah itu benar-benar tidak mengerti atau dia memang sengaja membuat Xela hanya terdiam mendengarnya.
"Hei, jaga mulutmu…" Ayahnya membela.
"Apa? Bukankah itu baik, pergilah, Xela, kau tidak akan di tindas lagi," kata bocah itu.
"Cukup, sekarang pergi ke kamarmu," Ayahnya mengusirnya membuat bocah itu kesal dan berjalan pergi dari sana.
"Ini baik-baik saja Ayah, aku juga pasti akan bersyukur jika aku mati, aku tidak harus di bully, dari awal, aku tak bisa berteman karena aku memiliki tubuh yang lemah, sekali bicara banyak, mungkin umurku akan semakin pendek sekali, karena itulah aku mencoba untuk diam menghemat energiku meskipun aku harus di tindas,"
"Tapi, kau juga satu-satunya yang aku punya, jangan seperti ibumu," Ayahnya menatap sangat sedih dan kecewa, dia bahkan masih berdiri di pintu kamar Xela.
"Ini baik-baik saja…" balasnya sekali lagi sambil mengingat sesuatu, mengingat sosok ibu yang selalu terbayang-bayang membuatnya meneteskan air mata sendirian.
"Xela…"
"Ini baik-baik saja, aku hanya butuh waktu…" Xela menyela kemudian berjalan pergi melewati Ayahnya itu membuat Ayahnya menghela napas Panjang. "Itu faktor keturunan, tapi kenapa harus dia yang bahkan tak berdosa…"
Sementara itu, Chandrea membuka penutup luka yang ada di bawah pipinya dan kening samping nya, itu sudah lebih baik bahkan hanya berbekas sedikit membuatnya membuang penutup luka itu dan mencuci wajahnya, tapi ponselnya berbunyi di samping watafel itu, kemudian mengangkatnya dengan tangan yang masih basah. Begitu tahu yang menghubunginya adalah Xela, dia langsung tersenyum. "Ehehehemmm halo?"
"Chandrea, apa kamu punya waktu?" tanya Xela.
"Oh, aku punya banyak waktu ehehehemm…"
"Kalau begitu, bisa antar aku ke suatu tempat, tempat yang menyenangkan dan sangat indah, aku mohon, hanya kamu yang bisa melakukan nya…"
"Tentu, berikan alamat rumahmu dan aku akan menghampirimu," Chandrea langsung membalas.
Awalnya Xela ragu, karena ia tak pernah memberikan alamat rumahnya pada siapapun, tapi mau bagaimana lagi, lalu ia benar-benar mengirimkan alamat rumahnya.
Hingga tak lama kemudian, sebuah mobil datang di sebuah tempat, rumah yang tidak terlalu besar maupun tidak terlalu kecil di tengah kompleks lalu dari dalam mobil itu, keluar Chandrea dari sana berjalan melewati halaman rumah itu.
Tapi rupanya ada Ayah Xela yang kebetulan menyirami bunga maupun tanaman yang ada di halaman. "Hei, permisi, kau tak bisa sembarang masuk ke taman orang, Nona," dia memperingati Chandrea lalu Chandrea menoleh dan mendekat.
"Ehehemm halo, aku teman nya Xela, aku siap membantunya…" tatap Chandrea.
Tapi Ayah Xela terdiam ragu. "Kau yakin? Dia tak pernah menceritakan dia punya teman wanita sepertimu apalagi siap membantunya…"
"Oh benarkah, mungkin butuh waktu untuk dia menceritakan nya, tapi percayalah, aku benar-benar temannya ehehemm," Chandrea tampak bersikap ramah.
"Oh Nona, kupikir kau salah, soal butuh waktu… Waktunya tidak lama lagi," kata Ayah Xela membuat Chandrea terdiam mendengar itu.
"Apa… Maksudmu?" dia menatap serius.
Dengan wajah maupun perasaan yang sangat sedih, kemudian pria itu berani menceritakan. "Istriku, mengalami kanker di umurnya yang sudah melahirkan putra keduaku, tak di sangka, dia mati karena kanker itu dan kemudian, itu malah di turunkan pada putriku, Xela, Dokter bilang, itu sudah menyebar sangat cepat dan kau tahu kondisi di dunia ini, tak ada yang bisa menyembuhkan kanker… Dia terus menangis ketika pulang dari kampus, kemudian bercerita bahwa dia selalu di tindas, tapi kali ini, dia tidak mau menangis, karena dia sudah bersyukur akan menghilang di dunia ini, tapi tetap saja, aku mencoba untuk membantu, tapi memang nya apa yang bisa aku lakukan," kata pria itu yang hampir menangis dan mengusap wajahnya.
Chandrea yang baru saja mendengar hal itu bahkan langsung terdiam menurunkan senyuman nya.
Hingga kemudian Xela datang mendekatinya.
"Chandrea, kenapa tidak memberitahuku bahwa kamu sudah di sini?" dia menatap agak ragu.
Tapi Chandrea hanya terdiam tak menjawab, dia lalu memegang tangan Xela. "Mari, aku antarkan ke tempat yang sangat bagus…" tatapnya tanpa bertanya apapun kemudian Xela menatap ke Ayahnya. "Aku akan, pergi sebentar," tatapnya.
Tapi Ayahnya itu hanya terdiam dari tadi sambil membuang wajah. "Pergilah, dan aku mohon, kau harus bersenang senang…"
Xela hanya terdiam setelah itu melihat mobil Chandrea. "Kenapa memakai mobil, kita hanya cukup berjalan jalan…" tatap Xela.
Awalnya Chandrea terdiam, dia lalu membalas. "Kau akan lelah berjalan," lalu langsung masuk mengemudikan mobil.
Hingga Chandrea membawanya ke suatu tempat, ketika di jalan, Xela melihat wanita tua yang terduduk di halte bus sendirian, Xela yang melihat itu membuatnya berpikir. "Aku mungkin tidak akan bertahan sampai berkeriput menikmati dunia…"
Tapi mendadak Chandrea memanggil dengan nada yang datar. "Xela…" membuat Xela perlahan menoleh.
"Aku sudah mengetahui semuanya, kenapa kau menyembunyikan ini dariku bahkan ketika aku sudah memutuskan kita menjadi teman," tatap Chandrea.
"Apa maksudmu?" Xela menatap dengan ragu dan cemas, dia takut Chandrea ikut mengetahui kebenaran nya.
"Sekarang kau tak perlu menyembunyikan nya, ceritakan saja padaku, aku akan membantumu…" kata Chandrea, tepat kebetulan lampu merah dan dia bisa mendengarkan Xela sambil menatap datar.
Xela awalnya terdiam. "(Aku tidak berharap dia akan tahu, tapi mau bagaimana lagi… Aku sudah mengatakan semuanya, aku sudah menjelaskan semuanya…)" pikirnya yang kemudian menghela napas panjang.
"Jangan khawatir Chandrea, aku baik-baik saja, aku benar-benar bersyukur jika harus mati duluan dari pada terus tertindas, mungkin ini adalah takdir yang akhirnya membiarkan ku untuk mati agar tidak tertindas lagi,"
"Apa kau bodoh!! Takdir mengirimkan ku sebagai penyelamatmu!! Sebagai pelindung mu!! Aku adalah teman mu, tapi kenapa setiap kali kau bertemu seseorang, kau selalu mengaku tak pernah di tolong olehku!! Aku ini apa, aku sudah menolongmu!! Bahkan Ayah mu tak tahu aku siapa!!" Chandrea menatap layaknya dia merasa tidak adil.
"Aku tidak bermaksud begitu, hanya saja… Aku benar-benar tak tahu lagi harus apa, aku tak bisa berpikir dengan baik, maafkan aku…" rintih Xela hingga ia benar-benar menangis putus asa membuat Chandrea terdiam, lalu dia menarik Xela membuat Xela terkejut, rupanya Chandrea memeluknya hangat membuat Xela masih menangis.
"(Mungkin aku tidak pernah sadar dengan pertolongan yang seperti ini…. Bahkan sama sekali tidak, ini hanyalah akhir dari hidup ku yang sia-sia….)"