webnovel

Jadi Suamiku Ya, Om?

Alur "Om, jadi suamiku, ya?" Bukan pertanyaan iseng, itu pertanyaan sudah berkali-kali dilemparkan oleh Nindya pada Andy, bahkan sejak ia masih ingusan sampai kini gadis itu sudah memasuki usia remaja. Nindya begitu terobsesi pada Andy, padahal jelas-jelas pria yang menjadi sahabat papanya itu sudah memiliki seorang kekasih. Nindya rela memasuki universitas keguruan dan ilmu pendidikan, ia ingin sekali menjadi seorang guru, bukan karena itu cita-citanya. Gadis itu hanya ingin menarik perhatian Andy yang juga merupakan seorang guru yang dulu mengajarnya semasa SMA. Tak tanggung-tanggung, Nindya selalu mengklaim Andy adalah calon suaminya, di depan Raya sekalipun. Jelas itu membuat Raya sering emosi dan naik darah. Raya yang merupakan kekasih Andy selalu menjudge Nindya sebagai jalang perusak hubungannya dengan Andy. Ia tak segan-segan memberikan cap seorang pelakor pada Nindya. Apakah Nindya jera? Tentu saja tidak, bukan Nindya namanya jika ia menyerah. Hubungan buruk Nindya dan Raya semakij pelik, manakala papa Nindya yang berstatus sebagai duda ternyata memiliki hubungan dengan mama Raya yang berstatus janda. Keduanya merencanakan akan menikah setelah mendapatkan restu dari anak-anak mereka. Seiring berjalannya waktu, mau tak mau Nindya dan Raya harus menerima kenyataan, bahwa mereka pada akhirnya harus siap menjadi saudara tiri. Kehidupan dalam 1 rumah membuat keduanya semakin tak akur. Kebersamaan membuat Dion benar-benar jatuh cinta pada Nindya. Demi menghindari amarah Raya, Nindya mencoba berjalan dengan Dion. Sekaligus Nindya tidak ingin membuat papanya kecewa, gadis itu memilih mengalah dan berhenti mengejar Andy. Andy merasa kehilangan sosok Nindya, gadis yang biasanya mengganggu dirinya kini terdiam dan berhenti. Gadis itu tak lagi menghiraukan keberadaan Andy. Jelas itu membuat sosok Raya merasa menang dan merdeka. Ia semakin yakin jika Andy adalah miliknya dan akan menjadi miliknya selamanya. Dion yang tulus kepada Nindya merasa frustasi, kenyataan sebenarnya gadis yang ia cintai selama ini masih memiliki perasaan kepada pria lain, Andy. Dion menyusun rencana, melancarkan aksinya, mengajak Nindya ke club dengan dalih pesta ulang tahun teman kampus. Dion memberikan minuman beralkohol pada Nindya, gadis itu terhuyung dan berhalusinasi. Merasa semua aman, Dion mengajak Nindya pergi ke kos yang sengaja ia sewa sebelumnya. Nindya meracau, memanggil-manggil nama Andy, jelas membuat Dion semakin geram, ia berinisiatif untuk bergegas mengajak Nindya terbang ke surga dunia, agar ia bisa memiliki Nindya sepenuhnya. Dengan bantuan teman-teman Nindya, Andy berhasil menemukan jejak keberadaan gadis itu. Bukannya diantar pulang, Andy mengajak Nindya masuk ke dalam rumahnya, pria yang tinggal seorang diri itu merebahkan Nindya di atas ranjang miliknya. Ditatapnya kedua bola mata gadis yang masih meracau itu. "Jadi suamiku ya, Om? Nindya sayang, Om Andy." Kalimat itu terlontar lagi dari bibir mungil Nindya. Dan Andy tak lagi mampu menahan perasaannya, malam itu juga ia mengambil pucuk bunga Nindya, gadis itu kehilangan kegadisanya oleh pria yang ia sayangi. Amarah papa Nindya memuncak, mengetahui anak gadisnya di tiduri Andy, ia meminta pertanggung jawaban segera. Itu menjadi pertentangan bagi Raya, ia tidak terima dengan keputusan papa tirinya. Konflik lagi-lagi terjadi, perdebatan berhari-hari tak membuahkan hasil sampai akhirnya Nindya hamil, tak bisa di ganggu gugat lagi. Raya dengan berat hati melepaskan Andy menikahi Nindya, saudara tirinya. "Karena kamu memang jodohku, bukankah sudah ku sampaikan sejak dulu?" ~ Nindya.

Christina_240986 · Teenager
Zu wenig Bewertungen
4 Chs

Dia Pacar Dari Calon Suamiku

Akhirnya, Nindya lulus, ia diterima di sebuah universitas ternama di Kota Denpasar, Universitas Mahadewa. Universitas elite yang memiliki beberapa ragam jurusan di dalamnya. Nindya berhasil masuk pada bidang keguruan Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Pertama kali menjadi mahasiswa, Nindya dan teman-teman seangkatannya diwajibkan mengikuti Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau biasa disebut dengan OSPEK.

"Anak jalang juga kuliah ya? Aku fikir, kamu cuma memiliki keahlian menggoda kekasih orang. Jadi, kamu juga bisa belajar?" sindir Raya, ia tidak menyangka jika Nindya berhasil masuk ke kampus elite tempatnya menempuh pendidikan.

"Siapa yang jalang? Tante ya? Astaga, Tante, aku kaget lo. Aku fikir Tante itu cewek baik-baik, kasihan Om Andy, aku harus menyadarkannya." Nindya tak mau kalah, ia malah balik menuding Raya.

"Kamu itu benar-benar ga punya ahklak ya, cih!" Raya mendorong Nindya sedikit keras, membuat gadis itu terhuyung dan hampir terjatuh, namun masih bisa menyeimbangkan dirinya kembali.

"Siapa dia, Nindya? Kamu kenal? Hati-hati lo, dia senior kita." Bella yang 1 jurusan dengan Nindya menegurnya, sedari tadi gadis itu memperhatikan perdebatan keduanya yang terlihat jelas tak ada persahabatan sedikitpun.

"Dia pacar dari calon suamiku," jawab Nindya datar. Ia masih menatap Raya yang melenggang pergi memperlihatkan bokong seksinya, meninggalkan dirinya yang masih terdiam.

"Apa? Calon suami? Kamu sudah mau nikah?" Bella yang baru saja mengenal Nindya tersentak kaget mendengar pengakuan teman barunya.

"Lupakan, aku cuma bercanda, hahaha ... Haha...." Nindya terkekeh geli seraya menepuk pundak Bella sekali.

Dari kejauhan tampak Wina, teman semasa SMA Nindya berlari kencang menuju ke arah Nindya. Beberapa kali ia terdiam mencoba mengatur napasnya sebelum mulai bicara. Ia memegangi dadanya kemudian mulai menenangkan diri. Menghela napas sejenak lalu menghembuskannya pelan.

"Kenapa, Wina? Om Andy?" Nindya seakan-akan bisa menerka apa yang akan disampaikan Wina padanya.

Sahabat setianya itu selalu tahu hal-hal penting yang harus disampaikan tepat waktu pada dirinya, khususnya tentang Andy.

"Ada di luar gerbang kampus, dia di sana, huh ... Iya, itu Om Andymu, di depan kampus," jawab Wina masih ngos-ngosan mengatur napasnya setelah berlari tadi.

"Siapa sih?" Bella menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, gadis itu bingung dengan tingkah kedua teman kuliahnya.

Nindya sudah mulai melangkah, perlahan tapi pasti. Dengan wajah datar dan biasa-biasa saja, ia menuju depan kampus, seperti yang disampaikan Wina. 2 temannya mengekor dari belakang, mengatur jarak agak sedikit jauh.

Benar saja. Andy sudah berada di depan, bukan cuma Andy, Raya juga disana. Sepertinya gadis itu baru menyelesaikan mata kuliah terakhirnya dan hendak pulang.

"Eh ... Om Andy, jemput lagi?" ucap Nindya seraya mengulum senyumnya.

"Bocah tengik ini lagi," sindir Raya seraya mendelik ke arah Nindya.

"Iya, Nindya mau pulang? Ayok, sekalian biar Om anterin," ucap Andy ramah.

"Tidak usah, Om ... Om itu kan, calon suami Nindya, bukan sopir Nindya lho ... Kalau sekedar antar jemput, tukang ojek juga bisa kok," jawab Nindya.

"Apa maksudmu, sialan?" Raya kembali tersulut emosi. Ia memasang ekspresi amarahnya ke arah Nindya. Matanya mulai melotot seperti hendak menerkam Nindya hidup-hidup.

"Om, aku pulang duluan, ya. Takut, ada nenek lampir yang mau marah," ucap Nindya.

Bukan Nindya namanya jika tidak membuat perkara lebih, disempatkannya menarik tangan kanan Andy, lalu mencium punggung tangan pria itu dan ia bergegas melarikan diri dari hadapan mereka.

"Jalang! Jangan lari kamu, sialan!" teriak Raya penuh emosi, sementara Nindya sudah tertawa terpingkal-pingkal menjauh lalu menghampiri 2 temannya yang nampak tertawa renyah melihat kelakuan konyolnya.

****

"Aku pulang," ucap Nindya sesampainya di depan pintu rumah.

"Non Nindya, sudah pulang? Maaf ya, tadi bibi di belakang, jadi tidak dengar," ucap Bi Isah, yang terlihat sedang mengeringkan tangannya yang basah dengan cara menggosokkannya pada celemek yang ia pakai.

"Papa?"

"Pak Rendy belum pulang, Non. Non Nindya sudah makan siang?" tanya Bi Isah.

"Sebentar lagi, Bi. Aku masuk dulu, ganti pakaian. Bi Isah lanjut aja sama pekerjaannya, nanti aku ambil sendiri kalau mau makan." Nindya bergegas masuk ke dalam kamarnya setelah melemparkan seulas senyuman pada Bi Isah.

Nindya menatap sendu foto kecil yang terpajang di atas meja belajarnya, ada dirinya, papa dan mamanya disana. Foto terakhir yang diambil sebelum sang mama meninggal.

"Nindya rindu mama," lirihnya, bulir-bulir bening mulai berkumpul di sudut matanya, diambilnya bingkai itu dan dipeluknya hangat.

Dulu, kalau ia pulang sekolah, mama Almira yang selalu menyambutnya. Kini sosok itu hanya menjadi kenangan bagi Nindya, kenangan yang akan selalu hidup di dalam lubuk hatiya.

Tumpah sudah, isak tangis Nindya tak tertahan lagi, ditambah lagu-lagu sendu ia dengarkan, menambah sesak dadanya.

Lirik :

Kata mereka, diriku, selalu ditimang,

Kata mereka, diriku, selalu dimanja,

Oh ... Bunda, ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku ....

Menangis dalam tidur, akhirnya Nindya terlelap setelah lelah menangis. Masih memeluk bingkai foto dirinya dan kedua orang tuanya. Dibalik cerianya, Nindya menyimpan banyak luka. Gadis itu kini sudah beranjak dewasa, namun kesibukan sang ayah membuatnya merasa kurang kasih sayang dan perhatian. Ditambah tak ada sosok ibu di sisi-Nya.

"Nindya, bangun, sayang ...." Jemari kekar itu membelai lembut rambut Nindya.

Jarum jam sudah menunjuk angka 07.00 malam. Rendy yang baru saja selesai membersihkan diri setelah bekerja bergegas menghampiri putrinya yang masih tertidur.

"Papa," lenguhnya, Nindya sedikit mencoba meregangkan anggota tubuhnya. Bingkai yang sedari tadi dipeluknya telah lepas.

"Mandi ya, bersiap. Ayo kita makan malam di luar," ucap Rendy.

"Kok tumben, pa? Ada apa?" tanya Nindya, gadis itu sudah mengubah posisi duduknya, sedikit mengucek matanya kemudian menatap sang ayah.

"Nanti juga kamu tahu, dandan yang cantik." Rendy mengelus pucuk kepala Nindya kemudian meninggalkannya.

Nindya bergegas masuk ke dalam kamar mandi, seperti titah papanya, ia bersiap juga berdandan yang cantik. Entah kejutan apa yang akan diberikan Rendy padanya, semua masih menjadi tanda tanya.

Gadis manis berkacamata itu, bergegas keluar menghampiri Rendy. Mereka pergi ke sebuah restoran mewah yang terletak di Kota Denpasar.

"Pa, ada acara apa? Kenapa kita makan disini? Tidak biasanya papa mengajak Nindya makan di luar ke tempat spesial seperti ini?" tanya Nindya bingung.

"Duduk saja dulu, Nin. Sebentar lagi, kamu akan tahu," jawab Rendy.

Beberapa kali Rendy melihat jarum jam pada arloji yang dikenakanya, kemudian sesekali tangannya disatukan dan saling mengusap. Ia tak memesankan apapun untuk dirinya juga putrinya. Pandangannya fokus menatap ke arah luar restoran.

"Maaf, sudah menunggu lama?" tanya seorang wanita yang tiba-tiba muncul di hadapan Nindya dan Rendy.

"Raya?" Nindya yang sedari tadi fokus menatap ponselnya tersentak, menyadari siapa gadis yang kini berdiri di hadapannya.

Bersambung...