webnovel

hari pernikahan

Sinar mentari yang menghangatkan pagi, disambut kicauan burung yang menyemangati hari. Harmoni alam itu seolah merestui ikatan janji suci yang berlangsung pagi ini.

"Saya terima nikahnya, Elfira Putri Wiguna binti Andi Wiguna dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas seberat dua kilogram dibayar tunai."

Suara seorang pria terdengar lantang mengucapkan ijab kabul pernikahan di salah satu ruangan di kediaman Hendra Wiguna. Saat suara 'sah' itu menggema, semua terlihat lega. Kecuali Elfira tentunya.

Kata 'sah' yang didengar Elfira tak ubahnya bagaikan petir di pagi hari. Petir yang siap menyambar dan menghancurkan masa depan yang bahkan ia tidak tahu akan seperti apa.

Elfira yang tertunduk sangat dalam, mau tak mau mencium punggung tangan pria yang kini berstatus suaminya tersebut. Ia menghela nafas sangat dalam dan memberanikan diri mengangkat wajahnya agar pria di hadapannya dapat mengecup keningnya.

Elfira mencoba untuk tersenyum. Senyum tipis yang dipaksakan itu terlihat manis di wajahnya yang ayu. Ia tak ingin pernikahannya ini menjadi beban pikiran keluarganya. Elfira berusaha memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja.

Setelah acara akad selesai, Elfira berpamitan hendak ke kamar. Dari arah tangga, ia menatap nanar pada mereka yang masih ada di ruangan itu.

Tidak ada teman atau orang-orang terdekatnya ada di sana. Hanya beberapa orang tetangga yang diundang Erni yang ia sendiri tidak mengenalnya.

Seperti inikah pernikahannya?

Lagi-lagi Elfira hanya bisa menghela nafas dalam dan kembali meneruskan langkahnya menuju kamar.

Tok ... tok ... tok.

"Elfira, boleh aku masuk?"

Tanpa menunggu, Sandra membuka pintu dan menatap Elfira yang termenung di depan meja rias. Sepandai apapun sepupunya itu menyembunyikan perasaannya, wajah sendu itu tetap saja bisa terlihat.

"Fira."

"Hmm. Ada apa, Sandra?" tanya Elfira dengan senyum di wajahnya.

"Sorry, ya. Seandainya saja aku bisa menggantikan posisi kamu," ujar Sandra pelan.

"Nggak apa-apa, San. Kamu jangan seperti ini, aku sudah ikhlas menerima dia sebagai suamiku. Hanya saja, aku merasa berat jika harus tinggal jauh dari kalian," sahut Elfira mencoba berkilah.

"Aku yang tidak ikhlas, Fira. Seandainya saja aku tahu, pria itu selain sangat kaya, dia juga tampan. Aku dengan senang hati akan menggantikan dirimu. Ah, sialnya aku. Kenapa Papa tidak memperlihatkan fotoku yang sedang sendiri?" batin Sandra merutuki nasibnya.

Elfira tidak pernah tahu bahwa selama ini dibalik kedekatan mereka, Sandra menyimpan rasa iri. Elfira gadis cantik yang cerdas, dan dipuja banyak pria. Hanya saja, Elfira tidak berminat pada seorang pun dari mereka.

***

Rumah mulai terasa lengang saat para tamu sudah berpamitan pulang. Menyisakan Tuan Sam, yang kini jadi bagian dari keluarga itu. Juga Aldo, orang yang dipercaya mengurus perusahaan tuannya di negara ini.

"Pak Hendra, minta Nona Elfira untuk berkemas. Malam ini, Tuan Sam dan Nona akan terbang ke Timur Tengah." Ujarnya.

"Apa? Malam ini?" Hendra dan istrinya terkejut mendengar penuturan Aldo. Tidak ada pemberitahuan sebelumya.

"Tapi, Pak Aldo. Bukankah Tuan akan kembali akhir pekan ini? Masih ada tiga hari lagi," ujar Hendra mencoba mengingatkan.

"Pak Hendra, saya mohon maaf. Ini sudah menjadi keputusan Tuan Sam." Sahutnya.

Hendra dan Erni hanya bisa saling menatap dan pasrah. Erni menoleh pada pria yang kini sedang menelepon di teras depan rumahnya. Pria itu telah menjadi suami Elfira, putri kakak suaminya. Mau tidak mau ia pun harus menerimanya sebagai menantu keluarga mereka.

Tanpa mereka ketahui, Elfira mendengar percakapan itu. Elfira yang awalnya hendak turun, mengurungkan niatnya saat mendengar percakapan mereka.

Kini Elfira merasa kedua kakinya lemas dan tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Perasaan sedih dan kesal bercampur menjadi satu dan membuatnya hanya bisa membisu.

"Menyebalkan. Seenaknya saja dia mempercepat pernikahan, dan sekarang ... tanpa bicara dulu mendadak memintaku untuk berkemas. Apa dia pikir aku ini benda mati? Dasar Mr. Arrogant. Nyebelin! Nyebelin!" geram Elfira sambil memukul-mukul bantalnya.

Di ruang keluarga, mereka hendak berkumpul bersama. Sami terduduk di ujung sofa dengan sebelah kaki menumpang pada paha kaki lainnya. Pria itu tidak banyak bicara. Sedari tadi tatapannya terfokus pada layar ponsel dalam genggamannya.

"Tuan, silahkan dinikmati," ucap Sandra tersenyum ramah sembari menghidangkan kopi hitam yang katanya kesukaan Tuan Sam.

Sandra harus menelan saliva mendapati Sami bahkan tidak meliriknya, apalagi berterima kasih atas apa yang telah dilakukannya. Gadis seusia dengan Elfira itu memberanikan diri mendudukkan bokongnya di samping Tuan Sam.

"Menjauhlah dariku," ujar Sami datar dengan tatapan yang menajam.

Tatapan yang sesaat menghipnotis Sandra. Karena selain tajam, mata Sami yang belo dengan bulu matanya yang lentik sangat mempesona di mata Sandra.

"Apa kau tidak mendengarku?" hardik Sami tanpa ragu.

"Sandra, duduk di sini, Nak. Masih banyak kursi kosong, kenapa duduk di situ?" ujar Hendra yang baru melihatnya. Hendra cepat-cepat menarik pelan lengan putrinya. Hendra tak ingin Sandra menjadi sasaran amarah Tuan Sam.

"Minta dia datang padaku," ujar Sami.

Hendra tentu tahu siapa yang di maksud 'dia' oleh tuannya. Ia pun meminta Erni memanggil Elfira yang masih berada dalam kamarnya.

Sesaat kemudian Elfira datang dengan ekspresinya yang datar. Sami menatap istrinya itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Ada apa, Tuan?" tanya Elfira pelan.

"Tuan? Aku bukan tuanmu. Aku ini suamimu. Panggil aku dengan sebutan 'sayang'," pinta Sami, lagi-lagi dengan ekspresinya yang datar.

"Heh?" Elfira melongo mendengar permintaan tersebut. Benar-benar pria menyebalkan. Meminta hal pribadi seperti itu di depan banyak orang. Apa dia tidak punya rasa malu?

"Hei, apa kau tuli?" tanya Sami.

"Apa yang kau katakan barusan, tuli?" Elfira langsung kesal mendengar ucapan Sami yang tak beretika.

Elfira mengambil bantal sofa dan melemparkannya tepat mengenai dada Sami.

"Bibirmu yang memintaku memanggil 'sayang' masih basah, dan kau menyebutku tuli? Dasar kau pria menyebalkan!" pekiknya sambil melempar lagi satu bantal lain pada Sami.

"Fira, jangan begitu, Nak. Dia suamimu," cegah Hendra.

Tak hanya Hendra dan Erni yang ketar-ketir, tapi juga Aldo. Mereka khawatir Sami akan murka karena sikap Elfira padanya.

Sementara Sandra menyeringai tipis. Ia sudah tidak sabar mendengar hardikan Sami pada Elfira.

"Cepatlah kemasi barang-barangmu. Jangan sampai kita terlambat," ujar Sami lembut.

Elfira mendelik masih dengan perasaan kesal. Ia berlalu meninggalkan mereka yang terkesiap karena tak percaya dengan cara Sami menanggapinya.

Tak lama Sami menyusul ke kamar Elfira. Dengan seenaknya, Sami masuk tanpa permisi sambil memutar kunci.

"Mau apa kau ke kamarku?" tanya Elfira dengan tatapan nyalang.

"Kamarmu? Apa kau lupa kita sudah menikah? Itu artinya kamarmu, adalah kamarku juga," sahut Sami santai sambil mendekat pada Elfira.

"Menjauh dariku. Mau apa kau, hah?" bentaknya.

"Aku akan memberi tahumu, apa yang biasa dilakukan pengantin baru." Desisnya.

Elfira kehabisan kata. Langkah Sami semakin dekat hingga menyudutkan Elfira.