webnovel

IND 3

Kak Audy:

Ra, hari ini aku sama Sean mau on the way ke Paris buat honeymoon. Nanti kalo kerjaan kamu udah beres. Nyusul, ya!

Aku hanya bisa menghela napas panjang. Kala membaca chat yang di kirimkan Kak Audy siang tadi padaku, tetapi baru bisa kubaca malam hari.

Memilih mengabaikan pesan itu, aku pun melemparkan ponselku ke pojok tempat tidur, dan merebahkan tubuhku yang terasa penat sekali. Bukannya aku tak ingin membalas chat itu. Hanya saja ... aku cuma bingung harus balas apa?

Pasalnya, Aku baru saja tiba di Hotel, setelah seharian berjibaku dengan masalah kantor cabang yang ternyata cukup rumit.

Kepalaku sudah penat, dan tubuhku juga sudah sangat lelah karena belum istirahat sedikitpun dari pagi. Jadi, tolong biarkan aku tidur dulu. Boleh, kan? Lagi pula, aku harus balas apa, coba?

Oke? Aku gak mau janji. Lihat nanti? Aku tak ingin mereka mengharap. Atau ... ‘gak bisa’, kesannya kasar sekali. Iya kan? Maka dari itu, dari pada pusing lebih baik aku diam saja. Toh, aku juga gak ada keinginan menyusul mereka.

Buat apa? Mereka ‘kan sedang honeymoon. Pastinya, tidak mau diganggu sama sekali. Kalau aku sampai nekat ikut. Aku hanya akan jadi obat nyamuk saja di sana. Terima kasih. Aku cukup tau diri, dan lebih baik tetap di sini.

Selain karena aku gak ada keinginan untuk ikut honeymoon bersama Kak Sean. Aku juga tak mau membuatnya makin tak nyaman dengan kehadiranku.

Cukuplah aku dibenci karena jadi benalu di kehidupan rumah tangga mereka. Cukup moment ijab kabul mereka yang kuhancurkan. Aku tak ingin merusak apapun lagi.

Bagiku, menyandang status sebagai istri Kak Sean saja, itu sudah cukup. Untuk hak dan kewajiban, aku akan mengalah. Karena memang itulah yang harus aku lakukan, iya kan? Bahkan kalau perlu, aku ingin tinggal terpisah saja dari Kak Sean dan Kak Audy setelah ini. Supaya mereka bisa lebih bahagia tanpa harus memikirkan kebahagiaanku.

Ah, percaya diri sekali aku. Kehadiranku saja sudah jadi masalah. Mana mungkin mereka repot-repot memikirkan kebahagiaanku. Konyol sekali!

***

Selepas kabar kepergian bulan madu Kak Audy dan Kak Sean. Aku sengaja menenggelamkan diri dalam pekerjaanku. Aku tak ingin menyia-nyiakan sedikitpun waktuku di sini, dan mengacaukan semuanya. Meski sebenarnya ini sulit untukku yang masih awam, tapi aku harus sudah mulai belajar, kan?

Untung ada Selly, sekretaris Papi yang setia menemaniku, dan mengajarkan aku banyak hal. Hingga aku mulai bisa menghadapi masalah yang sedang kami hadapi. Big thanks untuk Selly.

Lagi pula, aku memang harus mulai belajar mengambil alih pekerjaan Papi mulai sekarang, kan? Karena sekarang, perusahaan ini jadi tanggung jawabku. Jadi, aku harus benar-benar belajar, dan sudah bukan waktunya bermanja lagi.

Mama Sulis setiap hari menelponku dan menanyakan, kapan aku pulang? Mungkin beliau kesepian di rumah sendirian. Karena anak dan menantunya belum ada yang kembali.

Sebenarnya, aku merasa bersalah sih, sudah ninggalin Mama Sulis seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku belum siap kembali ke rumah itu, walau tanpa adanya Kak Sean dan Kak Audy. Aku merasa, di sana bukan tempatku. Mengerti, kan?

Sementara Mama Sulis menelepon untuk menanyakan kepulanganku. Kak Audy pun tiap hari juga menelpon untuk memberi kabar padaku, tentang perjalanan bulan madunya. Kadang, malah disertai kiriman photo mesra. Lalu nanti ujung-ujungnya dia akan bertanya, kapan aku nyusul?

Namun, semuanya selalu aku balas dengan kata yang sama. Yaitu, Maaf. Atau enjoy your trip. Tentu saja, memang aku harus jawab apa selain kata itu?

Sebenarnya, kadang aku heran dengan Kak Audy. Sikap humble-nya itu, apa benar-benar nyata? Apa dia memang setulus itu menerimaku sebagai madunya? tidak ada rasa sakit hati menjalani poligami ini? Atau, merasa apa gitu dengan pernikahan ini?

Karena memang, meski kini status kami sudah menjadi madu. Kak Audy masih saja bersikap, seolah-olah tak ada apapun antara kami. Dia malah kadang masih suka curhat padaku layaknya teman.

Seperti saat ini. Waktu aku baru saja ingin memejamkan mataku untuk tidur. Kak audy meneleponku dan mengajakku curhat tentang suami kami.

Katanya, Kak Sean nyebelin hari ini. Karena tidak membiarkannya keluar dari Hotel sama sekali. Alasannya sih, karena salju sedang turun dengan lebat. Tapi toh, momen ini juga digunakan Kak Sean untuk membuatnya tak bergerak dari tempat tidur.

Untuk meyakinkan curhatannya, Kak Audy bahkan sampai mengirimkan foto Kak Sean, yang sedang tidur terlelap di sampingnya, dengan keadaan setengah naked. Hanya ditutupi selimut, bagian pinggang hingga lututnya. Membuat aku tersipu malu diam-diam di tempatku.

“Makanya kamu ke sini buruan, Ra. Biar bisa gantian sama aku untuk layanin dia. Soalnya, dia gak puas kalau cuma satu ronde. Aku sampai harus minum vitamin ekstra buat layanin dia,” celoteh Kak Audy dengan riang.

Apa aku boleh cemburu? Apa boleh aku berharap bisa berada di posisi Kak Audy saat ini? Ah, sepertinya tidak. Karena pemeran pendukung tidak punya hak untuk cemburu, iya kan?

“Begitu, ya? Jaga kesehatan kalau gitu, Kak. Jangan sampai Kakak sakit karena terlalu lelah.” Aku hanya bisa menjawab sekenanya saja, karena aku tak mungkin menyuarakan apa yang sangat ingin aku teriakan saat ini. Setelah itu, aku pun sebisa mungkin mencari alasan. Agar bisa menutup hubungan telepon itu secepatnya.

Aku mencoba untuk tidak sakit hati selama ini. Tapi luka itu terlanjur tergores di hatiku, dan makin berdarah seiring berjalannya waktu. Aku berusaha untuk tidak cemburu pada yang dimiliki Kak Audy. Tapi apa daya, aku hanyalah manusia biasa yang juga punya sifat iri. Lagipula, bukankah aku juga istrinya? Lalu, harus bagaimana aku menghadapi semua ini?

***

Seminggu setelahnya. Akhirnya aku kembali ke Jakarta. Namun, bukan untuk menetap, melainkan untuk pamit pada Mama Sulis, karena jatah ijin kuliahku sudah berakhir. Aku harus kembali melanjutkan kuliah di Ausie, hingga dua tahun ke depan.

“Coba kamu chat Sean, Ra. Bagaimanapun, dia itu suami kamu. Kamu tetap wajib mengabarinya sebagai seorang istri.” Mama Sulis memberikan wejangannya.

Aku hanya bisa memasang senyum miris, tapi tidak berani berkomentar apapun atas wejangannya itu. Faktanya, aku bahkan tidak punya nomor ponsel Kak Sean sejak dulu.

Sedikit cerita tentang kami. Aku dan Kak Sean memang tetangga dari dulu. Tapi, sikap Kak Sean yang memang cuek dari sejak kanak-kanak. Membuatku tak pernah bisa akrab dengannya.

Apalagi, dulu Kak Sean itu termasuk anak aktif yang suka berorganisasi, dan jarang sekali ada di rumah. Membuatku jarang bertemu dengannya, walau status kami adalah bertetangga.

Paling hanya berpapasan sekilas saja. Itupun kalau dia sedang ada di Rumah, saat aku mengunjungi Mama Sulis.

Tak pernah ada obrolan antara aku dan Kak Sean sejak dulu. Karena dinginnya sikap Kak Sean, membuatku tidak pernah betah lama-lama di dekatnya. Sekalipun hanya sekedar menegur jika berpapasan.

Lagi pula, aku main ke sana juga buat ketemu Mama Sulis, kok. Bukan untuk ketemu Kak Sean. Jadi, ya aku fokus sama Mama Sulis aja.

Setelah itu, hubungan kami pun makin jauh sejak aku memilih meneruskan kuliah di Luar Negri. Aku juga jarang pulang. Karena biasanya Papi yang berkunjung ke tempatku, jika sedang masa liburan.

Jadi tak pernah merepotkan aku untuk kembali ke tanah air. Toh, hanya Papi keluargaku satu-satunya, dan kebiasaan Papi itulah, yang membuat aku tak punya alasan untuk pulang ke Jakarta selama ini.

Itulah kenapa, saat Papi pergi. Rasa kesepian itu benar-benar terasa sekali. Apalagi dengan wasiat Papi yang mengharuskan aku menikah dengan Kak Sean, yang benar-benar tak kukenal sama sekali kepribadiannya. Bahkan aku juga tidak pernah tahu, kalau dia ternyata sudah diangkat jadi wakil Dirut oleh Papi sejak setahun yang lalu. Karena Papi memang tak suka membicarakan soal pekerjaan saat bersamaku.

Papi hanya ingin menghabiskan family time, yang jarang bisa kami nikmati. Jadi, ketika bersama. Dia akan berusaha menjadi seorang ayah yang baik untukku.

“Nanti Rara chat Kak Audy saja.”

Hanya itu jawaban yang bisa kuberikan saat ini. Namun, bukannya mengerti. Mama Sulis malah terlihat menatapku sendu. Sebelum menghela napas berat.

“Sampai kapan kamu akan menghindari Sean, Ra? Yang suami kamu itu Sean, loh. Bukan Audy. Jadi kalau kamu mau minta izin, ya harusnya kepada Sean langsung. Bukan lewat orang lain,” tegur Mama Sulis lagi.

Harus bagaimana caraku menjelaskan pada Mama Sulis? Kalau aku bukannya tidak mau bicara langsung dengan Kak Sean, tapi aku bicara lewat Kak Audy, karena memang hanya nomer Kak Audy dan Mama Sulis yang ku punya di sini.

“Loh, Kak Audy ‘kan bukan orang lain, Mah. Dia ‘kan juga istrinya Kak Sean,” terangku mengingatkan.

“Iya, Mama tahu itu. Tapi, alangkah lebih baiknya, kalau kamu bicara langsung dengan Sean, tanpa menggunakan mulut orang lain. Karena bagaimana pun, di sini yang punya posisi suami itu Sean. Kepala rumah tangga kalian itu Sean, dan Sean berhak tahu apapun aktivitas istri-istrinya. Dengan cara bicara langsung, bukan malah maen titip-titipan pesan seperti ini,” jelas Mama Sulis masih bersikukuh.

Aku hanya bisa menunduk saja mendengarnya. Karena merasa tertohok mendengar ucapan Mama Sulis barusan.

“Lag ipula, Ra. Kalau kamu kaya gini terus. Gimana kalian bisa jadi dekat? Ingat, kalian itu sekarang bukan cuma tetangga lagi. Tapi sudah jadi suami istri yang sah. Kamu harus sering berinteraksi dengan Sean. Supaya timbul perasaan cinta. Layaknya suami istri pada umumnya. Bahkan, kalau bisa kamu juga harus bisa membuat Sean memperlakukan kamu, seperti dia memperlakukan Audy di dalam hidupnya. Karena kamu juga istrinya. Kamu berhak mendapatkan apa yang Audy dapatkan.”

Bolehkan aku bertanya bagaimana caranya? Karena jika aku boleh jujur. Aku juga ingin sekali merasa di inginkan di dalam rumah tangga ini. Hanya saja .... aku takut membuat Kak Sean makin membenciku.

Tuhan, bisakah aku melakukan itu? Bersediakah Kak Sean membagi cintanya untuk Kak Audy, kepadaku? Apa boleh aku berharap Tuhan?

Akhirnya, setelah berdebat lumayan alot dengan Mama Sulis. Aku pun mengalah dan meminta nomor ponsel Kak Sean setelahnya.

Karena tak ingin mendebat Mama Sulis lebih dari ini. Aku pun mengirimkan chat pada Kak Sean, seformal yang aku bisa. Berharap dia tidak marah, karena aku sudah mengganggu acara bulan madunya.

Me:

Kak Sean, ini Rara. Maaf kalau kedatangan pesan ini mengganggu acara kakak di sana. Rara tidak bermaksud melakukannya, sungguh. Karena sebenarnya Rara cuma ingin minta izin saja, untuk kembali ke Aussie dan melanjutkan kuliah hingga selesai. Rara harap, Kak Sean tidak keberatan memberikan izin. Terima kasih.