webnovel

PEREMPUAN-PEREMPUAN SILUMAN

"Apakah Bapak melihat Onet, monyet yang menyertaiku?" tanya Wisaka.

"Panggil aku Pak Ali. Aku tidak melihat siapa pun menyertaimu, aku menemukanmu hampir tenggelam terseret arus sungai," jawab Pak Ali.

"Aku harus mencarinya, maaf aku harus pergi," kata Wisaka sambil bangkit dari tempat tidur.

Wisaka mengaduh dengan keras saat mendapati sakit di kakinya. Dia baru sadar kalau kakinya terbalut kain.

"Kakimu terkilir, Anak Muda, jangan banyak bergerak dulu," kata Pak Ali.

"Namaku Wisaka, Pak," ujar Wisaka memperkenalkan diri, sambil meringis menahan sakit.

Wisaka sangat menghawatirkan Onet, Apakah ia terhanyut juga bersamanya tadi? Selamatkah ia? Wisaka bertanya-tanya dalam hatinya. Pemuda itu menunduk sedih membayangkan Onet berjuang sendirian di tengah derasnya arus sungai.

Sementara di luar kamar, nampak sesosok perempuan muda yang cantik dengan mata beningnya yang jernih. Ia bernama Leli putri dari pemilik rumah. Sesekali dia mengintip dari lubang dinding yang terbuat dari anyaman bambu itu. Memperhatikan Wisaka dengan malu-malu.

Hatinya bertanya-tanya. "Siapakah Kakang itu? Mengapa wajah tampannya membuat hatiku ketar-ketir, seperti tersambar petir?" Kehadirannya seperti pelita mampu menghangatkan hatiku yang dingin. Hatinya terus berangan dan berkata-kata indah."

"Aduh ... ini kaki siapa, sih, ada di jalan?!" teriak Emak.

Emak yang membawa nampan berisi makanan, hampir terjatuh karena keserimpet kaki Leli yang tiba-tiba selonjor.

"Eh, petir petir petir!" seru Leli kaget. Dia memang sedikit latah.

"Petir apaan, sih?" tanya Emak Leli ikut kaget.

"Hehe, enggak," jawab Leli. Dia tersipu malu karena ketahuan mengintip.

"Kamu, ya, dasar ganjen," kata Emak sambil mengusap dada sambil menggelengkan kepala. Emak masuk ke dalam kamar, suaranya yang cerewet mulai terdengar.

"Waduh ... waduh ini orang ganteng sudah bangun, ini makanannya silahkan dicicipi," kata Emak tak kurang genit.

Pak Ali yang melihat Emak, buru-buru mengambil makanan dari tangan Emak. Sesungguhnya dia merasa kesal melihat kelakuan Emak. Istrinya itu ganjen melihat cowok ganteng, gak inget umur.

"Ish, apa sih Emak ini, gak bisa lihat orang cakep, langsung deh," kata Pak Ali.

"Ih, Bapak ini, gak boleh lihat orang senang," kata Emak sambil manyun.

"Sudah sana ke dapur lagi," suruh Bapak.

"Iih, Bapak, nih," kata Emak merajuk.

Wisaka tersenyum melihat kelakuan Emak, dia masih merasakan sakit di kakinya, tapi pikirannya masih tetap memikirkan Onet. Melihat makanan yang disuguhkan, tiba-tiba Wisaka ingat, kalau kemarin cuma makan pisang yang dikasih Onet. Terenyuh hati Wisaka mengingat perlakuan Onet.

"Silahkan dimakan, Nak Wisaka," kata Pak Ali.

"Baiklah, Pak, terima kasih," jawab Wisaka.

"Jangan sungkan, anggap rumah sendiri," Pak Ali berkata lagi.

Emak keluar kamar sambil memonyongkan bibirnya. Saat berpapasan dengan Leli, Leli tertawa sambil menangkup mulutnya. Emak melotot marah.

"Apa kamu?" tanya Emak dengan judes.

"Hihihi, mau caper atau caper, malah dimarahi, bapak," Leli menjawab sambil cekikikan meledek.

"Iiihhhh, ya," desis Emak ."Eh, tapi dia ganteng sekali, kamu ngintip-ngintip juga karena penasaran kan," sambung Emak berbisik-bisik.

Wajah Leli bersemu merah, dia tersipu-sipu, malu mendengar Emak berkata begitu. Ketahuan kalau dia juga sesungguhnya tertarik kepada pemuda itu. Gadis itu menunduk sambil memainkan jemari kakinya.

"Ssst, semoga pemuda itu senang tinggal di sini. Emak mau menjodohkannya dengan kamu, kamu harus baik-baik sama dia biar dia betah," ujar Emak masih berbisik.

Leli semakin menunduk dalam, tapi hatinya memang sangat berharap untuk dapat berjodoh dengan pemuda tersebut.

"Namanya Wisaka, entah darimana asalnya, yang jelas dia sudah bersama kita sekarang, kamu jangan bikin kesalahan," lanjut Emak sambil mengerling penuh misteri.

"Ya, Mak," jawab Leli.

Wisaka yang kelaparan karena sejak kemarin, menghabiskan suguhan tuan rumah. Dia harus segera sembuh, mencari Onet dan kembali ke tujuan asalnya yaitu mencapai padepokan Kyai Abdullah, gurunya Pak Amir.

Beberapa hari tinggal dengan keluarga Pak Ali, Wisaka perlahan-lahan mengerti keadaan. Terkadang dia merasakan rumah seperti bergoyang, mereka sekeluarga juga tidak pernah memakan ikan.

Wisaka juga mengenal Leli, anak perempuan Pak Ali. Leli seorang gadis yang gesit, dia rajin mengerjakan pekerjaan rumah. Wisaka juga mengerti kalau Leli suka dengan dirinya, terlihat dari perlakuannya kepada Wisaka.

Kesehatan Wisaka berangsur-angsur pulih. Pak Ali sekeluarga begitu senang dengan kesembuhan Wisaka. Dengan segera mereka mengutarakan rencana mereka terhadap Wisaka.

"Wisaka, Bapak punya rencana untuk menikahkan engkau dengan anakku, Leli," kata Pak Ali.

Demi mendapat pertanyaan seperti itu, Wisaka kaget, ia tidak menyangka akan secepat itu mereka menaruh kepercayaan kepadanya untuk menikahi anaknya. Wisaka bingung harus bagaimana menjelaskan.

"Emmhh, aku ... aku ... tujuanku melakukan perjalanan bukan buat menikah, Pak," kata Wisaka.

"Memang kamu mau kemana?" tanya Pak Ali.

"Aku mau ke padepokan, mencari ilmu kanuragan untuk mengalahkan mahluk yang meneror warga," jawab Wisaka.

Kemudian Wisaka menceritakan kejadian demi kejadian yang menimpa masyarakat di kampungnya. Di mana seorang pengantin pria harus meregang nyawa dengan cara mengenaskan dan pengantin perempuan harus mengalami gangguan jiwa karena diperkosa. Tergambar kembali di benaknya, bagaimana kondisi almarhum temannya saat diketemukan. Dia menundukkan kepalanya dengan perasaan sedih.

Pak Ali merasakan kesedihan Wisaka, tapi dia tak mau mundur dengan rencananya. Wisaka harus menikahi putrinya sebelum pergi berkelana kembali.

"Sebelum pergi kamu kan bisa menikahi anakku dulu, Anak Muda," kata Pak Ali.

"Maafkan aku, Pak, secepatnya aku harus pergi dari sini," ujar Wisaka.

"Kampung di sini itu aneh. Kamu tak akan menemukan jalan keluar menuju ke tempat tujuanmu," jelas Pak Ali.

"Mengapa?" tanya Wisaka heran. "Terus bagaimana aku bisa datang ke sini?"

Pak Ali tidak menjawab pertanyaan Wisaka, dia malah beranjak meninggalkannya. Tinggal Wisaka sendiri mencoba mencerna kata-kata Pak Ali. Pemuda itu tidak habis mengerti mengapa tidak ada jalan keluar dari kampung ini?

Sejak saat itu, Wisaka mencoba berjalan-jalan mengelilingi kampung, memang benar, dia selalu kembali ke rumah Pak Ali. Ketika berjalan-jalan, setiap orang yang dia temui selalu dengan cepat bersembunyi. Seolah-olah mereka takut dengan kehadiran dirinya. Wisaka mencoba bertanya kepada Leli, serta mengutarakan keheranannya.

"Leli, apakah kamu tahu jalan keluar dari kampung ini?" tanya Wisaka.

Leli tidak menjawab, hanya menggeleng sambil menunduk. Dia memang tidak tahu.

"Apakah kamu bersedia untuk mengantarku, mencoba mencari jalan keluar dari kampung ini," tanya Wisaka.

Leli hanya mengangguk tanpa berani mengangkat kepalanya. Dia malu untuk memandang wajah Wisaka. Wisaka lega mendengarnya.

"Besok kita pergi keliling kampung, semoga kita bisa menemukan jalan," kata Wisaka.

Leli menganggukkan kepalanya, hatinya sangat sedih. Sesungguhnya dia sangat mengharapkan Wisaka untuk menjadi suaminya. Rupanya gadis berkulit putih itu tertarik dengan ketampanan Wisaka.

Keesokan harinya, Wisaka dan Leli berjalan-jalan di kampung, mencoba mencari jalan keluar dari kampung. Beberapa kali mereka mengitari kampung, tapi tetap saja tidak ada jalan keluar, mereka seperti berputar-putar di tempat yang sama.

"Mengapa kampung ini seperti labirin?" tanya Wisaka putus asa.