webnovel

Chapter 2

Perlahan Erwin melangkahkan kakinya, menatap dengan lekat luaran dari rumah itu. Dengan garis polisi yang masih terpampang, ia memasuki halaman rumah itu. Menaiki anak tangga satu persatu, hingga kini ia tepat di depan pintu utama rumah itu. Ia menghela napas panjang dan ia kembali mengingat cerita dari ketua RW. yang ia temui tadi.

Flashback

Erwin meneguk secangkir teh yang ada di hadapannya. Ia kembali menaruh cangkir itu dengan perlahan.

"Jadi, bisakah Pak Agung ceritakan kisah tentang rumah itu?" tanya Erwin yang sudah tidak sabaran.

"Jadi begini Nak, rumah itu dibangun sekitar tahun 1980an. Awalnya rumah itu seperti rumah biasa, aman, damai, dan tenteram. Tiga tahun kemudian, sang pemilik rumah yang merupakan pasangan pengantin muda itu memiliki seorang anak laki-laki. Karena sibuk dengan urusan pekerjaan, mereka memutuskan untuk menyewa seorang baby sitter."

"Lalu, apa yang terjadi setelah itu?" Erwin semakin penasaran dengan cerita yang di sampaikan Pak Agung sang ketua RW.

"Semuanya berjalan dengan normal, hingga suatu ketika bayi laki-laki yang berusia lima tahun itu mulai melakukan hal aneh ...." Sebelum melanjutkan ceritanya, Pak Agung meneguk secangkir teh.

"Hal aneh? Maksudnya apa?" Erwin mengerenyitkan dahinya, ia tak mengerti dengan ucapan Pak Agung.

"Anak itu sering berbicara sendiri," ucap Pak Agung yang membuat Erwin memutar otaknya.

"Maksudnya, anak kecil itu kurang waras?" Dengan polosnya Erwin mencoba untuk memastikan apa yang ada di pikirannya.

"Bukan Nak, anak kecil usia lima tahun itu wajar jika berbicara sendiri. Mereka sering bermain sendiri, karena mereka punya teman khayalan."

"Lalu, yang Pak Agung maksud aneh itu di mana?"

"Dia sering mengajak teman khayalannya, untuk bermain dengan teman sebayanya."

"Ah, tapi anak sekecil itu mana mungkin bisa?" ucap Erwin yang masih bingung dengan cerita ketua RW itu.

"Mungkin memang sulit untuk dimengerti, tapi itulah kenyataannya. Dan dari sini pembantaian itu di mulai." Pak Agung menatap Erwin yang masih setia mendengarkan ceritanya.

"Suatu ketika, terjadi perampokan di rumah itu, pemilik rumah sedang bekerja. Yang ada hanya anak laki-laki itu dan juga baby sitternya. Perampokan yang terjadi membuat kegaduhan, sang baby sitter mengetahui adanya perampok. Dan kejadiannya begitu singkat, wanita itu tewas ditikam sang perampok."

Erwin terlihat tak percaya dengan cerita itu, ia sedikit membuka mulutnya. Hingga akhirnya ia kembali menatap Pak Agung saat pria paruh baya itu melanjutkan perkataannya.

"Dan kamu boleh percaya atau tidak, di rumah itu tidak ditemukan anak kecil yang sedang ia asuh," lanjutnya lagi.

"Kemana? Apa dia diculik perampok itu?"

"Sayangnya tidak ada yang tahu sampai sekarang, karena perampoknya langsung ditangkap setelah tiga hari kejadian itu. Ibu dari wanita yang tewas itu tak terima, ia pun marah-marah dan menangis histeris, melihat anak gadis satu-satunya tewas mengenaskan."

"Lalu, apa anak itu kembali lagi ke rumah itu?" Erwin benar-benar penasaran kali ini.

"Iya, setelah keadaan tenang, anak itu ditemukan sedang bermain sendiri di sebuah gubuk kecil di belakang rumahnya. Ia ditemukan oleh seorang pembantu yang sedang memotong rumput, betapa senangnya kedua orang tua yang telah kehilangan anak semata wayangnya itu. Namun, semuanya belum selesai sampai di situ."

Erwin menatap lekat ke arah Pak Agung, ia menunggu kelanjutan dari ceritanya.

"Dua minggu setelah kejadian itu, tiba-tiba saja terjadi keributan di dalam rumah. Dan kamu tahu? Seisi rumah itu tewas secara mengenaskan, semua mayatnya tidak ada yang utuh," lanjutnya.

"Tidak utuh? Apa pembunuhnya seorang psikopat?" Erwin merasa geram mendengar hal itu, ia terlihat mengepalkan kedua tangannya.

"Mungkin, tapi anehnya, tidak ada satu pun polisi maupun warga yang melihat mayat bayi laki-laki. Semua mayat yang ada di rumah itu adalah orang dewasa, dua orang pemilik rumah itu dan tiga orang pembantunya." Pak Agung hampir kembali meneguk tehnya, sebelum Erwin kembali bertanya.

"Bapak, tidak mengada-ada tentang cerita ini, 'kan?"

"Tidak, saya sudah ada di sini sebelum rumah itu dibangun!" tegas Pak Agung.

"Lalu, apa hubungannya dengan kutukan rumah itu?"

"Setelah kejadian itu, rumah megah itu pun dilelangkan oleh pihak keluarga. Tak ada yang curiga, setelah ada satu keluarga yang mulai mengisi rumah itu, barulah terjadi keanehan yang di luar nalar. Mereka sering mendapatkan gangguan-gangguan dari makhluk astral, tapi sayangnya, sebelum mereka benar-benar pindah, mereka akan tewas mengenaskan," jelas Pak Agung.

"Apa, hal itu yang membuat rumah itu tak lagi dihuni?"

"Itu salah satunya, sudah beberapa kali kejadian itu terjadi. Setiap pemilik rumah pasti akan tewas secara mengenaskan, seperti halnya korban yang kemarin itu," ucapnya.

"Aku penasaran dengan anak kecil itu, kemana dia pergi?" Erwin menatap Pak Agung dengan tatapan yang penuh tanya.

"Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang pernah melihatnya lagi."

Erwin hanya menghela napas berat setelah mendengar cerita itu. Ia pun kembali meneguk teh yang sudah dingin.

Flashback end

Erwin yang sudah masuk ke rumah itu, mulai merasakan aura yang aneh. Ia melihat ke arah sekeliling rumah, sampai sesuatu terdengar dan membuatnya menoleh dengan cepat.

Kriett

Suara pintu terbuka membuat pria itu penasaran dan mulai menghampiri sumber suara. Ternyata, suara itu berasal dari pintu dapur yang tertiup angin. Kamar mandi yang tersegel oleh garis polisi itu membuat Erwin menatapnya lekat.

Tap ... Tap ... Tap

Suara langkah kaki yang ringan membuat fokus Erwin teralihkan, ia pun keluar dari dapur dan pergi menuju kamar utama di lantai dua. Tak ada apa pun di sana, ia hanya bisa menghela napas.

Ia segera pergi dari rumah itu dan kembali ke apartemen Rio. Di sana, Rio tengah duduk sendirian di ruang tengah dengan ponsel di tangannya, ia menatap Erwin yang baru saja masuk ke dalam rumahnya. Ia balik menatap Rio lalu menghampirinya yang menatapnya dengan intens.

"Kenapa Kakak masih belum tidur? Ini sudah tengah malam."

"Aku sedang menunggumu," jawab Rio dengan singkat.

"Baru pergi sebentar saja, Kakak sudah seperti ini." Erwin berjalan ke arah dapur, dan diikuti oleh Rio.

“Kamu pergi lagi ke rumah itu? Bukankah tadi pagi kita sudah ke sana?” ujar Rio.

Iya sesuai janji, tadi pagi Rio dan Erwin pergi ke rumah itu. Namun, karena Erwin yang merasa kurang puas itu pun kembali mengunjungi tempat itu setelah Meghan mengatakan akan tinggal di sana untuk sementara.

“Aku hanya penasaran, lalu tadi sebelum masuk aku bertemu dengan ketua RW di sana. Ia menceritakan semuanya tentang asal usul rumah itu,” jelasnya hingga membuat Rio mengerenyitkan dahinya.

“Apa yang dia katakan?”

“Ya, sesuatu seperti penampakan,” ujarnya beralibi, sembari meneguk air putih yang baru saja ia tuangkan ke dalam gelas.

"Lalu bagaimana dengan kedua gadis itu? Kamu serius, membiarkan mereka tinggal di rumah itu?" tanya Rio.

"Itu yang sedang aku pikirkan sekarang, tapi dari pada itu, aku lebih penasaran cerita di balik rumah angker tersebut." Erwin menatap Rio dengan serius, sedangkan Rio hanya bisa mengerenyitkan dahinya tanda tak mengerti.

“Ayolah Erwin, kita harus fokus pada opinimu. Apa rumah itu mencari tumbal atau hanya kebetulan semata,” ujar Rio.

“Baiklah-baiklah, aku tidak akan membiarkan mereka untuk tinggal di rumah itu … tapi, ijinkan aku untuk kembali lagi ke sana.”

“Erwin, apa lagi yang ingin kamu cari?”

“Tentu saja aku harus tahu tentang penghuni di sana, siapa pemilik rumah itu sebelumnya.”

“Jangan jadikan ini sebagai mainanmu Erwin, ini masalah serius.” Rio benar-benar tak mengerti dengan pola pikir adik angkatnya itu.

“Aku tahu, tapi untuk mencari hal itu aku butuh waktu. Jadi, tolong biarkan aku melakukan sesuatu yang seharusnya aku lakukan,” ucapnya dengan tegas. Ia pun berjalan ke arah kamarnya dan meninggalkan Rio sendirian.

Rio hanya menarik napasnya panjang. Entah kenapa, ia merasa masalah akan segera datang menghampiri. “Aku sedikit menyesal mengajakmu menyelesaikan masalah ini, Erwin,” gumamnya.

…..

To be continued …