"Duniaku hanyalah hitam dan putih tanpa kehadiranmu yang mewarnainya."
***
Ruangan megah berukuran 10x15 meter yang dipenuhi ornamen mewah berwarna keemasan itu tampak sunyi. Dua lelaki tampan yang sedari tadi bersemayam di tepi katil tersebut masih menutup rapat birainya.
Kini salah satunya bangkit lanjut menapaki kakinya yang beralaskan boot kecoklatan dengan perlahan menuju jendela bilik yang berhiaskan tirai berwarna khaki tersebut, meninggalkan seorang lagi yang tengah menghembuskan napas beratnya.
"Levin ...."
"Iya, Sam." Lelaki yang tengah menghirup nyaman udara segar yang berhembus dari pepohonan pinus yang berjajar indah di sekeliling istana itu dengan segera memalingkan wajahnya.
"Astaga. Berapa umurmu, Levin?!" Lelaki yang dipanggil 'Sam' itu sejenak memicingkan netranya.
"Kenapa bertanya? Bukankah sama seperti mu ... 25 tahun." Lelaki bernama Levin itu kembali melihat keluar jendela. Memandangi pepohonan yang dengan serentak meliukkan dedaunannya, melawan angin yang hendak mematahkan dahan tempat dedaunan tersebut bersemayam.
"Iya, kamu benar, Lev. Kita sama-sama berumur 25 tahun." Lelaki itu menatap datar lalu menghela napas panjang.
"TAPI AKU BERUMUR 25 TAHUN SUDAH SELAMA 1000 TAHUN DAN KAMU BARU 998 TAHUN!!" Ia melanjutkan ucapannya dengan suara yang sudah naik beberapa oktaf, sedikit emosi dengan adik laki-lakinya.
Mendengar itu, Levin menghembuskan napasnya perlahan. Kenapa ia selalu disalahkan oleh kakaknya tersebut. Padahal seingatnya ia berkata benar. Iya, kan?
"Tetap saja kita sama-sama berumur 25 tahun." Levin menjawab datar. Masih tidak melepaskan tatapannya dari luar jendela.
"Jadi, Padre dan Madre juga berumur 25 tahun, kenapa kamu tidak memanggil mereka dengan sebutan Agathias dan Evanya saja? Kalian seumuran juga, kan?!" Lelaki itu menaikkan satu sudut bibirnya. Levin buru-buru menatap kakaknya itu, ia mulai kesusahan menelan salivanya. Kini ia tahu apa yang dimaksud oleh calon pangeran mahkota tersebut.
"Tapi mereka orang tua kita. Tidak mungkin aku memanggil keduanya dengan sebutan nama sepertimu." Levin berbicara dengan hati-hati. Takut akan disalahkan lagi. Kakaknya ini selalu meributkan hal-hal kecil seperti ini. Rasanya Levin ingin pindah ke dimensi lain saja. Tetapi rasanya akan sama saja, hampa.
"Terserah kamu sajalah. Kamu memang tidak pernah berlaku sopan padaku. Bahkan dari sebelum kekuatan immortal ini bekerja. Astaga, ini seperti kutukan untukku."
"Itu bukan kutukan, Pangeran Mahkota Samuel."
"Kamu tahu?! Aku lebih senang dipanggil 'Samuel' ketimbang 'Pangeran Mahkota Samuel'. Terdengar begitu berat tugas yang harus aku pikul setelahnya. Menjadi Pangeran mahkota itu berat sekali, Lev."
"Baiklah. Mulai detik ini aku akan memanggilmu 'Samuel' saja. Jangan di Salahkan lagi. Dan ... sebagai gantinya, setelah senja datang nanti kamu akan membantuku lagi menjelajahi dunia paralel yang belum kita masuki sebelumnya." Levin tersenyum samar.
"Lev, kamu sadar sesuatu tidak?" Samuel kembali memicing.
"Apa?" Levin ikut memicing sekarang saat melihat raut wajah serius sang kakak.
"Maaf, aku harus mengungkit ini. Sejak kejadian 1000 tahun lalu di mana Pangeran William lenyap, kamu tidak hanya kehilangan kekuatanmu, tapi ..." Samuel menghentikan ucapannya, terlihat ragu-ragu.
"Tapi?" Levin mengernyit penasaran.
"Tapi juga ... entahlah, semoga ini hanya dugaanku. Aku merasa ragamu ikut dikutuk." Samuel bangkit dari katil lalu menggerakkan tungkainya perlahan menghampiri adiknya.
"Dikutuk? Maksudmu karena aku tidak bisa terkena sinar matahari?"
"Ya. Karena itulah aku selalu membawamu pergi setelah senja."
"Aku tidak berpikir itu sebuah kutukan. Mungkin hanya efek dari ketidakstabilan raga dan kekuatanku. Aku hanya merasa semakin lemah."
"Justru karena itu, Lev. Aku sangsi untuk membawamu menjelajahi ruang dan waktu." Samuel menghela napas berat.
"Tapi, batu dari mahkota Putri Alexa hanya akan memendar jika aku yang membawanya, Sam. Aku memimpikan itu. Lalu bagaimana kamu akan menemukan Alexa jika tidak bisa melihat pendaran mahkotanya?"
"Aku hanya khawatir kamu menjadi semakin lemah setiap kembali dari dimensi lain." Kini Samuel menatap adiknya prihatin.
"Itu hanya sebuah resiko yang harus aku tanggung. Aku hanya ingin menemukan Alexa. Dialah kekuatanku." Netra Levin mulai berkaca-kaca, ia segera memalingkan wajahnya. Namun Samuel terlanjur melihat semuanya. Ia semakin iba.
"Apa cermin kerang milik Madre bisa membantu kita? Apa kita bisa menemukan Alexa dari cermin itu?" Samuel mencoba menerka.
"Madre bahkan tidak mau menatapku selama seribu tahun terakhir ini. Kamu yang benar saja? Tidak mungkin Madre akan memberikan cerminnya." Levin kembali berjalan menuju katilnya. Hatinya kembali sakit saat mengingat bagaimana murkanya Ratu Evanya sekembalinya ia dari pemakaman Putri Alexa seribu tahun lalu.
Kerajaan Athena hampir lenyap oleh ombak tsunami karena Madrenya begitu murka saat itu. Beruntung padrenya dengan cepat bertindak saat itu. Madrenya tidak salah, hanya terpukul karena kematian kakaknya, Pangeran William. Levin merasa pantas mendapatkan kemurkaan madrenya. Bagaimanapun, dialah yang bertanggung jawab atas kematian Pangeran William.
"Kamu mau aku mencurinya untukmu, Lev?" celetuk Samuel tiba-tiba, membuat Levin melebarkan netranya.
"APA??! Kamu tidak sedang gila kan, Sam??!" Levin masih tidak percaya dengan perkataan kakaknya. Mencuri cermin kerang Ratu? Ini terdengar sangat gila.
"Hei ... Aku masih waras asal kamu tahu. Padahal aku hanya ingin membantumu, tapi kamu malah mengataiku gila. Kamu durhaka padaku, Pangeran Levin." Samuel bersungut, merasa tidak terima.
Levin malah tertawa. Sesaat Samuel terpekur. Selama seribu tahun ini, baru kali ini ia bisa melihat tawa lepas dari adiknya. Tidak bohong, ia bahagia melihat pemandangan di depannya sekarang. Itu adalah tawa yang dirindukan Samuel dari adiknya selama ini.
"Kalaupun kamu mencuri cermin Madre, apa kamu tahu cara kerja cermin tersebut? Setahuku hanya madre seorang yang bisa mengendalikannya. Astaga, Samuel. Kamu sangat lucu." Levin sekarang menatap jenaka kakaknya.
"Kamu juga bisa mengendalikannya, Levin. Kamu mewarisi kekuatan madre. Apa kamu lupa?!"
"Iya, aku tahu. Tapi sekarang aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kekuatanku lenyap. Ragaku juga semakin lemah." Levin kembali memasang raut sedihnya. Seketika Samuel merasa bersalah. Ia sekarang hanya diam, tidak sanggup lagi bersuara.
"Cermin itu tidak akan bisa menemukan Putri Alexa."
Sebuah suara bariton menarik atensi kedua Pangeran tampan tersebut. Netra keduanya melebar saat menatap sosok dalam balutan pakaian megah penuh gemerlap permata berwarna putih dan hitam dengan tangan yang saling mengait di belakang punggungnya, penuh wibawa.
"Yang Mulia Raja ..." Samuel dan Levin segera membungkuk hormat kepada raja penguasa Athena sekaligus Sparta tersebut, Agathias Theodore.
"Padre sudah mendengar perbincangan kalian soal cermin kerang itu. Sayangnya, cermin itu tidak bisa bekerja."
"Maksud Yang Mulia?" Samuel merasa kebingungan.
"Seorang immortal yang terlahir kembali pada kehidupan selanjutnya tidak akan bisa ditemukan oleh cermin tersebut. Madre kalian sudah mencobanya. Tidak ada hasil sama sekali. Pangeran William juga tidak bisa ditemukan."
"Tapi Putri Alexa bukan seorang immortal, Yang Mulia." Levin akhirnya bersuara.
"Ini yang Padre risaukan. Putri Alexa memang tidak memiliki kekuatan immortal pada kehidupan sebelumnya. Tetapi ..." Agathias menghentikan ucapannya lanjut menghela napas berat. Levin merasakan ada sesuatu yang salah tentang Alexa.
"Alexa adalah keturunan wanita Bizantium, putraku." Agathias menatap Levin yang tengah terpaku.
"A-apa? Tapi Ratu Eleanor masih keturunan Dewa Zeus, Yang Mulia." Levin menatap Padrenya tanpa berkedip.
"Bukan. Ratu Eleanor bukan ibu kandungnya. Alexa terlahir dari rahim seorang wanita Bizantium, permaisuri kedua Raja Altair. Wanita Bizantium dipercaya memiliki perisai yang tidak bisa ditembus oleh kekuatan magis para Dewa. Oleh sebab itu, cermin kerang tidak bisa melacaknya. Atau ... ada satu kemungkinan lain yang Padre takutkan selama ini."
Kini Agathias berjalan perlahan mendekat ke arah katil di mana putra bungsunya tengah berdiri dalam kerisauan sekarang. Tangannya memegang pundak putranya lembut. Matanya memejam untuk beberapa saat, lalu kembali terbuka.
"Putri Alexa menghisap semua kekuatanmu putraku, sesaat setelah kamu menyerang Pangeran William. Kamu semakin lemah, tapi di sana Alexa semakin kuat. Kamu harus segera menemukannya. Sebelum kamu kehilangan kekuatan immortal-mu dan lenyap seperti Pangeran William. Tolong, Padre tidak mau kehilangan seorang putra lagi untuk kedua kalinya." Netra Agathias memendam embun sekarang.
"Bukan itu tujuanku mencari Alexa, Yang Mulia." Suara Levin bergetar. Agathias semakin sesak mendengarnya.
"Aku tahu, Levin. Kamu mencarinya karena cintamu yang begitu besar. Tapi sekarang, cintamu itu bisa membunuhmu perlahan. Kamu semakin lemah oleh cintamu sendiri. Aku akan membantumu menemukannya. Aku berjanji tidak akan pernah berhenti sampai kamu mendapatkan kembali kekuatanmu, adikku." Netra Samuel ikut berkaca-kaca sekarang.
***
To be continued …