webnovel

Bab 5 "Eh, itu susu....,"

~E-CA~

Daren~

Gas makan siang di resto deket kantor gue

Restu~

Pak bos

Daren~

Tinggal aja. Kalo laper juga nyusul

Restu~

Nyawa gue terancam

Daren~

Tenang ada gue

Restu~

Baik kakak

Adrian~

Selangkah=setengah gaji

Restu~

Tenang ada Daren kakak

Arka~

Kejauhan gue @Daren

Daren~

Lo dimana? Di neraka? Wkwkwkwkwk

Restu~

Dimana @Arka? Sama Maira ya? Kencan nih ye #tawajahat

Daren~

Kemajuan. Kapan-kapan ajak gue Ka

Adrian ~

Ngapain ngajak lo?

Restu~

Lo kayak lupa ama tabiatnya si Daren aja Dri.

Arka~

Lo mau sama babu gue @Restu? Ambil. Udah pernah gue cicipi juga. Wkwkwkwk

Restu~

Jahat T_T

Adrian~

Awas ngemis cinta Maira lo

Arka~

Setan lo pada. Temen gue apa bukan?

Daren~

Gue udah di lokasi. Dateng belakangan dia bayar. Yang nggak dateng harus mabuk di club ntar malem.

"Setan," umpat Arka yang langsung menyambar jasnya. Ia tidak mungkin melewatkan makan siang ini jika hukumannya harus mabuk. Bukan ia tidak berani, hanya saja esok akan ada meeting penting jadi tidak mungkin ia akan mabuk yang bisa saja membuatnya tidak sadarkan diri.

Setengah jam berkendara, Arka datang paling terakhir. "Sialan, lo sengaja ya ngerjain gue? Bilang aja minta ditraktir," kesal Arka saat kedatanagannya di sambut senyum menjijikan dari para sahabatnya itu.

"Duduk aja dulu," kali ini Restu meraih tangan Arka dan membimbingnya untuk duduk. Ia langsung menyodorkan buku menu dan meminta Arka untuk segera memesan.

"Lo ada meeting besok?" tanya Daren sembari memperhatikan sahabatnya yang sedang membuka buku menu.

"Iya," singkat Arka.

"Gue udah duga. Makanya lo belain datang sekarang," sahut Daren. "Gue juga banyak kerjaan," lanjutnya.

"Trus kenapa ngajak mabuk?" kesal Arka yang sebenarnya sudah merasa kalau sedang di kerjai oleh sahabatnya itu.

"Kirain gue lo lagi kencan," jawab Daren dengan wajah polos yang dibuat-buat.

Arka hanya berdecak kesal yang disusul kekehan ringan dari Restu dan Adrian. Ia mengabaikan Daren yang hanya menatapnya tanpa menimpali.

Setelah memesan makanan, mereka kembali berbincang ringan tanpa melibatkan urusan pekerjaan. Waktu mereka bertemu sebenarnya banyak, tapi kadang mereka memilih untuk membahas hal menyenangkan lainnya di banding harus membuang waktu hanya untuk membahas pekerjaan yang masing-masing sudah tahu bagaimana setiap harinya. Terutama Restu yang menjadi bawahan Adrian.

"Gua mau ke Bandung nanti. Mungkin dua hari dari sekarang," cerita Arka tanpa diminta.

"Berapa lama?" tanya Adrian. Ia paling bisa di ajak serius jika urusan pekerjaan. Kadang juga Restu.

"Paling 3 hari. Tapi nggak tahu juga," jawab Arka lemah. Kalau di Bandung pasti ia tidak akan ada waktu untuk bertemu dengan temannya.

"Lo sedih karena pergi ke Bandung sendirian?" tanya Restu yang sangat ambigu.

"Mana ada gue sedih? Ngarang lo," kesal Arka yang merasa ada maksud terselip dari pertamyaan itu. Sudah sangat hapal dengan tabiat kaum lelaki yang ada bersamanya itu.

"Keliatan kali Ka. Lo sedih pisah sama Maira?" kali ini ada nada mengejek di kalimat Adrian.

Arka kembali berdecak. Ia kesal karena selalu dikaitkan dengan Maira. "Jangan bahas dialah. Males gue."

"Kenapa? Dia cantik Ka. Cuma butuh sedikit polesan," kata Restu menambahi bos sekaligus sahabatnya.

Arka berdecak lagi. "Buat lo aja," jawabnya singkat.

Obrolan mereka terhenti karena makanan datang. Arka jadi ingat bagaimana ia dikerjai hingga sampai di tempat ini. Ia menghembuskan napas kasar saat ketiga sahabatnya malah tertawa. Ia tidak habis pikir darimana asal muasal ketiga sahabatnya itu. Mereka benar-benar tidak punya otak yang normal untuk kalangan pekerja usia muda. Termasuk dirinya.

Suasana hening saat masing-masing menyuapkan makanan. Kebiasaan jika sudah berhadapan dengan makanan mereka akan menjeda obrolan sementara waktu. Apalagi Arka, ia paling tidak suka jika ada yang berbicara saat makan terutama untuk hal yang tidak penting.

"Gue balik duluan ya. Arka lo yang bayar," kata Adrian yang langsung menarik Restu agar mengikutinya. Ia menatap tajam karena sahabatnya itu menolak.

Arka berdecak kesal kemudian menatap Daren. Ia heran kenapa sejak tadi sahabatnya itu hanya diam saja. "Ada apa?" tanyanya langsung pada intinya. Ia tahu Daren ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ingin Restu dan Adria tahu.

"Lo nikahin Maira?" Sesuai dengan dugaan Arka sebelumnya.

"Nggak akan. Itu kejadian nggak sengaja," bantah Arka mantap.

Daren tertawa mengejek. "Kalo Maira bisa dapetin lo gue jamin, lo bakal bucin," cela Daren tak ditutupi sama sekali.

"Diem lo. Ini semua karena ide sialan lo tahu nggak," kesal Arka lagi tapi sedetik kemudian ia tertawa di ikuti Daren.

Begitulah mereka. Tidak ada yang bisa membaaca bagaimana pemikiran mereka sebenarnya. Arka kemudian beranjak untuk kembali ke kantor setelah menyelesaikan pembayaran. Ia tidak mungkin bertahan disana dan membuat papanya murka. Ia masih punya tanggung jawab besar pada perusahaan dan kedua orangtuanya.

***

Hari ini Maira akan ada kelas tapi siang. Ia masih santai di rumah sembari membersihakan ruang tengah. Ia senang karena Arka sedang dalam mode jinak. Sejak kemarin bahkan lelaki itu tidak menganggapnya ada dan itu lebih baik. Ia merasa hidupnya sangat tenang dan damai.

"Maira sini bentar." Tapi semua hanya khayalan. Buktinya sekarang, Arka berteriak memanggil Maira.

"Ada apa, Den?" tanya Maira yang susah payah menahan kesalnya.

"Siapin baju. Gue mau ke Bandung," perintah Arka.

"Bosy," maki Maira lirih tapi tetap melaksanakan perintah anak majikannya itu. Dengan segera ia memasukan beberapa baju yang sudah di list oleh Arka ke dalam koper kemudian membawanya ke ruang tengah. Berikut sepatu yang sudah Arka suruh bersihkan beberapa hari yang lalu. Ia kembali ke dapur dan menyiapkan sarapan.

"Loh Mai susunya kok di minum setengah aja?" tanya Witari yang melihat gadis itu sibuk kesana kemari.

"Sebentar Nyonya. Siapin sarapan buat Den Arka dulu," jawab Maira sopan. Ia tahu Witari sangat baik sehingga ia tidak akan di biarkan bekerja sebelum sarapan. Ia pun melanjutkan pekerjaannya saat tak lagi mendengar suara majikannya.

"Eh itu susu….." Kan jadi Arka yang minum susunya.

"Buru-buru, Ma," jawab Arka acuh.

"Sejak kapan sarapan minum susu?" tanya Dharma sambil menatap heran putra bungsunya itu.

"Sejak hari ini ,Pah. Udah ah Arka kesiangan nanti. Mana sarapan gue Mai?" Masih sempat-sempatnya Arka berteriak.

"Masalahnya itu bukan susu buat kamu," kata Witari sembari menahan tawa. Ia sudah membayangkan bagaimana raut putranya.

"Emang punya siapa?" tanya Arka yang mulai horor dengan tatapan papanya juga senyum misterius sang mama.

"Mah, kalau Mas Arka minum susu dari gelas sama Mba Mai artinya secara nggak langsung mereka ciuman nggak sih?" Dini yang sejak tadi diam kini mulai bersuara. Ia terbahak mendengar umpatan yang keluar dari mulut kakaknya yang disambut dengan mata tajam Dharma. "Lagian Mas ngapain main nyosor aja? Biasanya juga teh atau kopi minumnya," tambahnya saat sang kakak masih memasang wajah masam.

"Dua kali ya, Ka." Witari menimpali.

"Apanya, Ma?" kesal Arka. Ia bisa melihat wajah sang mama yang sudah penuh ejekan.

Witari hanya mengisyaratkan kedua jari kuncupnya yang saling bersentuhan sembari tertawa puas bersama Dini. Ia tidak bisa membiarkan Arka tenang kali ini. Anaknya itu memang cukup ajaib untuk ukuran pria dewasa. Pacar tidak punya tapi selalu keluyuran. Ia sedikit takut jika Arka akan belok jika tidak di pantau.