webnovel

Bimbang

Vano menghelah nafas melihat raut keputusasaan Rafan yang tertunduk lemas dengan sebelah tangan yang terus menggenggam benda itu.

"Lo yakin kalau itu anak Lo ?"

Seketika Rafan menatap awas Vano yang mengajukan pertanyaan, matanya begitu tegas dan tajam dengan bibir terkatup. "Maksud Lo apa ?" tanya Rafan sinis.

"Gua gak maksud apa-apa, tapi kemungkinan itu pasti ada... Mungkin, ini bisa saja terjadi, bisa saja itu bukan punya Lo"

Mata Rafan semakin memicing menatap dingin dan sinis Vano yang juga menatap dirinya, kedua itu beradu tatap seperti rival yang saling menantang.

"Gak mungkin, itu pasti punya gua"

"Lo yakin ?"

Rafan mengangguk penuh penuh keyakinan tanpa sedikitpun melepaskan tatapannya. "Gua cowok dewasa, gua bisa bedain yang mana cewek pertama kali sama yang sudah berkali-kali. Gua... Gua bahkan bisa ngerasain kalau gua yang sobek, gua yang pertama Van, gua yakin itu pasti punya gua!"

Ada gurat kepanikan dan tidak terima di wajah Rafan saat Vano meragukan miliknya, pria itu seolah tidak terima kemungkinan yang di pikiran, entahlah... Pria itu seperti tidak rela kalau sampai anak itu bukan miliknya.

"Oke, Oke anggap itu milik Lo... Tapi kenapa dia gak minta tanggung jawab Lo ? Kenapa dia malah pergi ninggalin Lo, cuma ninggalin tespek yang bahkan belum tentu miliknya"

"Itu kamar gua Van! Gak ada yang masuk selain gua dan Laras, gak mungkin milik orang lain, itu pasti milik Laras. Lo kenapa sih begini ? Lo sendiri yang bilang kalau Laras wanita yang baik, gak mungkin wanita baik-baik bertindak gak benar!"

Rafan ngotot membela, sementara Vano hanya menatap Rafan dengan tatapan yang rancu. "Bukan begitu Fan, kita harus realistis"

"Gua realitis, Lo yang gak realistis! Tanggung jawab ? Gua yakin kalau Dia pergi bukan karena keinginannya, pasti ada yang suruh dia pergi, sekarang gimana dia nuntut tanggung jawab dari gua kalau dia sendiri diancam, dia pasti udah takut duluan Van dan milih pergi!"

"Tapi Lo juga gak bisa buktiin kalau dia pergi karena diancam kan ? Bisa aja dia mau pergi sendiri" Vano kembali menepis pikiran Rafan, walaupun Dirinya tahu kalau semua argumennya tidak benar. Laras bukan gadis seperti itu, semua yang dikatakan Rafan memang benar. Tapi dia tidak mau Rafan terus menerus hidup begini, dia harus berubah, dia harus melupakan Laras, ini mungkin sudah takdir mereka tidak bisa bersama.

Rafan naik pitam, dadanya bergemuruh menatap Vano dengan kilatan amarah, tapi pria itu juga tetap diam saja, mungkin memang benar kata Vano, dia tidak punya buktinya sehingga tidak bisa menepis ucapan pria itu.

"Gua bantuin Lo, bahkan gua sampai sewa mata-mata handal walaupun mereka bilang gua aneh dan gila karena mencari orang tanpa ada foto, atau biodata yang jelas, cuma alamat rumah, itupun rumah yang sudah kosong. Lo mau tetap cari Dia ? Mata-mata aja udah nyerah Fan, Lo mau sampai kapan nyari itu perempuan dan korbanin hidup Lo sendiri ? Sadar Fan, Lo gak bisa begini terus!"

"Gua gak pernah suruh lo buat bantuin gua" gumam Rafan dengan tatapan tajam melirik pada Vano.

"Iya tapi…" suara Vano terhenti kala mendengar suara ketukan pintu, baik Rafan dan Vano melihat kearah pintu, saling menatap sejenak sampai Rafan bersuara mengintruksi. "Masuk!"

Terlihat wajah Javas. "Ada apa Javas ?" tanya Rafan dengan wajah yang senormal mungkin.

" Maaf menggannggu tapi rapat akan segera di mulai, semua sedang menunggu Pak Rafan dan Pak Vano"

Vano memperhatikan kedua pria di hadapannya yang seperti sedang menyembunyikan sesuatu karena saat dia masuk, kedua pria itu langsung menghentikan pembicaraan dan melihat kearahnya.

"Oke! Ayo Rapat" Vano berdiri dari duduk yang membuat Rafan memperhatikannya, Pria itu membenarkan jas sesaat lalu berjalan melewati Rafan yang masih duduk. "Makasih sudah di ingatkan" ucap Vano begitu berdiri tepat di sebelah Javas, menepuk pundak pria itu sambil tersenyum lalu melanjutkan langkahnya keluar dari ruangan kerja Rafan, Javas hanya bisa melongo menatap Vano yang tiba-tiba mengatakan seperti itu.

Javas masih berdiri menatap Rafan yang masih tidak bergerak secentipun. "Kamu sudah siapkan semuanya ?"

"Sudah Pak, semua sudah beres"

Rafan memijit keningnya dan mengangguk pelan. "Yasudah, kamu duluan saja"

"Baik Pak, saya permisi"

Dia hanya menjawab dengan anggukan, Javas menutup pintu ruangannya bersamaan dengan Rafan yang menghelah nafas penjang.

Berdebat dengan Vano cukup melelahkan, beruntung dia kali ini bisa mengatur emosi dan tidak lepas kendali yang berakhir dengan kekerasan. Tapi, gara-gara itu otaknya dibuat berpikir lebih lagi, omongan Vano membuat kepalaku pening, di satu sisi aku merasa benar, tapi disisi yang lain ucapan Vano ada benarnya.

Aku mengeluarkan benda kecil itu lagi dari saku celana, menatapnya dengan pikiran berkecamuk. Bingung, marah, dan kecewa, semua bercampur menjadi satu.

"Jalan mana yang harus kupilih ?"

***

"Saya gak paham sama ini, tolong jelasin"

Hhhh… gara-gara di suruh kerja yang tidak sesuai dengan bidangku, aku jadi bingung dan gak mengerti apapun yang harus aku lakukan, rumus-rumus, lampiran yang bertumpuk, semuanya hanya membuat kepalaku rasanya mau pecah, padahal ini masih pagi tapi aku sudah stress duluan.

"Saya akan jelaskan, tapi sebelum itu Bu Sandrina silahkan baca dulu semuanya"

Beruntung aku punya sekertaris yang pintar, walaupun hanya sementara tapi keberadaannya cukup membantu, Dia bisa menjelaskan dengan baik, sampai aku bisa mengerti dan mengerjakan sendiri.

"Hari ini Anda ada mengajar atau tidak ?"

"Saya ada kelas setelah jam makan siang hari ini"

Sandrina hanya mengangguk dengan tatapan tertuju selembar kertas yang penuh dengan tulisan, keduanya fokus dengan kesibukan sampai suara deringan ponsel Sandrina membuyarkan mereka.

"Tumben nih anak telepon" gumam Sandrina sebelum mengangkat panggilan itu. "Halo ?"

Satu detik

Dua detik

Kening Sandrina berkerut dengan mata yang menyipit tanpa suara, dia menyimak panggilan telepon, wajah bingungnya membuat seseorang di hadapannya juga menatap bingung.

"Hari ini ? Jam berapa ? Dimana ?"

Sandrina menarik telepon itu menjauh dari telinga, matanya menatap orang yang sedaritadi berada di hadapannya. "Ada apa Bu ?" tanya wanita yang duduk di depannya saat ini.

"Ayu, kamu bisa keluar sebentar ? Saya mau telepon dulu"

"Baik Bu"

Malu rasanya kalau sampai Ayu mendengar obrolanku di telepon, apalagi topik pembicaraannya adalah tentang night party, ada rasa tidak enak apalagi saat ini posisiku adalah atasan yang seharusnya mencontohkan hal-hal baik.

"Jam berapa ? dimana ?"

"Nanti gue share tempatnya, tapi lo bisa datang kan ?"

Tanpa berpikir Sandrina langsung mengangguk. "Bisa!" jawabku, kebetulan dia butuh hiburan disaat banyak sekali hal yang membuatnya stress belakangan ini, masalah pekerjaan, masalah kuliah dan yang paling absurd adalah masalah perjodohan sialan itu.

"Oke, nanti malam berangkat bareng gue ya"

"Oke!"

"Gue denger kabarnya lo mau nikah ?"

Wow! Belum sempat dia bercerita, tapi kabar ini sudah tersebar luas. "Nanti gue ceritain"

"Okedeh, yaudah sampai ketemu beberapa jam lagi. Bye!"

"Hmmmmm…"

Satu kata selesai terucap, Aku kembali menaruh ponsel pintar itu diatas meja, setidaknya adalah hal yang bisa membuat aku bernafas lega, aku akan ceritakan semua hal yang terjadi belakangan ini di hidupku, minum sebanyak mungkin dan menari sepuasnya.