webnovel

I'M MARIANNE

Saat umurku berusia dua puluh tahun, aku baru menyadari bahwa dunia yang kutempati saat ini adalah dunia novel yang berjudul 'No Mercy For The Villains". Novel itu menceritakan tentang sang protagonis Cecilia yang merupakan putri Count Orland yang diculik dan berujung diselamatkan oleh Putra Mahkota Frans. Tragedi penculikan ini berlangsung selama tiga hari. Karena kejadian itulah keduanya perlahan semakin dekat. Beberapa kali Cecilia diundang oleh kekaisaran untuk menghadiri perjamuan, di sana ia bertemu dengan Damian. Damian yang jatuh hati pada pandangan pertama, mencoba untuk merebut Cecilia dari tangan Putra Mahkota. Di satu sisi, kecemburuan juga dirasakan oleh Marianne, cinta yang tumbuh sejak kecil dan ditujukan untuk Putra Mahkota harus ia tekan kembali. Selain itu, setelah masuknya Damian sebagai putra angkat Duke Hugo yang tak lain adalah ayah kandung Marianne membuatnya semakin murka. Bagaimana tidak? Ternyata diam-diam Damian memberikan ramuan yang dapat menghipnotis Duke Hugo agar terus menurutinya dan memberikan alih kekuasaan Duchy kepada Damian. Marianne yang diliputi rasa iri dan cemburu pada akhirnya nekat memberikan racun ke makanan Cecilia. Namun sayangnya tindakan tersebut diketahui oleh Damian. Hingga pada akhirnya Marianne tewas dengan tebasan dari putra angkat ayahnya itu. * * * * * "Tidak! Aku tidak bisa mati seperti itu!. Baiklah, hal yang harus aku lakukan adalah perlakukan Damian dengan baik, sebisa mungkin untuk tidak terlibat dengannya dan pemeran utama!" * * * * * "Kakak" panggil Damian sambil memeluk pinggang Marianne dengan kepalanya yang ia letakkan di ceruk lehernya sambil sesekali mengecup dan menghirup aroma dari gadis itu. "Eumhh" lenguhan Marianne terdengar lembut sambil mencoba melepaskan pelukan Damian dan memperbaiki posisi duduknya, tetapi pergerakannya sia-sia akibat Damian yang menguncinya dengan erat. "Kakak, jangan tinggalkan aku"

Holababynoona · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
8 Chs

Bab 6

* * * * *

Cahaya putih menyinari ruangan itu dan perlahan menampilkan seorang wanita bergaun biru laut.

BRUK

Wanita itu terjatuh di lantai dengan satu tangan menumpu tubuhnya dan tangan lainnya berada di kepalanya. Ia sedikit meremas rambutnya akibat rasa pusing yang dirasakan secara tiba-tiba saat ia sampai di ruangan itu. Dengan mata terpejam ia mengumpat kejadian tadi. Padahal dirinya belum siap untuk berteleportasi tetapi manusia sialan Venus sudah terlebih dahulu mengusirnya.

'Venus sialan! Dasar pria tua! Kusumpahi kau jadi pejantan lapuk seumur hidup!'

Wanita itu yang tak lain adalah Marianne berdiri dengan mencoba menyeimbangkan tubuhnya karena kepalanya yang masih pusing. Ia berjalan ke arah nakas dan membuka salah satu laci yang berada di urutan kedua dari bawah. Diambilnya sebuah buku bersampul kulit berwarna hitam yang bertuliskan 'No Mercy For The Villains'.

Marianne berdiri kembali dari posisi jongkoknya. Ia berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepi ranjang menghadap ke arah jendela. Perlahan ia membuka tali yang mengait buku novel itu dan melihat isinya. Ia ingin memastikan kembali kisah hidupnya itu.

Perlahan tapi pasti ia membacanya. Sampai pada akhir bagian dirinya mati, Marianne merasa tidak terima. Penjahatnya di sini bukan hanya dirinya. Tetapi yang mati kenapa hanya dia bukan yang lain. Ia kemudian membalikkan lagi halaman berikutnya. Namun, yang ia temukan hanya kertas kosong.

Marianne memastikannya kembali. Dibukanya halaman berikutnya sampai halaman terakhir dan hasilnya nihil. Sepuluh kertas kosong tanpa tinta. Bahkan tulisan 'Tamat' pun tidak ada.

'Apa-apaan ini?! Apa kalian sedang bermain-main denganku sekarang!?'

Marianne meremas kertas kosong tersebut dan menyobeknya. Tapi, bukan malah bekas sobekan yang terlihat. Kertas kosong tadi berubah pada keadaan semula seolah-olah tidak terjadi apapun.

'Benar-benar menjengkelkan!'

PRAK!

Marianne melempar novel tersebut ke lantai dan merobohkan dirinya ke belakang. Dengan posisi terlentang di atas ranjang dan kaki yang masih menjulur ke bawah, Marianne mencoba untuk menenangkan pikirannya. Percuma baginya untuk terus marah-marah karena hanya membuang-buang tenaganya saja.

Ngomong-ngomong tentang tenaga, ia datang ke kamarnya dengan berteleportasi, itu tandanya supir dan mobilnya masih berada di depan restoran!.

Marianne kemudian bangkit dan menarik bel yang berada di atasnya. Tak lama setelah ia menarik bel tersebut, Rahum datang ke kamarnya.

"Rahum, tolong utus seorang ksatria untuk ke restoran 'La Dulce Vida' dan memerintahkan supirku kembali ke kastil"

Marianne berkata sebelum Rahum membuka mulutnya. Namun, Rahum tidak langsung menganggukinya. Ia merasa aneh dengan nonanya. Bukan kali ini saja, tetapi sudah beberapa hari. Walaupun nonanya selalu berwajah datar, tetapi Rahum tahu itu. Ia sudah bersama nonanya sejak dia kecil. Nonanyalah yang menyalamatkan dirinya dari perdagangan budak.

"Maaf nona, saya tidak paham dengan maksud anda barusan. Supir anda sudah berada di kastil sedari tadi dan tidak pergi kemana-mana."

"Apa maksudmu?"

Marianne seolah tidak bisa mencerna ucapan Rahum. Supirnya tidak pergi kemana-mana. Apa maksudnya itu? Dia saja meminta supirnya untuk menunggunya di depan restoran tadi.

"Apakah anda lupa nona? Anda tidak pergi lagi setelah pulang dari kediaman Lady Selynna."

Marianne terdiam sebentar dan menatap wajah Rahum. Satu fakta lagi yang dia dapatkan 'Ruang hampa dapat membalikkan waktu' dan itu terjadi pada dirinya sekarang. Orang-orang mungkin menganggap waktu berjalan seperti biasa tetapi tidak bagi Marianne. Dan dari segala kejadian di ruang hampa, hanya orang yang bersangkutanlah yang tahu.

Ia kemudian berjalan ke depan Rahum dan mencupit pipinya.

"Akhh! Nona!"

".....ternyata bukan mimpi."

"Tentu saja ini bukan mimpi. Bagaimana bisa anda setega ini mencubit pipi saya..hiks..hiks..huaaa."

Rahum menangis sambil mengelus pipinya yang memerah. Marianne hanya menyipitkan matanya memandang gadis berusia lima belas tahun itu.

'Cih! Dasar bocah.' batinnya.

"Berhenti menangis Rahum, atau kukembalikan kau ke tempat itu."

Marianne tidak sungguh-sungguh mengucapkan itu. Hal tersebut ia ucapkan supaya Rahum berhenti dari tangisannya yang memekakkan telinga.

"Hiks..hiks..Nonaaa."

"Iya, aku nonamu."

Rahum mengerucutkan bibirnya sambil menunduk ke bawah menatap lantai. Ia tahu kalau Marianne adalah nonanya. Tapi bukan itu yang ia inginkan. Biasanya jika dirinya menangis, Marianne akan menepuk kepalanya tiga kali dan ia mengharapkan itu saat ini. Tapi ternyata tidak ada yang didapatkannya.

"Kenapa kau?" Tanya Marianne yang melihat Rahum menunduk.

"Tidak ada Nona. Anda tidak perlu peduli pada pelayanmu yang rendah ini."

"Hahh.."

Marianne menhembuskan nafas kasar. Dia tahu maksud Rahum, tetapi dia malas untuk melakukan itu saat ini. Terlebih badannya yang terasa sangat pegal dan letih. Ia ingin segera merebahkan diri di atas ranjangnya yang empuk.

"Rahum, aku sangat lelah sekarang. Siapkan air untuk aku mandi."

"Ahh..aku juga ingin kau menyiapkan teh Narcissus Vintage dan pewangi tubuh aroma Lilac." tambahnya

Rahum yang masih kesal dengan nonanya itu tidak bisa melakukan apa-apa. Ia kemudian mengangguk dan menyiapkan keperluan nonanya itu.

Setelah semuanya selesai dipersiapkan oleh Rahum. Marianne lalu melepas pakaiannya dan mencelupkan diri ke dalam bathtub sampai tidak terlihat.

Rahum yang mencoba untuk membantu nonanya membersihkan diri, hanya bisa terdiam dengan apa yang dilihatnya barusan.

"Nona! Nona! Jangan mati nona!"

Rahum menggoyangkan tubuh Marianne dan mencoba mengangkatnya. Namun, tiba-tiba.

BYUR!

Marianne mengguyurkan air dengan tangannya pada Rahum.

"Diamlah Rahum! Aku sedang menenangkan diri."

"Huft! Syukurlah nona tidak mati."

Marianne yang mendengar itu melotot tidak percaya ke arah Rahum.

'Apa-apan bocah ini! Kalau aku mati sudah kupastikan kau mati duluan sebelum aku!' batinnya.

Rahum yang melihat pelototan dari Marianne hanya menyengir.

Marianne mengalihkan pandangannya dari Rahum dan bersandar ke arah sisi kiri bathtub. Kemudian memejamkan matanya.

"Keluarlah. Aku ingin sendiri."

Marianne tidak munafik. Ia seperti bangsawan wanita lainnya yang dilayani saat mandi. Berada di dunia novel sejak kecil membuatnya terbiasa dengan tindakan itu. Namun, tidak kali ini. Dirinya benar-benar merasa lelah. Otaknya harus dipaksa terus berputar setiap saat. Baik dulu dan sekarang rasanya sama saja. Ia tidak akan menyangkal jika orang-orang menyebutnya si miskin yang tak tahu diri. Kehidupannya sekarang menurutnya lebih baik dari dulu, di mana saat ini dirinya menikmati kemewahan walaupun tidak menggunakan seluruh kekayaan itu.

Dulu dia hanyalah seorang mahasiswa yang mana uang pendidikan tersebut ia dapatkan dari beasiswa. Keluarganya juga tidak kaya. Ayahnya hanyalah seorang pensiunan dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang sesekali menjajakan kue buatannya, sedangkan dirinya memiliki dua adik yang masih SMA. Ia harus merelakan uang pensiunan ayahnya untuk kedua adiknya dan biaya kos serta makan sehari-hari didapatkan dari hasil part-time.

Dia sebenarnya bukan mahasiswa yang ambisius. Lebih tepatnya terpaksa karena keadaan. Untuk mendapatkan beasiswa tidak mudah karena dia harus bersaing dengan banyaknya orang. Belum lagi saat dia mendapatkan beasiswa tersebut, otomatis dia harus mempertahankannya agar tidak dicabut.

Selain itu, dia memang sengaja mengambil beasiswa berprestasi alih-alih beasiswa 'tidak mampu'. Bukan tanpa sebab, dirinya merasa bahwa keluarganya masih tergolong mampu walaupun hidup pas-pasan. Ia tidak ingin merebut yang bukan haknya.

Di satu sisi, ada juga alasan kenapa dia sering memilih pulang jika tidak ada kegiatan lagi di kampus. Salah satunya adalah lingkungan pertemanan yang 'toxic'. Dunia perkuliahan tidak seindah masa-masa SMA dan kebawahnya. Semua manusia di sana menunjukkan sifat aslinya. Kalau kau kuat, kau akan bertahan. Tapi jika tidak, jangan ditanyakan lagi. Itulah mengapa banyak kasus mahasiswa bunuh diri karena tekanan dan stress yang berkepanjangan. Belum lagi dengan tugas yang banyak. Hampir setiap hari pasti ada tugas. Entah itu pembuatan makalah, paper, bahkan juga penelitian dan praktek.

Masalah lain permahasiswaan juga tak jauh-jauh dari 'uang'. Sisi buruknya yaitu banyak mahasiswa/i yang melakukan 'booking out' dengan dosennya sendiri sampai menjajakan dirinya secara personal di club malam bahkan dengan perdagangan narkoba. Sisanya mencari pacar kaya untuk dibodohi.

Sedangkan mahasiswa yang beruntung dalam perekonomian juga tidak luput dari tindakan kotor. Korupsi. Hampir sebagian besar mahasiswa itu melakukan korupsi uang KRSnya. Uang tersebut nantinya ia gunakan untuk berfoya-foya dan ada beberapa yang mereka gunakan untuk menyewa seorang pelacur.

Marianne memandang miris dunianya yang dulu. Walaupun ia tidak melakukan hal kotor itu. Tapi tetap saja ia tidak bisa membayangkan mereka melakukan hal tersebut di belakang orangtuanya. Tentu orang tua mereka tahunya anak mereka di sana baik-baik saja dan tidak melakukan sesuatu yang aneh tapi ternyata sebaliknya. Akan sesakit apa perasaan orang tua mereka saat mereka mengetahui segala tindakan buruk anaknya itu.

Kehidupan Marianne yang dulu terbilang hampir sama dengan yang sekarang. Sama-sama tidak memiliki terlalu banyak teman. Marianne tidak terlalu percaya pada orang lain. Kebanyakan orang bersikap baik di luar tapi di dalam hatinya berbeda. Dan itu lah yang sering ia temui di dalam perkuliahan. Jika bukan karena gelar dan pendidikan, rasa-rasa ia tidak sudi untuk menginjakkan kaki di sana.

Belum lagi ia juga harus tinggal serumah dengan malaikat mautnya saat ini. Setelah berjuang dengan pendidikan, dia harus berjuang untuk tidak mati lagi. Marianne ingat betul saat-saat kematiannya dulu dan itu sangat menyakitkan.

Marianne kemudian membuka matanya dan memandang Rahum yang berdiri di depan pintu belum beranjak dari posisinya.

"Dua hari lagi aku akan menonton opera dengan Selynna, dan untuk itu aku sendiri yang akan menyiapkannya. Kau juga tidak perlu mengantarku Rahum. Terima kasih atas bantuanmu selama ini."

Marianne mengucapkannya sambil tersenyum ke arah Rahum.

"Anda tidak perlu sungkan nona! Sudah sewajarnya saya membantu anda. Bahkan saya rela untuk menyerahkan nyawa saya untuk anda!." ucap Rahum lantang.

"Tidak Rahum. Kau tidak perlu menyerahkan nyawamu. Aku tidak butuh."

"Tidak Nona! Saya akan tetap memberikan nyawa saya pada nona! Percayalah itu!"

'Haishh...untuk apa nyawamu itu bodoh! Kau pikir aku tempat penyimpanan nyawa!'

Marianne memandang tidak percaya ke arah Rahum. Ia sedikit menjauhkan tubuhnya darinya sampai punggungnya menyentuh ujung bathtub.

Rahum yang melihat nonanya bergerak mundur pun kemudian segera mendekat.

"Nona!"

"Pergi! Pergi Rahum sebelum kulempar kau dengan sabun ini!"

Belum sempat Rahum mendekat, Marianne sudah terlebih dahulu mengangkat tangannya sambil memegang sabun dan mengarahkannya pada Rahum. Rahum yang mendengar itu pun lalu bergerak kembali ke pintu dan membukanya. Dia berjalan ke luar. Namun, sebelum menutup pintu itu kembali. Ia menongolkan kepalanya ke dalam.

"Nona! Ingat kata-kata saya! Saya akan melindungi anda dan memberikan nyawa saya!"

"Pergi Rahum!"

Marianne berucap dengan sedikit berteriak.

Pintu itu pun tertutup dan menyisakan keheningan.

'Kenapa bocah itu selalu terobsesi untuk memberikan nyawanya padaku.'

Percayalah, Rahum tidak sepolos itu. Marianne tahu semuanya. Beberapa kalimat yang digunakan olehnya adalah idiom yang tragis. Biar pun usianya baru lima belas tahun, Rahum pernah membunuh orang. Bukan hanya satu, tetapi sesuai dengan angka umurnya. Tiap tahunnya selalu ada korban yang berakhir di tangan Rahum. Ucapannya yang terbata-bata merupakan salah satu caranya untuk menyembunyikan korban selanjutnya. Itu seperti kode. Seolah Rahum ingin menunjukkannya pada Marianne. Seperti seekor kucing yang memberikan hasil tangkapannya pada tuan mereka.

Salah satu alasan kenapa Marianne masih mempertahankan dia didekatnya walaupun dia berbahaya yaitu 'kesetiaan'. Rahum merupakan tipe anak yang hanya akan setia pada satu tuannya dan itu adalah Marianne.

'Ahh..aku lelah.'

Marianne menyandarkan punggungnya ke bathtub dan memejamkan matanya.

* * * * *

Setelah membersihkan diri dan mengistirahatkan tubuhnya di ranjang, tak terasa jika waktu makan malam telah tiba. Kini Marianne tengah mempersiapkan dirinya dibantu Rahum dan dua pelayan lainnya.

Marianne menggunakan gaun berwarna coklat keemasan dengan rambut sepunggung yang dikepang dan disampirkan ke sisi kanan.

Setelah persiapan siap, dia lalu berjalan ke arah ruang makan. Saat Marianne membuka pintu ruang makan. Di sana sudah terdapat dua manusia yang duduk bersebrangan.

Marianne berjalan mendekati mereka dan duduk di sisi kanan ayahnya serta berhadapan dengan Damian.

Marianne melirik sekilas Damian yang tersenyum padanya dan menatap ayahnya lalu beralih pada makanan yang tengah disiapkan pelayan.

'Kenapa orang itu selalu tersenyum seperti itu. Menjengkelkan.'

Hidangan utama pada malam ini adalah kalkun panggang dengan saus madu dengan makanan tambahan seperti roti dan sup kacang merah disampingnya.

Marianne memandangi makanan tersebut. Walaupun ia sudah sering menikmati makanan mewah di dunia ini tetap saja rasa syukur di hatinya tidak pernah berhenti ia ucapkan.

Daging kalkun yang lembut dengan saus madu adalah makanan mahal yang tidak bisa sembarang orang memakannya. Hanya para bangsawanlah yang diijinkan untuk memakan daging itu.

Marianne teringat saat dia mengujungi festival musim semi saat itu dan bertemu anak kecil berambut pink dengan pakaiannya yang kotor berjalan ke arahnya menjual sesuatu yang tidak dia duga demi obat adiknya. Marianne juga melihat kaki anak itu tidak menggunakan alas kaki. Terlihat lecet-lecet dan berdarah. Pasti sakit sekali.

'Anne...Anne...bisa-bisanya kau mengkhawatirkan orang lain disaat nyawamu saja sedang terancam saat ini'

"Kakak, apa ada yang tidak kau sukai? Kenapa hanya memandangi makanannya saja?"

Ucapan Damian yang tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Marianne tersenyum kecut di dalam hati.

'Jadi sekarang kau sedang memerankan tokoh adik yang baik ya? Baiklah..mari kita mainkan sandiwara ini.'

Marianne mengangkat kepalanya dan tersenyum manis ke arah Damian.

"Tidak apa-apa Damian. Makanannya sesuai dengan seleraku. Kau juga makanlah. Iya kan ayah?"

Marianne beralih menatap ayahnya.

"Tentu saja! Makanlah Damian selagi belum dingin."

Marianne melihat ekspresi Damian. Walaupun ditutupi dengan senyuman. Marianne tahu itu, dia tidak bodoh. Damian sedikit mengedutkan ujung alisnya.

'Kena kau'.